Bara memeriksa laporan kuartal terbaru, membalas email, dan menghadiri beberapa panggilan konferensi video dari klien serta investor internasional. Setiap detik waktu sangat berharga, dan setiap keputusan yang ia ambil bisa mengubah arah bisnis jutaan dolar.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dengan suara halus, dan sosok pria tua masuk, mengenakan setelan jas klasik yang rapi. “Masih saja di tengah pusaran angka dan target, Nak?” ucap si kakek dengan senyum tipis, menatap cucunya yang terlihat letih tapi fokus.Bara menengok sebentar, lalu berdiri menyambut. “Halo, Opa? Mendadak sekali mampir ke sini?”“Kenapa? Aku harus melewati protokol seperti tamumu yang lain kalau mau menemui cucuku sendiri?”“Bukan begitu. Aku hanya tak ingin Opa merasa terabaikan jika ke sini tanpa bilang-bilang dulu, sementara aku sedang meeting.”“Opa lebih senang melihatmu sibuk bekerja begini daripada galau nggak jelas.”“Memangnya kapan aku galau nggak jelas?”Tuan Sigit terkekeh. “Ya. Ya. Kamu memang b
Layar komputer Cheryl sudah penuh dengan grafik, tabel, dan laporan yang harus ia revisi sebelum rapat siang. Deru mesin printer dan denting notifikasi email bergantian mengisi ruang kerjanya, tapi Cheryl nyaris tak terganggu. Tangannya lincah menari di atas keyboard, matanya tajam memindai setiap data yang masuk.Sejak pertama kali ia menapakkan kaki di perusahaan ini, hampir enam tahun lalu, ruang rapat selalu menjadi panggungnya. Bukan karena ia mencari sorotan, tetapi karena ia selalu datang dengan angka yang berbicara sendiri—data yang tajam, analisis yang jernih, dan solusi yang bisa dieksekusi.Gadis itu juga memiliki daya tarik tersendiri saat presentasi, bahasanya lugas dan tidak bertele-tele.Tiga tahun terakhir, ia nyaris hidup di kantor. Lembur menjadi kebiasaan, akhir pekan pun sering ia habiskan di depan monitor. Beberapa rekan kerja sempat berseloroh. “Heran. Nggak ada capek-capeknya kerja ini orang?”“Maklumin ajalah… namanya juga jomblo gabut.”“Tapi segabut-gabutn
Cheryl menutup telepon dan meletakkan ponselnya di dalam tas. Tidak ada helaan napas panjang, tidak ada ekspresi kecewa—hanya gerakan biasa, seolah pembicaraan barusan hanyalah urusan sepele.Tangannya meraih buku menu. Ia membukanya perlahan, matanya menyusuri deretan nama hidangan tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang sudah tahu apa yang diinginkan.Malam ini, ia tidak menunggu Valen, hanya sekadar datang karena diundang. Baginya tak mengapa jika Valen bakal terlambat atau tidak, bahkan jika tak datang pun Cheryl tak merasa kecewa — mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak. Ia sudah lama menyadari bahwa hati lelaki itu bukan untuknya. Valen hanya meminjamkan sedikit waktunya, itu pun jika pekerjaan mengizinkan.Mungkin Valen memang sudah ditakdirkan sebagai penyembuh. Hingga hatinya seakan tidak bisa terkontaminasi oleh cinta selain pada pasien dan profesinya. Tapi itu tidak membuat Cheryl merasa patah hati, sebab hatinya memang sudah lebih dulu patah sebelum bertemu dengan pria
Seorang dokter ortopedi muda, Dr. Raka, berdiri di sisi ruangan konferensi lantai enam Bintang Hospital. Di layar besar, terpampang citra MRI bahu kanan seorang pria berusia 32 tahun—korban kecelakaan lalu lintas tiga bulan lalu.“Pasien mengalami rotator cuff tear grade IV dengan kerusakan pada supraspinatus tendon yang cukup signifikan,” ujar Raka sambil menunjuk area merah pada gambar MRI. “Terdapat pula Hill-Sachs lesion di bagian posterior kepala humerus akibat dislokasi anterior berulang. Mobilitas bahu saat ini terbatas, hanya sekitar 30 derajat abduksi aktif, disertai nyeri skala V menurut VAS.”Valen duduk di barisan depan, tampak berwibawa dalam balutan jas dokternya. Di hadapannya, sebuah tablet hitam terbuka pada rekam medis pasien. Tatapannya teduh tapi tajam, menyimak setiap kata, sesekali ia menggoyang-goyangkan stylus dengan jarinya.Dr. Raka melanjutkan, “Metode terapi yang saya ajukan adalah arthroscopic rotator cuff repair menggunakan teknik double-row dengan tambaha
Cheryl keluar dari gedung JCC Senayan dengan langkah ringan, gaun wisudanya bergoyang anggun tertiup angin siang. Ia langsung menuju area parkir, tempat Honda Jazz abu-abu metalik miliknya menunggu.Mobil berdesain modern dan sporty itu sudah beberapa bulan ini menjadi teman setianya di tengah kesibukan kota, mudah bermanuver di jalanan padat dan tetap irit bahan bakar. Desainnya yang sleek dan aerodinamis cocok sekali dengan Cheryl yang mandiri dan sibuk. Cheryl membeli mobil itu dengan uang nafkah bulanan dari Bara — yang tak pernah telat ditransfer Bara ke rekeningnya setiap bulan, hingga hari perceraian mereka.Selama itu, Cheryl membiarkan transferan bulanan dari Bara mengendap di satu rekening khusus, nyaris tak tersentuh. Sampai suatu hari, saat iseng memeriksa rekening tersebut, ia hampir tak percaya melihat angka saldonya yang mencapai 1,8 miliar. “Gila! Ternyata dia rutin transfer seratus juta per bulan buat aku? Selama 18 bulan pernikahan kami? Tak pernah lewat satu bulan
Pagi itu, gedung Jakarta Convention Center di Senayan dipenuhi oleh riuh rendah para wisudawan, keluarga, dan tamu undangan acara wisuda Universitas Buana Nusantara, salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta yang memiliki program afiliasi internasional.Cheryl duduk di antara deretan kursi yang penuh oleh para calon wisudawan dan wisudawati yang mengenakan toga hitam dengan pita warna biru laut, simbol program Magister Manajemen yang mereka tempuh. Dalam beberapa saat lagi, ia akan meraih gelar MBA, hasil dari program afiliasi internasional yang dijalankan kampusnya."Fakultas Ekonomi dan Bisnis.”Suara MC menggema. Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati dari program S1, yang terdiri dari ratusan orang, mulai dipanggil. Cheryl sesekali ikut bertepuk tangan untuk mereka. Hingga tiba juga saatnya.“Program Studi Magister Manajemen.” Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati mulai dipanggil. Dan akhirnya…. “Saudari Cheryl Anindita. Indeks Prestasi Kumulatif 3,87. Predikat Cu