Share

4. Kamu Bisa Pergi

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2024-11-29 02:03:40

Malam demi malam berlalu dengan lambat dan penuh beban bagi Cheryl. Setiap malam, kamar tidurnya yang sepi menjadi saksi bisu dari derai air mata yang tak pernah berhenti. Tiada satu pun malam yang ia lewati tanpa tangis, seolah air mata menjadi satu-satunya cara bagi hatinya untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang begitu mendalam. 

Kepergian sang Bapak untuk selamanya masih terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap kali Cheryl terjaga di tengah malam, ia berharap semua ini hanya ilusi, bahwa Bapak masih akan datang mengetuk pintu kamar dan menyapanya dengan lembut seperti biasa. 

Tapi realita itu terlalu nyata—Bapak sudah tiada, dan setiap keheningan malam semakin menegaskan bahwa ia kini harus belajar hidup tanpa orang yang paling ia cintai.

Tidak terasa, sudah tujuh hari berlalu tanpa Bapak di sampingnya—suara Bapak yang selalu menenangkan, langkahnya yang kuat, dan tawanya yang hangat seolah hilang begitu saja. Cheryl tak menyangka bahwa perpisahan ini datang begitu cepat, membawa serta kepedihan yang tak bisa diungkapkan.

“Neng Cheryl, kami pamit pulang dulu. Acara tahlilannya sudah selesai. Tamu-tamu yang lain juga sudah pada pulang.”

Teguran dari ibu-ibu tetangga membuat Cheryl yang sejak tadi melamun akhirnya menoleh dan mengerjapkan matanya. “Eh… i-iya, Bu…. Terima kasih banyak atas bantuannya. Tanpa bantuan ibu-ibu semua, saya tidak tahu harus bagaimana.”

"Ah, kami nggak ngapa-ngapain kok, Neng. Cuma bantu-bantu dikit aja. Makanan... semuanya udah diurus rapi sama petugas katering," ujar salah seorang ibu dengan santai.

"Berkah, ya, Neng… itu bukti kalau Pak Bondan emang orang baik semasa hidupnya. Tahlilannya tujuh hari berturut-turut selalu ramai," tambah ibu lainnya.

"Konsumsinya juga banyak banget dan enak-enak," lanjut seorang dari mereka, seolah itu prestasi yang patut dibanggakan.

Cheryl tersenyum kecut, matanya kosong. Dia tahu betul siapa yang membiayai acara tahlilan ini—Bara. Dalam hatinya merasa aneh dengan dirinya sendiri. Bara telah mengeluarkan uangnya untuk acara tahlilan tujuh hari berturut-turut untuk Bapak, namun entah kenapa, perasaan terima kasih itu tak pernah muncul di hati Cheryl.

"Bahkan batang hidungnya nggak pernah kelihatan sekali pun selama acara tahlilan ini. Seperti itu, apa pantas disebut suamiku? Bahkan setelah pemakaman Bapak, dia tak pernah muncul lagi." Cheryl mendengus, hatinya dipenuhi rasa jengkel. "Pernikahan itu… betul-betul konyol," desisnya penuh sesal.

Begitu ibu-ibu dan tetangga pulang, Cheryl segera mengunci pintu dan mengurung diri di kamar. Dunia luar seolah tak ada artinya lagi, dan ia membiarkan diri tenggelam dalam kesunyian yang menyesakkan. 

Tangis dan lamunannya bercampur, seolah ada sesuatu yang terus mengikat hatinya pada kenangannya bersama sang bapak. 

Namun, ia tersentak saat tiba-tiba terdengar suara bariton yang dalam memecah keheningan kamar. "Cheryl?"

Suara bariton itu memecah keheningan kamar, membuat Cheryl terkesiap. Hatinya yang masih terhuyung dalam kesedihan mendadak diisi rasa terkejut sekaligus jengkel melihat sosok Bara yang entah bagaimana telah berada di dalam kamarnya.

Cheryl terbelalak kaget. "K-Kamu…? Kok kamu bisa masuk sih?” 

