Mag-log inDi bawah langit mendung yang seakan ikut berkabung, suasana tempat pemakaman umum terasa begitu hening dan sendu.
Teman, tetangga, dan kerabat, serta orang-orang yang pernah merasakan kebaikan Pak Bondan hadir hari itu, turut mengantarkannya dengan doa.
Tubuh Cheryl gemetar, wajahnya pucat, dan matanya sembab karena tangis yang hampir tak terhenti. Kehilangan sosok bapak, satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, telah membuatnya rapuh dan hancur sehancur-hancurnya.
Tubuh Cheryl terasa lemah, hampir tak sanggup menopang dirinya sendiri. Lututnya bergetar, pandangannya kabur oleh air mata. Sesekali ia terhuyung, dan di saat-saat itu, Bara dengan cekatan menangkapnya. Tangan pria itu terasa kokoh di lengannya, dingin tapi stabil—seperti penopang yang tak diinginkan, tapi tak bisa ditolak.
Ketika ia benar-benar kehilangan kesadaran sejenak, Cheryl mendapati dirinya dalam gendongan Bara. Kehangatan tubuhnya terasa aneh, hampir tidak nyata, kontras dengan wajah datar pria itu yang tak menunjukkan apa pun selain kewajiban. Dari sudut pandangnya, mata Bara tampak penuh keterpaksaan, seolah ia melakukan semua ini hanya karena keadaan memaksanya.
Namun, Cheryl tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia merasa sedikit terlindungi. Setidaknya untuk saat ini, ia merasa tidak sendirian. Dalam hati, ia bertanya-tanya: bagaimana mungkin seseorang yang begitu asing, begitu dingin, kini memegang kendali atas kerapuhannya? Dan justru itu yang membuatnya semakin ingin menangis. Semua ini terlalu salah. Terlalu menyakitkan.
Saat akhirnya jenazah Pak Bondan mulai diturunkan ke liang lahat, tangis Cheryl kian menjadi. Tubuhnya kian berguncang, air mata semakin deras membasahi pipinya.
“Bapak… Cheryl nggak kuat, Pak... Cheryl nggak siap kehilangan Bapak secepat ini... Cheryl butuh Bapak...,” gumam Cheryl lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah kesedihannya. Matanya tak bisa lepas dari jenazah Pak Bondan yang kini mulai tertutup tanah.
“Padahal kita udah bikin banyak rencana buat merayakan wisuda Cheryl….”
“Cheryl… bapakmu mungkin sedih kalau kamu menangis terus seperti ini,” suara Bara terdengar pelan, seperti mencoba menyentuh ruang kecil di antara isakannya yang pecah.
Cheryl mendongak, memandangnya dengan mata sembab. Ia mendengus. 'Apa yang dia tahu soal rasa kehilangan ini?' pikirnya.
“Bapak udah biasa lihat aku nangis kok,” balasnya, suaranya mengguratkan keletihan sekaligus kemarahan yang ia tak tahu harus dilampiaskan ke siapa. “Justru aneh kalau aku nggak nangis pas Bapak meninggal. Kucing mati aja aku tangisin, apalagi ini… bapakku sendiri. Kamu jangan ngelarang aku nangis. Kamu itu cuma orang asing yang kebetulan jadi suamiku.”
Kata-katanya meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Tapi Bara hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap datar seperti biasa. “Oke. Aku orang asing… yang kebetulan jadi suamimu.” Tidak ada nada menyindir, tidak ada emosi dalam suara bariton itu. Seolah pernyataan Cheryl hanyalah fakta sederhana yang tak perlu diperdebatkan.
Penerimaan datar yang membuat Cheryl merasa semakin kesal, membuatnya menangis semakin keras.
Akhirnya Bara tidak lagi berkomentar ketika Cheryl kembali menangis lagi dan lagi, sepuasnya.
Seorang teman lama Pak Bondan maju ke depan untuk memberikan sambutan singkat. Suaranya parau namun penuh keikhlasan.
“Pak Bondan adalah… teman yang setia, selalu mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan. Hidupnya… penuh dengan kebaikan yang tak terhitung. Hari ini… kita semua di sini… bukan sekadar mengantar beliau, tapi juga untuk menghargai… segala jasa dan kasih yang pernah diberikannya.”
Cheryl kian tersedu mendengar kata-kata itu. Kenangan akan bapak yang tak pernah lelah mengajarinya untuk peduli pada sesama kembali menyeruak di benaknya, menambah kesedihan di hatinya.
Ketika prosesi selesai, Cheryl terduduk di sisi pusara, menatap tanah yang kini menutupi tubuh sang bapak. Matanya kosong, bibirnya gemetar saat ia berbisik, “Pak…, terima kasih untuk semuanya… untuk segalanya….”
Bara berdiri diam sembari menatap langit yang semakin kelabu. Rintik gerimis mulai turun, seakan-akan alam ikut merasakan duka yang menggantung di udara.
