Malam demi malam berlalu dengan lambat dan penuh beban bagi Cheryl. Setiap malam, kamar tidurnya yang sepi menjadi saksi bisu dari derai air mata yang tak pernah berhenti. Tiada satu pun malam yang ia lewati tanpa tangis, seolah air mata menjadi satu-satunya cara bagi hatinya untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
Kepergian sang Bapak untuk selamanya masih terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap kali Cheryl terjaga di tengah malam, ia berharap semua ini hanya ilusi, bahwa Bapak masih akan datang mengetuk pintu kamar dan menyapanya dengan lembut seperti biasa.
Tapi realita itu terlalu nyata—Bapak sudah tiada, dan setiap keheningan malam semakin menegaskan bahwa ia kini harus belajar hidup tanpa orang yang paling ia cintai.
Tidak terasa, sudah tujuh hari berlalu tanpa Bapak di sampingnya—suara Bapak yang selalu menenangkan, langkahnya yang kuat, dan tawanya yang hangat seolah hilang begitu saja. Cheryl tak menyangka bahwa perpisahan ini datang begitu cepat, membawa serta kepedihan yang tak bisa diungkapkan.
“Neng Cheryl, kami pamit pulang dulu. Acara tahlilannya sudah selesai. Tamu-tamu yang lain juga sudah pada pulang.”
Teguran dari ibu-ibu tetangga membuat Cheryl yang sejak tadi melamun akhirnya menoleh dan mengerjapkan matanya. “Eh… i-iya, Bu…. Terima kasih banyak atas bantuannya. Tanpa bantuan ibu-ibu semua, saya tidak tahu harus bagaimana.”
"Ah, kami nggak ngapa-ngapain kok, Neng. Cuma bantu-bantu dikit aja. Makanan... semuanya udah diurus rapi sama petugas katering," ujar salah seorang ibu dengan santai.
"Berkah, ya, Neng… itu bukti kalau Pak Bondan emang orang baik semasa hidupnya. Tahlilannya tujuh hari berturut-turut selalu ramai," tambah ibu lainnya.
"Konsumsinya juga banyak banget dan enak-enak," lanjut seorang dari mereka, seolah itu prestasi yang patut dibanggakan.
Cheryl tersenyum kecut, matanya kosong. Dia tahu betul siapa yang membiayai acara tahlilan ini—Bara. Dalam hatinya merasa aneh dengan dirinya sendiri. Bara telah mengeluarkan uangnya untuk acara tahlilan tujuh hari berturut-turut untuk Bapak, namun entah kenapa, perasaan terima kasih itu tak pernah muncul di hati Cheryl.
"Bahkan batang hidungnya nggak pernah kelihatan sekali pun selama acara tahlilan ini. Seperti itu, apa pantas disebut suamiku? Bahkan setelah pemakaman Bapak, dia tak pernah muncul lagi." Cheryl mendengus, hatinya dipenuhi rasa jengkel. "Pernikahan itu… betul-betul konyol," desisnya penuh sesal.
Begitu ibu-ibu dan tetangga pulang, Cheryl segera mengunci pintu dan mengurung diri di kamar. Dunia luar seolah tak ada artinya lagi, dan ia membiarkan diri tenggelam dalam kesunyian yang menyesakkan.
Tangis dan lamunannya bercampur, seolah ada sesuatu yang terus mengikat hatinya pada kenangannya bersama sang bapak.
Namun, ia tersentak saat tiba-tiba terdengar suara bariton yang dalam memecah keheningan kamar. "Cheryl?"
Suara bariton itu memecah keheningan kamar, membuat Cheryl terkesiap. Hatinya yang masih terhuyung dalam kesedihan mendadak diisi rasa terkejut sekaligus jengkel melihat sosok Bara yang entah bagaimana telah berada di dalam kamarnya.
Cheryl terbelalak kaget. "K-Kamu…? Kok kamu bisa masuk sih?”