"Aku punya kunci cadangan.” Bara hanya mengedikkan bahunya dengan santai.

"Kunci cadangan? Eh. Siapa yang kasih ka—”

"Kamu tuh… kalau dipanggil menyahut kek...? Malah diam aja.” Pria itu malah balik menegurnya, mengabaikan protes Cheryl soal kunci. 

Cheryl cepat-cepat mengusap air mata yang menggenang di pipinya, semakin kesal karena pria asing itu sudah seenaknya masuk ke kamarnya.

"Hei, lagi nangis?" Bara meliriknya sambil geleng-geleng kepala. "Nggak capek apa kamu? Nangis mulu," sindirnya, seperti tidak peduli dengan kesedihannya.

Bara meregangkan tubuhnya seraya mengedarkan pandangannya pada kamar mungil bernuansa ungu muda yang tertata rapi ini. 

Ruang pribadi Cheryl ini penuh dengan sentuhan ceria, mulai dari poster-poster BTS yang memenuhi dinding hingga standee Jungkook yang seolah menyapanya dari sudut kamar. 

Bara mengamati setiap detail yang nampaknya begitu "Cheryl”.

Di atas ranjang, Cheryl duduk bersandar, wajahnya tampak lelah dan bengkak akibat banyak menangis. Ia melirik Bara yang berdiri di tengah kamar, menelisik setiap detail ruangan pribadinya ini.

Dalam hati Cheryl merasa terganggu. 'Kenapa aku harus merasa terpojok oleh keberadaannya? Dia tidak tahu apa-apa tentang aku. Tentang kesedihanku. Tapi… ada sesuatu dalam cara dia berdiri di sana, memandangku seperti aku adalah teka-teki yang perlu dipecahkan.'

"Kamu pasti... bukan penggemar K-Pop," gumam Cheryl pelan, nada suaranya sedikit serak. Ia mengikuti arah pandang Bara yang sedang mengerutkan keningnya pada standee Jungkook-nya, hadiah ulang tahun dari bapak.

"Kamu... menyukai hal semacam itu ya?" Bara mencebik.

"Kenapa memangnya? Jungkook itu… semangat hidupku. Jangan mencelanya, apalagi di depanku. Aku siap ribut kalau kamu melakukannya.” Cheryl melipat tangannya di dada, dagunya terangkat sedikit seolah menantang.

Bara tersenyum miring. "Suka ribut juga, ya? Bahkan demi si Jungkook? Yang dia saja mungkin nggak tahu bahwa ada manusia bernama Cheryl Anindita di dunia ini?"

Cheryl mendengus pelan. "Nggak penting Jungkook tahu aku ini hidup atau nggak, yang penting aku bahagia dengan adanya dia hidup di dunia ini.”

Bara menghela napas, seakan tak habis pikir. Iapun diam, seolah tak ingin melanjutkan perdebatan yang tak penting tentang si Jungkook.

Pria bertubuh tinggi tegap itupun segera mengalihkan pandangannya ke rak kecil di sebelah ranjang yang penuh buku. Ada beberapa novel romansa ringan, semuanya tertata rapi, mencerminkan sisi lembut Cheryl yang tersembunyi.

Mata Bara sempat tertahan pada foto keluarga kecil Cheryl di meja nakas. Hanya sekejap, sebelum ia kembali bersikap seperti biasa—dingin dan mendominasi.

"Cheryl. Kita punya kesepakatan. Aku nggak mau ada alasan lagi. Tahlilan hari ketujuh Bapak sudah selesai, kamu pindah ke rumahku,” ucap Bara tiba-tiba, dengan suaranya yang tegas dan mendominasi.

Cheryl mendengus sinis. Dia tidak pernah ingat pernah membuat kesepakatan macam itu.

"Nggak mau. Rumah ini… punya kenangan yang tak ternilai bagiku,” ketusnya. Ia balas memandang Bara yang sedang menghela napas seraya memandang dirinya sambil melipat kedua tangannya di perut, dengan sorot matanya yang tertuju lurus-lurus pada Cheryl. 

