Share

3. Pijakan yang Hilang

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2024-11-08 16:59:26

Di bawah langit mendung yang seakan ikut berkabung, suasana tempat pemakaman umum terasa begitu hening dan sendu. 

Teman, tetangga, dan kerabat, serta orang-orang yang pernah merasakan kebaikan Pak Bondan hadir hari itu, turut mengantarkannya dengan doa. 

Tubuh Cheryl gemetar, wajahnya pucat, dan matanya sembab karena tangis yang hampir tak terhenti. Kehilangan sosok bapak, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, telah membuatnya rapuh dan hancur sehancur-hancurnya.

Tubuh Cheryl terasa lemah, hampir tak sanggup menopang dirinya sendiri. Lututnya bergetar, pandangannya kabur oleh air mata. Sesekali ia terhuyung, dan di saat-saat itu, Bara dengan cekatan menangkapnya. Tangan pria itu terasa kokoh di lengannya, dingin tapi stabil—seperti penopang yang tak diinginkan, tapi tak bisa ditolak.

Ketika ia benar-benar kehilangan kesadaran sejenak, Cheryl mendapati dirinya dalam gendongan Bara. Kehangatan tubuhnya terasa aneh, hampir tidak nyata, kontras dengan wajah datar pria itu yang tak menunjukkan apa pun selain kewajiban. Dari sudut pandangnya, mata Bara tampak penuh keterpaksaan, seolah ia melakukan semua ini hanya karena keadaan memaksanya.

Namun, Cheryl tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia merasa sedikit terlindungi. Setidaknya untuk saat ini, ia merasa tidak sendirian. Dalam hati, ia bertanya-tanya: bagaimana mungkin seseorang yang begitu asing, begitu dingin, kini memegang kendali atas kerapuhannya? Dan justru itu yang membuatnya semakin ingin menangis. Semua ini terlalu salah. Terlalu menyakitkan.

Saat akhirnya jenazah Pak Bondan mulai diturunkan ke liang lahat, tangis Cheryl kian menjadi. Tubuhnya kian berguncang, air mata semakin deras membasahi pipinya. 

“Bapak… Cheryl nggak kuat, Pak... Cheryl nggak siap kehilangan Bapak secepat ini... Cheryl butuh Bapak...,” gumam Cheryl lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah kesedihannya. Matanya tak bisa lepas dari jenazah Pak Bondan yang kini mulai tertutup tanah. 

“Padahal kita udah bikin banyak rencana buat merayakan wisuda Cheryl….”

“Cheryl… bapakmu mungkin sedih kalau kamu menangis terus seperti ini,” suara Bara terdengar pelan, seperti mencoba menyentuh ruang kecil di antara isakannya yang pecah.

Cheryl mendongak, memandangnya dengan mata sembab. Ia mendengus. 'Apa yang dia tahu soal rasa kehilangan ini?' pikirnya.

“Bapak udah biasa lihat aku nangis kok,” balasnya, suaranya mengguratkan keletihan sekaligus kemarahan yang ia tak tahu harus dilampiaskan ke siapa. “Justru aneh kalau aku nggak nangis pas Bapak meninggal. Kucing mati aja aku tangisin, apalagi ini… bapakku sendiri. Kamu jangan ngelarang aku nangis. Kamu itu cuma orang asing yang kebetulan jadi suamiku.”

Kata-katanya meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Tapi Bara hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap datar seperti biasa. “Oke. Aku orang asing… yang kebetulan jadi suamimu.” Tidak ada nada menyindir, tidak ada emosi dalam suara bariton itu. Seolah pernyataan Cheryl hanyalah fakta sederhana yang tak perlu diperdebatkan.

Penerimaan datar yang membuat Cheryl merasa semakin kesal, membuatnya menangis semakin keras.

Akhirnya Bara tidak lagi berkomentar ketika Cheryl kembali menangis lagi dan lagi, sepuasnya.

Seorang teman lama Pak Bondan maju ke depan untuk memberikan sambutan singkat. Suaranya parau namun penuh keikhlasan. 

“Pak Bondan adalah… teman yang setia, selalu mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan. Hidupnya… penuh dengan kebaikan yang tak terhitung. Hari ini… kita semua di sini… bukan sekadar mengantar beliau, tapi juga untuk menghargai… segala jasa dan kasih yang pernah diberikannya.”

Cheryl kian tersedu mendengar kata-kata itu. Kenangan akan bapak yang tak pernah lelah mengajarinya untuk peduli pada sesama kembali menyeruak di benaknya, menambah kesedihan di hatinya. 

Ketika prosesi selesai, Cheryl terduduk di sisi pusara, menatap tanah yang kini menutupi tubuh sang bapak. Matanya kosong, bibirnya gemetar saat ia berbisik, “Pak…, terima kasih untuk semuanya… untuk segalanya….”

Bara berdiri diam sembari menatap langit yang semakin kelabu. Rintik gerimis mulai turun, seakan-akan alam ikut merasakan duka yang menggantung di udara. 