Saat semua orang mulai meninggalkan area pemakaman, Cheryl tetap bergeming, tatapannya terpaku pada pusara Bapak yang berdampingan dengan pusara Ibu—yang telah meninggal lebih dulu sejak usia Cheryl tujuh tahun.
Bara berdiri di sampingnya, memayungi Cheryl dengan sabar. Waktu terus berlalu, dan udara semakin dingin. Bara menghela napas panjang, menggoyangkan payungnya sedikit, namun Cheryl tetap tak memberi reaksi. Wajahnya mengeras, ketidaksabarannya mulai tampak menyeruak.
Akhirnya, Bara menurunkan payungnya, membiarkannya terjatuh ke tanah. “Cukup,” gumamnya, nyaris seperti perintah. Tanpa banyak bicara, dia membungkuk, lalu mengangkat Cheryl dalam gendongannya. Gerakannya tegas, tidak memberi ruang bagi Cheryl untuk menolak.
Cheryl meronta dalam gendongan Bara, tangannya memukul-mukul dadanya dengan marah. “Lepasin aku! Aku nggak mau pulang! Aku mau sama Bapak…!” teriaknya, suaranya pecah di antara tangisnya yang menggema.
Namun, Bara tak memperlambat langkahnya. Tanpa menghiraukan protes dan amukan Cheryl, dia terus berjalan dengan tatapan lurus, seolah tak ada yang bisa mengubah keputusannya.
Di dekat sebuah mobil berwarna hitam obsidian, seorang pria berkacamata sudah menunggu, mesin mobil menderu pelan. Begitu melihat Bara mendekat, pria itu sigap membuka pintu belakang, memberi jalan tanpa sepatah kata.
“Keluarkan aku! Aku mau ke Bapak…!” Cheryl meronta, berusaha membuka pintu mobil.
Bara dengan sigap menariknya kembali, mendekapnya erat di tempat duduk. “Dengar, Cheryl!” suaranya tegas, hampir seperti geraman.
“Aku nggak melarang kamu nangis, tapi nangis itu butuh tenaga. Kita pulang dulu, kamu makan, istirahat… baru nangis sepuasnya di rumah. Kuburan Bapak nggak akan ke mana-mana. Besok atau kapan pun, kamu bisa balik lagi ke sini. Paham?”
Nada suaranya dingin, namun sarat dengan maksud yang tak bisa dibantah.
Suara Bara yang rendah, tajam, dan tegas itu seolah memiliki kekuatan hipnotis. Cheryl, yang kelelahan, tiba-tiba terdiam, lalu tubuhnya limpung dan pingsan.
“Dasar cengeng, merepotkan,” gerutu Bara pelan, hampir tak terdengar, sambil mengatur sandaran kursi mobil agar Cheryl bisa beristirahat lebih nyaman.
***Pagi itu begitu bening.Cahaya matahari menyusup lembut di antara pepohonan, menimpa hamparan rumput hijau yang masih berembun. Udara terasa segar, membawa aroma bunga melati dan mawar putih yang menghiasi setiap sudut taman tepi danau tempat akad nikah akan berlangsung.Tak ada gemuruh musik keras, hanya denting lembut orkes akustik yang mengalun dari pengeras suara kecil. Suasananya begitu sakral dan menenangkan, seperti pagi yang berdoa.Di tengah taman, sebuah meja akad sederhana berdiri.Terbalut kain putih gading dengan sentuhan eucalyptus segar di setiap sisinya. Di depan meja itu, Bara duduk mengenakan jas putih gading berpadu peci senada. Wajahnya teduh, namun ada ketegangan kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia akan menjemput wanita yang selama ini menjadi doa dalam setiap langkahnya.Di sisi lain, Tuan Sigit duduk berwibawa di kursi kehormatan bersama Tuan Wishnu. Beskap krem muda yang mereka kenakan berpadu dengan senyum tipis di bibir keduanya yang jarang terl
Di sebuah ballroom hotel bintang lima, musik orkestra mengalun pelan, membungkus suasana dengan kemewahan yang memukau. Sebuah pesta yang jelas dirancang bukan hanya untuk merayakan cinta, tetapi juga untuk menunjukkan kuasa dan nama besar konglomerat yang sedang menikahkan putranya.Para tamu hadir dengan busana terbaik mereka. Pria berjas hitam yang rapi, wanita bergaun malam anggun. Berlian dan mutiara saling beradu cahaya di bawah lampu gantung kristal yang elegan. Pelaminan berdiri megah, berlatar dinding bunga putih yang dirangkai sempurna, seperti simbol kemurnian dan keabadian.Bara berdiri memasuki gedung itu, mengenakan setelan formal yang membuatnya tampak lebih berwibawa dari biasanya. Ia menggandeng Cheryl di sisinya. Malam itu bukan sekadar undangan pesta. Bagi Bara, itu saatnya mempublikasikan hubungannya dengan Cheryl pada dunia.”Sementara bagi Cheryl, genggaman tangan Bara terasa seperti pernyataan cinta yang paling lantang. Bahwa pada akhirnya, lelaki itu membiark