Cheryl melihat dominasi dalam tatapan pria itu. Dan dia... tidak suka!

"Kamu terpaksa menikahiku, kan?"

Bara hanya diam, sama sekali tak menampik. Ada sesuatu dalam tatapannya—entah dingin, entah penuh maksud—yang membuat Cheryl ingin membalas tatapan itu dengan kemarahan, tapi juga rasa penasaran.

Well. Kita… sama-sama terpaksa menikah demi bapak.” Cheryl terdiam sejenak, “But… he’s gone…,” suaranya sedikit bergetar oleh tangis. “Jadi, kamu bisa pergi sekarang.”


***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
erny yulia
penasaran sm alur ceritany semoga gak membisankan..dan sepertinya penulis adalah ARMY...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   325. Kamu Selalu Berharga Bagiku

    Cheryl berdiri di depan rumah. Ia menatap lama kepergian mobil Valen yang perlahan menjauh, seolah masih menyimpan jejak bayangan pria itu di benaknya. Kedua tangannya terlipat di atas perut, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, diikuti senyum tipis.“Terima kasih untuk segalanya, Val,” gumamnya pelan, hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar.Ia pun berbalik, bersiap melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Namun baru beberapa langkah, suara klakson pendek terdengar di belakangnya, cukup nyaring untuk menghentikan geraknya. Cheryl spontan menoleh, keningnya langsung berkerut.Sebuah mobil mewah terparkir tepat di depan pagar rumah. Dari balik kaca jendela yang perlahan diturunkan, tampak seorang pria dengan kacamata hitam berpakaian kasual, melambaikan tangan padanya.“Bara…?” Cheryl membeku di tempat. Napasnya tercekat ketika melihat Bara turun dari mobil dengan langkah mantap sambil menjinjing sebuah tas di tangan. Pria itu menge

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   324. Harapan yang Masih Sama

    Cheryl membeku. Terdiam, tapi tidak sepenuhnya terkejut. Kotak beludru berisi cincin berlian itu bukan hal baru baginya—ini bukan kali pertama Valen melamarnya. Yang membuatnya tercekat justru karena kini, setelah lima tahun berlalu, dokter itu masih membawa harapan yang sama.Cheryl menunduk, mencoba menyembunyikan gelombang perasaan yang campur aduk di dadanya. Hening beberapa detik terasa seperti selamanya.“Dok,” suaranya lirih, bergetar, tapi tegas. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap mata Valen yang dipenuhi harap sekaligus rasa takut. “Terima kasih… karena masih menyimpan keinginan yang sama setelah beberapa tahun berlalu.”Valen bergeming, hanya menunggu. Kotak itu masih terbuka di tangannya, cincin berlian berkilau cantik di dalamnya.Cheryl menarik napas panjang. Dulu ia menolak lamaran Valen karena ingin merasakan hidup sebagai lajang. Ingin bekerja, meraih impiannya sebagai wanita karir dan independen, tanpa terikat oleh janji apa pun, dengan pria mana pun. Dia hanya ing

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   323. Mencoba Kembali

    Pintu rumah Cheryl terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdirilah wanita itu dengan mata sedikit terbelalak, seperti tak percaya melihat keberadaan sosok di hadapannya setelah sekian lama. “Dokter Joshua?” Mata sang dokter menatap Cheryl cukup lama, seakan ingin mengabadikan setiap detail. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, dan kini ia bisa melihat perubahan yang tak bisa hanya ditangkap dari ingatan. Rambut panjang Cheryl cuma dicepol asal-asalan, tapi justru menambah kesan anggun yang menambah kecantikan alaminya. Valen menelan napas dalam-dalam, hatinya sedikit berdebar. Ia memperhatikan gurat-gurat kedewasaan di wajah Cheryl. Ia sadar, betapa banyak hal yang sepertinya telah dialami Cheryl, betapa dunia telah membentuknya, dan betapa menarik sosoknya kini.Hening sejenak memenuhi ruang di antara mereka, kecanggungan yang samar namun manis. Valen akhirnya membuka mulut, suaranya rendah namun tegas. “Boleh aku masuk?”Pertanyaan itu memecah keheningan, dan Cheryl tersenyum