Saat semua orang mulai meninggalkan area pemakaman, Cheryl tetap bergeming, tatapannya terpaku pada pusara Bapak yang berdampingan dengan pusara Ibu—yang telah meninggal lebih dulu sejak usia Cheryl tujuh tahun.

Bara berdiri di sampingnya, memayungi Cheryl dengan sabar. Waktu terus berlalu, dan udara semakin dingin. Bara menghela napas panjang, menggoyangkan payungnya sedikit, namun Cheryl tetap tak memberi reaksi. Wajahnya mengeras, ketidaksabarannya mulai tampak menyeruak.

Akhirnya, Bara menurunkan payungnya, membiarkannya terjatuh ke tanah. “Cukup,” gumamnya, nyaris seperti perintah. Tanpa banyak bicara, dia membungkuk, lalu mengangkat Cheryl dalam gendongannya. Gerakannya tegas, tidak memberi ruang bagi Cheryl untuk menolak.

Cheryl meronta dalam gendongan Bara, tangannya memukul-mukul dadanya dengan marah. “Lepasin aku! Aku nggak mau pulang! Aku mau sama Bapak…!” teriaknya, suaranya pecah di antara tangisnya yang menggema.

Namun, Bara tak memperlambat langkahnya. Tanpa menghiraukan protes dan amukan Cheryl, dia terus berjalan dengan tatapan lurus, seolah tak ada yang bisa mengubah keputusannya.

Di dekat sebuah mobil berwarna hitam obsidian, seorang pria berkacamata sudah menunggu, mesin mobil menderu pelan. Begitu melihat Bara mendekat, pria itu sigap membuka pintu belakang, memberi jalan tanpa sepatah kata.

“Keluarkan aku! Aku mau ke Bapak…!” Cheryl meronta, berusaha membuka pintu mobil.

Bara dengan sigap menariknya kembali, mendekapnya erat di tempat duduk. “Dengar, Cheryl!” suaranya tegas, hampir seperti geraman. 

“Aku nggak melarang kamu nangis, tapi nangis itu butuh tenaga. Kita pulang dulu, kamu makan, istirahat… baru nangis sepuasnya di rumah. Kuburan Bapak nggak akan ke mana-mana. Besok atau kapan pun, kamu bisa balik lagi ke sini. Paham?”

Nada suaranya dingin, namun sarat dengan maksud yang tak bisa dibantah.

Suara Bara yang rendah, tajam, dan tegas itu seolah memiliki kekuatan hipnotis. Cheryl, yang kelelahan, tiba-tiba terdiam, lalu tubuhnya limpung dan pingsan.

“Dasar cengeng, merepotkan,” gerutu Bara pelan, hampir tak terdengar, sambil mengatur sandaran kursi mobil agar Cheryl bisa beristirahat lebih nyaman.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   199. Catatan Penting

    Bara baru saja melirik layar monitornya ketika lengan halus Cheryl melingkar di belakang lehernya. Aroma tubuhnya langsung menyusup ke hidung Bara, memancing reaksi spontan dalam otot-ototnya yang tadi tegang karena konsentrasi.“Baiklah, Pak Bos.” Suara Cheryl terdengar lembut dan genit di telinganya, sebelum bibirnya mengecup pipi kanan Bara dengan manis. “Silakan lanjutkan pekerjaan Anda.”Bara menoleh, matanya menangkap kilau jenaka dan hangat dalam sorot mata Cheryl. Kelembutan wanita itu selalu berhasil merontokkan tekanan yang menggumpal di kepalanya.“I love you,” tambah Cheryl saat mata mereka saling bertatapan, suaranya seperti alunan nada yang hanya diciptakan untuk menggoda jiwanya.Tatapan Bara melembut. Dengan satu gerakan tenang, ia menarik dagu Cheryl dan mengecup pipinya sekilas. “I love you more,” gumamnya dalam nada dalam dan rendah, terdengar seperti pengakuan dari dasar hatinya yang terdalam.Cheryl tertawa pelan, melangkah mundur.“Sayang. Kalau kamu sudah selesa

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   198. Begitu Berarti

    Udara di ruang kerja Bara masih hangat oleh jejak-jejak gairah. Aroma tubuh Cheryl, samar-samar bercampur dengan wangi kulit sofa dan parfum maskulin Bara, menciptakan atmosfer yang liar dan memabukkan.Tubuh Cheryl masih berada dalam pelukan Bara, pipinya menempel ringan di dada bidang pria itu, yang mulai tenang dari debar memuncak barusan.“Gila…,” bisik Cheryl, senyumnya terlukis lelah tapi puas. “Kita akhirnya... betul-betul melakukannya di sini.”Nada suaranya rendah, sedikit serak, dan entah kenapa terdengar begitu menggiurkan di telinga Bara.Bara menunduk, bibirnya mengecup lembut sudut bibir Cheryl yang terlihat penuh. “Seru, kan?” gumamnya, senyum nakal terbit di wajah tampannya.Cheryl hanya tertawa kecil, sebelum menghela napas dan mendorong pelan dada bidang itu. “Katanya… waktumu sempit? Banyak yang harus kamu urus untuk Apex. Kamu harus siap-siap rapat, kan?”Bara memutar mata malas, masih ingin menahan Cheryl dalam pelukannya, namun wanita itu sudah bangkit dari sofa