"Aku punya kunci cadangan.” Bara hanya mengedikkan bahunya dengan santai.
"Kunci cadangan? Eh. Siapa yang kasih ka—”
"Kamu tuh… kalau dipanggil menyahut kek...? Malah diam aja.” Pria itu malah balik menegurnya, mengabaikan protes Cheryl soal kunci.
Cheryl cepat-cepat mengusap air mata yang menggenang di pipinya, semakin kesal karena pria asing itu sudah seenaknya masuk ke kamarnya.
"Hei, lagi nangis?" Bara meliriknya sambil geleng-geleng kepala. "Nggak capek apa kamu? Nangis mulu," sindirnya, seperti tidak peduli dengan kesedihannya.
Bara meregangkan tubuhnya seraya mengedarkan pandangannya pada kamar mungil bernuansa ungu muda yang tertata rapi ini.
Ruang pribadi Cheryl ini penuh dengan sentuhan ceria, mulai dari poster-poster BTS yang memenuhi dinding hingga standee Jungkook yang seolah menyapanya dari sudut kamar.
Bara mengamati setiap detail yang nampaknya begitu "Cheryl”.
Di atas ranjang, Cheryl duduk bersandar, wajahnya tampak lelah dan bengkak akibat banyak menangis. Ia melirik Bara yang berdiri di tengah kamar, menelisik setiap detail ruangan pribadinya ini.
Dalam hati Cheryl merasa terganggu. 'Kenapa aku harus merasa terpojok oleh keberadaannya? Dia tidak tahu apa-apa tentang aku. Tentang kesedihanku. Tapi… ada sesuatu dalam cara dia berdiri di sana, memandangku seperti aku adalah teka-teki yang perlu dipecahkan.'
"Kamu pasti... bukan penggemar K-Pop," gumam Cheryl pelan, nada suaranya sedikit serak. Ia mengikuti arah pandang Bara yang sedang mengerutkan keningnya pada standee Jungkook-nya, hadiah ulang tahun dari bapak.
"Kamu... menyukai hal semacam itu ya?" Bara mencebik.
"Kenapa memangnya? Jungkook itu… semangat hidupku. Jangan mencelanya, apalagi di depanku. Aku siap ribut kalau kamu melakukannya.” Cheryl melipat tangannya di dada, dagunya terangkat sedikit seolah menantang.
Bara tersenyum miring. "Suka ribut juga, ya? Bahkan demi si Jungkook? Yang dia saja mungkin nggak tahu bahwa ada manusia bernama Cheryl Anindita di dunia ini?"
Cheryl mendengus pelan. "Nggak penting Jungkook tahu aku ini hidup atau nggak, yang penting aku bahagia dengan adanya dia hidup di dunia ini.”
Bara menghela napas, seakan tak habis pikir. Iapun diam, seolah tak ingin melanjutkan perdebatan yang tak penting tentang si Jungkook.
Pria bertubuh tinggi tegap itupun segera mengalihkan pandangannya ke rak kecil di sebelah ranjang yang penuh buku. Ada beberapa novel romansa ringan, semuanya tertata rapi, mencerminkan sisi lembut Cheryl yang tersembunyi.
Mata Bara sempat tertahan pada foto keluarga kecil Cheryl di meja nakas. Hanya sekejap, sebelum ia kembali bersikap seperti biasa—dingin dan mendominasi.
"Cheryl. Kita punya kesepakatan. Aku nggak mau ada alasan lagi. Tahlilan hari ketujuh Bapak sudah selesai, kamu pindah ke rumahku,” ucap Bara tiba-tiba, dengan suaranya yang tegas dan mendominasi.
Cheryl mendengus sinis. Dia tidak pernah ingat pernah membuat kesepakatan macam itu.
"Nggak mau. Rumah ini… punya kenangan yang tak ternilai bagiku,” ketusnya. Ia balas memandang Bara yang sedang menghela napas seraya memandang dirinya sambil melipat kedua tangannya di perut, dengan sorot matanya yang tertuju lurus-lurus pada Cheryl.