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   322. Setelah Misi Selesai

    Suara langkah kaki yang dulu tak pernah ia bayangkan kembali terdengar di ruangan itu. Milena Wongso berdiri tegak di hadapan cermin panjang, tubuhnya masih sedikit kaku tapi tatapannya penuh binar-binar asa.Lebih dari lima tahun lalu ia datang dengan brankar yang diturunkan dari helikopter, dalam kondisi pingsan dan kesakitan luar biasa. Kini, perempuan itu mampu melangkah tanpa bantuan, seakan dunia memberinya hidup kedua.Valen berdiri di sisi ruangan, tangannya bersedekap, menatap dengan sorot mata yang tak lagi sekadar seorang dokter, tapi juga seorang saksi atas keajaiban perjuangan manusia. Baginya, ini bukan hanya tentang prosedur medis, obat-obatan, atau serangkaian fisioterapi yang melelahkan. Ini tentang kesabaran, disiplin, dan keyakinan yang mereka bangun bersama.“Bagaimana rasanya?” tanya Valen, suaranya tenang namun ada getar tipis di baliknya.Milena menoleh, senyumnya merekah di antara air mata yang jatuh. “Rasanya… seperti aku lahir kembali, Dok. Aku bisa berjalan

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   321. Ruang Kosong

    Ruang kerja Cheryl penuh dengan tumpukan laporan pasar dan grafik yang memenuhi layar monitornya. Tangan kirinya menandai data fluktuasi pengguna pada laporan mingguan, sementara tangan kanannya menggulir cepat presentasi berisi trend sistem pembayaran digital di Asia Tenggara yang berubah nyaris setiap pekan, seakan menuntutnya untuk selalu tiga langkah lebih maju.Belum sempat ia menyesap kopi yang mulai dingin, ponselnya bergetar. Nama “Bara – Apex” terpampang jelas. “Halo, Pak Bara?” Cheryl segera menerima panggilan itu dengan nada profesional.“Bu Cheryl,” panggilan itu menyusup lembut ke telinganya, terlalu lembut untuk seorang CEO dari perusahaan mitra yang hanya memiliki urusan pekerjaan dengannya.“Aku baru menerima notifikasi sistem. Integrasi payment gateway tahap dua sudah berjalan, tapi ada lonjakan trafik yang tidak biasa dari pihak merchant,” lanjut Bara terdengar tegas namun tenang, kali ini terasa profesional.Cheryl langsung beranjak ke layar kedua, menampilkan dasbo

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   320. Teman yang Paling Mengerti

    Bara memandang sedan yang membawa Cheryl pulang kembali ke kantornya. Setelah mobil mewah itu melesat pergi, ia menarik napas panjang, lalu berbalik masuk lagi ke dalam restoran. Langkahnya tegap, menuju ke sebuah meja di mana Ani tampak asyik menikmati jus jeruk yang baru saja diantar pelayan.“Puas mengacaukan makan siangku?” tegur Bara, duduk di hadapan desainer cantik itu dengan wajah kaku.Ani terkekeh pelan, kepalanya sedikit dimiringkan dengan senyum penuh rasa puas. “Jadi dia yang namanya Cheryl?” tanyanya antusias, seolah baru menemukan rahasia besar. Ia menggeleng pelan sambil menatap Bara dengan mata berbinar.“Pantas saja membuatmu gila. Cantik, cerdas, dan aura keras kepalanya… persis seperti kamu.”Bara meraih gelas air di meja, meneguknya habis. Rahangnya mengeras, masih jengkel karena momen makan siangnya bersama Cheryl jadi selesai lebih cepat dari yang ia harap gara-gara kehadiran Ani yang tiba-tiba.Ani mencondongkan tubuh ke depan, tangannya menopang dagu, matanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status