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   197. Obat Stres Terbaik

    Bara duduk di balik meja kerjanya. Tangannya bertumpu pada pelipis, sementara layar laptop di depannya menampilkan grafik, tabel, dan catatan analisa yang tak henti bergulir. Laporan dari direktur keuangan, staf ahli strategi pasar, hingga konsultan merger terpampang jelas, menunggu untuk ditindaklanjuti.Namun matanya kosong. Fokusnya buyar. Pikirannya tidak betul-betul tertuju pada pekerjaan. Dia mencoba menyusuri data: skenario tanpa buyback, angka-angkanya jelas menunjukkan tekanan leverage yang tinggi dalam jangka menengah. Opsi kedua, buyback total, secara teori akan menenangkan pasar, tapi memperkecil likuiditas. Sementara skema ketiga, buyback parsial disertai narasi penguatan pasar, masuk akal, tapi sangat bergantung pada timing dan sentimen publik.Logikanya memetakan semua itu, seperti biasa. Cepat, dingin, presisi. Tapi emosinya? Berantakan.“Sial,” gumamnya, setengah menggeram. “Istriku… betul-betul keras kepala.”Matanya berpindah sejenak ke sisi meja, di mana ponselnya

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   196. Merangkul Ego

    Di sebuah area tangga darurat di lantai 20-an Apex Tower, suara langkah kaki nyaris tak terdengar di tempat itu. Hanya desau angin dari ventilasi dan isakan lirih yang memecah keheningan.Cheryl duduk di anak tangga ketiga dari atas, tubuhnya membungkuk, wajahnya tersembunyi di atas kedua lutut. Bahunya naik-turun, terguncang oleh tangis. Tangannya menggenggam tisu yang setengah basah, kusut, sementara beberapa helai rambutnya menempel di pipi yang basah oleh air mata.Bukan tangisan keras yang meledak-ledak, tapi tangisan yang tertahan, dalam, penuh sesak. Seperti tangisan seseorang yang terlalu lama memendam rasa sakit tanpa tahu cara meluapkannya."Aku nggak boleh ngopi sama Axel, katanya? Kenapa? Takut Bara marah?" gumamnya, suaranya serak dan getir. "Tapi nggak ada yang takut kalau aku marah? Apa cuma Bara yang berhak marah? Karena dia kaya? Karena dia punya segalanya, terus bebas marah? Sedangkan aku yang nggak punya apa-apa… nggak berhak marah, ya?"Suaranya menggema kecil di

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   195. Resah

    Bara melangkah cepat, setengah berlari, sangat tergesa-gesa, seperti hendak menghadiri rapat dewan darurat yang akan menentukan nasib perusahaan yang sedang di ambang krisis.Beberapa pegawai yang berpapasan refleks menunduk memberi hormat, tapi pria itu tak menoleh, apalagi membalas. Tatapannya tertuju lurus, tajam seperti panah yang telah dikunci pada satu sasaran: lift VIP.Para pegawai saling melempar pandang. Wajah sang CEO yang biasanya dingin dan tenang, kini dipenuhi ketegangan. Lengan kemeja panjangnya digulung hingga ke siku, dasinya sedikit kendur, dan rambutnya sedikit acak-acakan karena ia telah berkali-kali menyugar rambutnya. Itu semua tanda bahwa sang CEO terlalu sibuk untuk sekedar memperhatikan penampilannya, yang biasanya selalu terjaga rapi dan tanpa cela.Dalam situasi Apex yang sedang rawan, pemandangan ini tampak seperti isyarat siaga satu. “Lihat. Pak Bara nggak pernah kelihatan kacau seperti itu.”“Iya, kelihatannya tegang banget. Belum pernah aku melihatnya

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   194. Belum Pernah Sepanik Ini

    Cheryl keluar dari ruangan Bara dengan hati terbakar panas. Sakit bukan main. "Oh. Dia tetap makan siang dengan Baby,” gerutunya. Sialan. Bara jelas-jelas sudah membaca pesannya, tapi lelaki itu tak menggubris. Tak menghargai perasaannya.“Adik mana coba yang suka gerayangan mesra ke kakaknya sendiri? Mana kakaknya juga kelihatan nyaman-nyaman aja. Keterlaluan," geramnya.Langkah Cheryl menghentak cepat di lorong. Tumit sepatunya beradu keras dengan lantai kantor yang dingin. Napasnya memburu karena emosi yang mendidih dalam dada.Bahkan ia sama sekali tak menoleh ke meja Nina. Lupa untuk berbasa-basi pada sekretaris Bara yang gila hormat itu.Nina yang melihat Cheryl melintasinya begitu sapa langsung mendongak dari balik layar komputernya. Senyumnya yang sudah setengah terbentuk langsung menguap. Matanya menyipit, bibirnya manyun tak terima.“Gila ya? Cuma asisten pribadi doang… yang tugasnya nggak jauh beda sama pembantu, tapi sombong banget sama aku yang jelas-jelas sekretarisnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status