Cheryl melihat dominasi dalam tatapan pria itu. Dan dia... tidak suka!
"Kamu terpaksa menikahiku, kan?"
Bara hanya diam, sama sekali tak menampik. Ada sesuatu dalam tatapannya—entah dingin, entah penuh maksud—yang membuat Cheryl ingin membalas tatapan itu dengan kemarahan, tapi juga rasa penasaran.
“Well. Kita… sama-sama terpaksa menikah demi bapak.” Cheryl terdiam sejenak, “But… he’s gone…,” suaranya sedikit bergetar oleh tangis. “Jadi, kamu bisa pergi sekarang.”
Mimi mendorong pintu kamar Baby pelan, nyaris tanpa suara. Dua pelayan lain mengikuti di belakangnya, langkah mereka teratur, seragam, seperti pasukan kecil yang bergerak dengan satu komando.Di sudut kasur, Baby meringkuk. Rambutnya berantakan, mata membesar memandangi pintu yang tiba-tiba terbuka. Napasnya memburu. Ia tampak seperti anak kucing basah yang tersudut, siap mencakar siapa pun yang mendekat.Begitu Mimi melangkah ke dalam, Baby sontak bangkit. Kakinya terantuk sudut ranjang, tapi ia tak peduli. Suaranya pecah jadi jeritan.“Apa yang kalian lakukan?! Kenapa masuk-masuk kamarku tanpa izin?!”Mimi tak menjawab. Ia hanya menoleh pada salah satu pelayan, memberi aba-aba singkat.Pelayan di belakangnya segera membuka lemari, menarik gantungan baju satu per satu. Suara gesekan gantungan menambah panas di kepala Baby.“STOP IT!” jerit Baby. Tangannya meraih bantal, melemparkannya ke arah Mimi, tapi Mimi tak berhenti. Bantal itu jatuh di kaki pelayan yang sibuk melipat baju.“Ka
Nyonya Anne hanya tersenyum penuh makna.“Tapi kamu dan Baby tidak memiliki ikatan darah, Bara. Kalian sah-sah saja kalau menikah. Lagipula… pertunanganmu dengan Milena juga sudah tidak mungkin dilanjutkan, bukan?”Bara diam. Diamnya tajam seperti pisau basah baru diangkat dari batu asah. Rahangnya menegang. Otot lehernya berdenyut, seolah menahan sesuatu yang hampir tumpah.Dadanya terasa dihantam batu. Berat. Panas. Kata-kata Nyonya Anne berputar di kepalanya seperti rantai besi—membelenggunya lagi di sudut tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya.Ia menahan napas. Menelan dengus marah yang nyaris meledak. Matanya terarah lurus pada Nyonya Anne. Tatapannya dingin, membakar, menguliti sisa keberanian di wajah wanita itu.Dan di sela retak benaknya, Bara mendengar pesan kakeknya yang masih menancap di dasar kepalanya.“Jangan terlalu menghukum dirimu, Nak. Tak perlu jadi martir. Kematian Sabira sama sekali bukan salahmu.”Seketika, sisa sabarnya runtuh.Bara mencondongkan tubuh.