Bara duduk tegak di depan meja besar berlapis kayu jati itu, mencoba menjaga ketenangan di tengah udara ruangan yang terasa berat. Di sampingnya, Cheryl duduk kaku, jari-jarinya dingin dan sedikit bergetar di dalam genggamannya. Bara merasakannya jelas, getar halus itu seolah menyelusup ke nadinya sendiri, menyatukan kegelisahan mereka dalam satu denyut yang sama. Ia menatap wajah Cheryl sekilas, melihat mata bening itu berusaha tegar meski bayangan gugup tampak jelas di sana.Bara mempererat genggaman tangannya, ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Cheryl. Sebuah isyarat halus bahwa ia siap pasang badan untuk melindungi cinta dan masa depan mereka berdua.Sementara di hadapan mereka, Tuan Sigit duduk bersandar di kursinya yang tinggi, menatap keduanya bergantian dengan sorot mata tajam namun tenang. Ekspresinya sulit ditebak, antara menimbang, menilai, atau sekadar mengamati dari balik wajahnya yang nyaris tanpa emosi. Garis-garis usia di wajahnya tak mampu menyamarkan wib
Cheryl baru saja selesai mandi dan membuka lemari pakaian. Ia tersenyum kecil melihat semua bajunya masih tersusun rapi, meski ia sudah lama sekali pergi. Aroma pewangi pakaian menyergap lembut ketika ia menyibak deretan kain.Bara rupanya memerintahkan para pelayan untuk mencuci dan menyetrikanya secara rutin, seolah percaya bahwa pemilik pakaian itu akan kembali suatu hari nanti.Cheryl mengambil sepasang piyama lamanya, mengenakannya, lalu membuka laci meja rias. Senyumnya merekah melihat hair dryer lamanya bahkan masih tergeletak di sana juga, masih di tempat yang sama seperti dulu.“Ah, Bara…” gumamnya lirih. “Kamu benar-benar menjaga semuanya.”“Bukan cuma barang-barangmu yang kujaga, Sayang. Tapi juga hatiku… selalu kujaga untukmu. Aku milikmu, kan?”Suara berat itu datang dari belakang.Cheryl menoleh.Bara berdiri di ambang pintu rahasia yang menghubungkan kamar mereka, mengenakan kaus tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan tatapan mesra yang terlalu sulit untuk diabaikan.
Cheryl memandang bangunan megah dan anggun, yang berdiri kokoh di hadapannya. Ada getar rindu bercampur gugup, dan perasaan tak percaya bisa kembali ke tempat ini lagi… rumah besar milik Bara.“Aku bisa jalan sendiri,” tolaknya, saat Bara hendak menggendongnya keluar dari mobil.“Memang bisa, tapi lagi nggak aku bolehin.” Lelaki itu tetap menggendong Cheryl, seolah dunia bisa runtuh kapan saja jika ia melepaskannya lagi.Dengan langkah penuh kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan, Bara membawa Cheryl melintasi pintu utama rumahnya. Udara di dalamnya tercium harum lembut, aroma bunga lily dan kayu cendana, menyambut mereka seperti pelukan hangat yang sudah menunggu.Para pelayan berdiri berjajar di lorong, menunduk sopan.“Selamat datang kembali, Nona Cheryl.”Cheryl menatap sekeliling, tak menyangka akan disambut dengan penuh persiapan begini. Sementara itu Bara tersenyum kecil, matanya melirik Mimi yang berjalan mendekat dengan khas aura keibuan yang menenangkan. Seperti biasa,
Dalam udara malam masih terasa pekat oleh asap dan bau hangus, Cheryl membiarkan Bara menggendong tubuhnya. Kepalanya terkulai di dada bidang lelaki itu, merasakan dentum jantung yang berpacu cepat. Bau asap, keringat, dan samar wangi parfum maskulin dari tubuh Bara berpadu, menelusup ke hidungnya, membangkitkan setiap memori tentangnya yang selama ini coba ia kubur. Oh. Pria ini… ternyata benar-benar masih mengejarnya. Menyusulnya dengan napas yang tersengal, dengan tekad yang menggila. Ya. Cheryl tadi melihat sendiri bagaimana Bara menembus garis polisi, menerobos asap, dan berteriak memanggil namanya seolah dunia akan runtuh jika tak menemukannya.Ia masih bisa mendengar gema itu di telinganya, suara Bara yang berteriak keras… “CHERYL!”Suara parau yang tercabik di antara sirine dan teriakan orang, tapi entah kenapa justru menjadi satu-satunya suara yang menenangkan. Suara yang menembus hiruk-pikuk malam dan langsung menghantam jantungnya. Membuat napasnya tercekat, membuatnya