Bara sampai di rumahnya. Lampu-lampu gantung kristal di foyer memantulkan kilau ke seluruh lantai marmer, menelan bayangan Bara yang baru pulang melewati pintu besar dari kayu jati solid. Beberapa pelayan berdiri berjejer, menyambut serempak dengan anggukan hormat. “Selamat datang, Tuan.”Bara hanya mengangguk, dingin. Wibawanya sudah cukup jadi jawaban untuk mereka.Di ruang tamu utama, Tuan Tomi dan Nyonya Anne duduk di atas sofa panjang berbalut beludru krem keemasan dengan sandaran berukir halus. Beberapa bantal dekorasi berlapis sutra tersebar di sisi-sisinya, menciptakan kontras mewah dengan meja tamu berpermukaan marmer putih yang di atasnya mengepul teko teh porselen bermotif biru tua.Mereka tampak terlalu santai di sana, menyesap teh seolah berkunjung ke vila musim panas, bukan di rumah orang yang telah berbaik hati menampung putri mereka—yang kini mengunci diri di sebuah kamar sambil menangis karena ketakutan mereka datang.Bara menapaki permadani Persia yang merentang di a
Bara baru saja selesai berpakaian ketika ponselnya mulai bergetar di nakas. Layar itu menampilkan satu nama yang jarang muncul. “Mimi”.Kepala pelayan di rumahnya, wanita setengah baya yang selalu bicara seperlunya. Kalau Mimi menekan tombol call, pasti ada yang sedang tidak beres di rumahnya.Bara mendesah pendek. Satu bagian dari otaknya berteriak: “Jangan angkat. Nikmati malammu barang lima menit lagi.” Tapi, tangannya sudah bergerak duluan.“Ya, Mimi?” Suaranya keluar dingin. Seperti biasa. Dia selalu terdengar seperti pria yang tak bisa disentuh.“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini mendesak. Orangtua Nona Baby datang ke rumah. Mereka ingin bertemu dengan Nona Baby, tapi Nona Baby justru mengunci diri di kamar, menangis sambil menjerit-jerit. Saya tidak bisa menanganinya sendiri. Pak Sofyan juga belum datang.”Sial.Malamnya hancur dalam detik. Bara mendongak, menatap langit-langit kamar hotel yang bagai menekannya. Dia ingin marah, tapi apa gunanya?“Aku bahkan baru mau istirahat
Reno berdiri di tengah ruangan suite, tangannya merapikan kerah kemejanya yang kusut sedikit. Beberapa kru dekorasi baru saja merapikan pita terakhir, lalu mengecek ulang balon yang bertuliskan huruf emas: “Happy Graduation, Dear Cheryl.”“Sudah siap, Pak Reno,” lapor seorang anggota tim asisten pribadi Valen. Sementara kru dekorasi dengan cekatan membereskan sampah dan merapikan ruangan. Reno menoleh, tatapannya menyisir tiap sudut ruangan. Pita satin sudah terpasang manis di pojok. Kue putih tampak cantik di meja sudut. Kotak hadiah berlapis kertas emas pun sudah siap menunggu.“Good job. Kalian bisa pulang sekarang. Terima kasih,” ujarnya sambil menepuk bahu anak buahnya itu.Semua orang langsung mengangguk, berkemas cepat tanpa banyak bicara. Suara pintu suite terbuka lalu tertutup lagi, meninggalkan Reno sendirian.Reno baru saja hendak memastikan pita terakhir di balon tidak miring, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Layar menyala, menampilkan nama “Dokter Josh
Cheryl terpaku di depan cermin meja rias. Ia sudah memakai piyama tidurnya. Rambutnya sudah selesai dikeringkan dengan hair dryer.Ia menggigit bibir bawahnya—bibir yang masih tampak bengkak, merah, lembap. Jejak ciuman Valen yang menempel begitu dalam, seolah masih menekan syaraf di belakang tengkuknya.Dan saat ia melirik sekilas, tatapannya membentur plakat yang tadi diserahkan oleh Bara.Ia langsung menunduk, seolah tak sanggup memandang lebih lama lagi. Entah kenapa, ada yang terasa aneh. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, tapi bukan karena ciuman tadi. Ada sesuatu yang berdesir di balik tulang rusuknya—sebuah rasa bersalah yang bahkan sulit ia beri nama.Ia tak menyangkal, bahwa ia memang tenggelam. Nyaris hanyut di bawah sentuhan Valen yang lembut tapi menuntut. Ia bahkan mendesah, menikmati dan membalas ciuman itu. “Astaga,” gumamnya sambil menangkupkan telapak tangannya di wajah. Sungguh. Ia merasa bersalah pada Valen. “Gara-gara mimpi sialan!” erangnya menyalahkan diri