LOGIN"Apa yang kamu pahami tentang makna ijab kabul yang aku ucapkan di depan penghulu saat itu?" Bara tiba-tiba mendesaknya dengan pertanyaan, suaranya pelan namun penuh ketegasan.
"Maknanya? Kamu pikir itu penting buat dibahas? Sudahlah. Kamu menikahiku bukan karena maumu apalagi cinta. Kamu menikahiku karena terpaksa. Jadi, jangan berpura-pura seolah ini berarti banyak."
Bara duduk di tepi ranjang, membuat Cheryl mundur sedikit sambil memandang awas padanya.
"Tak peduli ada cinta atau tidak, tapi faktanya kita menikah. Kita terikat sekarang.” Bara mendekat, menatap Cheryl lekat-lekat. "Kamu sekarang menjadi urusanku."
Cheryl tertawa sinis. “Itu cuma pernikahan siri, nggak perlu terlalu serius menyikapi pernikahan ini. Kita menikah cuma buat... bikin Bapak lega aja. Lagipula nggak ada yang tahu kalau kita sudah menikah, selain dua saksi yang asal comot dari rumah sakit itu… dan penghulu."
Bara tetap diam, hanya menatapnya. Cheryl melanjutkan dengan nada yang semakin keras, "Menikah di usia semuda ini, bahkan… sebelum wisuda? Itu bukan rencana hidupku. Aku masih pengen bebas, pengen cari kerja, punya karir bagus, terus jadi wanita independen yang nggak bergantung sama siapa-siapa, apalagi bergantung sama… lelaki seperti kamu."
"Lelaki seperti… aku?" Bara mengulangi dengan nada yang lebih rendah, sebuah seringai tipis yang menjengkelkan muncul di wajah tampannya.
Sebelum Cheryl sempat menjawab, tiba-tiba ponsel Bara berdering.
Bara segera mendekatkan ponselnya di telinga. “Halo?” Dia tiba-tiba saja tertawa lirih.
Hah? Si kulkas berjalan ini bisa tertawa? Cheryl nyaris tak percaya!
“Kamu sendiri udah makan belum?” Suara Bara tiba-tiba berubah begitu lembut, nyaris tak pernah terdengar seperti itu di hadapan Cheryl.
Melihat bagaimana Bara bersuara, tampaknya ia sedang berbicara dengan seseorang yang spesial.
Cheryl memperhatikan Bara dengan seksama. Ada sedikit rasa tak nyaman yang semakin mengganjal di dadanya.
“Baby… I’m sorry…,” suara Bara terdengar penuh penyesalan, lagi-lagi mengalun selembut sutera. “Sepertinya nggak bisa sekarang. Ada sedikit urusan mendesak yang nggak bisa aku tinggalkan.”
Tatapan Bara yang biasanya penuh ketegasan dan dingin kepada Cheryl, kini berubah hangat dan melunak. Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya, senyum yang tak pernah ia perlihatkan pada Cheryl selama ini.
Cheryl menatap Bara yang kini benar-benar tampak berbeda, ada sisi lain dari dirinya yang baru saja terbuka di depan mata Cheryl.
Cheryl tidak pernah melihat Bara bersikap sehangat itu, bahkan selama mereka terlibat dalam pembicaraan tadi.
Sisi kelembutan yang terlihat sepanjang Bara berbicara dengan perempuan lain membuat Cheryl tiba-tiba merasa kesal.
Bara terlihat menghela napas dalam, seolah berat untuk mengakhiri pembicaraan pribadinya itu. “Ok. Nanti aku hubungi lagi, ya? Umm… me too, baby.”
Bisikan mesra itu nyaris terdengar seperti sayatan bagi Cheryl yang diam-diam mendengarnya.
Cheryl berusaha menahan diri, ada perasaan geram yang perlahan-lahan merambat dalam hatinya. Jadi, Bara sudah memiliki kekasih, seseorang yang ia panggil “Baby” dengan nada penuh kasih sayang. Lalu, untuk apa Bara bersikap seolah begitu peduli padanya sebagai “suami”? Mengapa Bara bertingkah seolah-olah ingin merawatnya, ingin ia ikut pindah ke rumahnya segala? Bara menutup teleponnya, ekspresi lembutnya seketika hilang dan kembali ke wajah tegas yang biasa ia tampilkan di hadapan Cheryl. Ia menyimpan ponselnya di saku, kemudian menoleh pada Cheryl yang menatapnya dengan tajam.“Kamu punya pacar,” ujar Cheryl dengan suara datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesalnya. “Lalu, buat apa kamu repot-repot bersikap seolah peduli padaku? Bukankah ini hanyalah pernikahan yang terpaksa?”Bara terdiam sejenak, seperti tak menduga Cheryl akan merespons setajam itu, lebih ketus dari yang sudah-sudah. “Cheryl, aku punya tanggung jawab sebagai suamimu. Itu berbeda dengan urusan pribadiku.”Cheryl mendengus. “Beda? Serius? Kamu mau bertanggung jawab sebagai suamiku tapi kamu punya pacar?” Ia memandang Bara dengan sorot penuh celaan.“Dih. Kamu nggak usah sok peduli sama aku! Nggak usah repot-repot main peran sebagai suamiku kalau di luar sana kamu sudah punya wanita lain.”
Bara menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meski Cheryl jelas sekali sedang menyerangnya. “Cheryl, dengar. Urusanku dengan wanita lain bukan urusanmu. Tapi pernikahan kita adalah janji yang harus aku pertanggungjawabkan.”Cheryl ternganga, matanya melebar dengan ekspresi terkejut yang dipenuhi rasa jijik. "Oh. Wow!" Dia memutar bola matanya dengan dramatis, seolah kehilangan kata-kata. "Kamu… luar biasa!" Kemudian, dia bertepuk tangan dengan ekspresi yang lebih mengejek daripada terkesan.
Bara terlihat begitu tenang, hampir dingin, saat dia berbicara tentang tanggung jawabnya sebagai suami.
Tapi bagi Cheryl, ketenangan itu malah terasa seperti penyamaran untuk sikapnya yang lebih buruk. Ada sesuatu dalam diri Bara yang membuatnya merasa ragu—sikapnya yang seolah tidak peduli, tapi juga terlalu memaksa. Dia bukan pria yang tampak tulus atau hangat, melainkan seseorang yang lebih fokus pada kewajiban, tanpa melihat perasaan orang lain.
Bara memegang teguh statusnya sebagai suami, tetapi kata-katanya tidak pernah mencerminkan komitmen yang sesungguhnya. Untuk Cheryl, itu membuatnya merasa seperti Bara hanya menjalankan peran dalam sebuah drama yang tidak pernah dia pilih.
Dia sering merasa Bara lebih terikat pada ide pernikahan—bukan padanya sebagai pasangan hidup. Ditambah lagi, sikapnya yang tak ragu untuk berbicara tentang wanita lain, meski mereka sudah menikah, semakin menguatkan perasaan Cheryl bahwa pria ini lebih peduli pada kepentingannya sendiri daripada hubungan mereka.
Bah. Suami macam apa ini ya, Lord!
Di mata Cheryl, Bara jelas-jelas red flag. Seperti api yang terlihat menyala, tapi tak pernah menghangatkan—hanya memberi kepastian bahwa dia harus berhati-hati.
Tidak ada kehangatan dalam cara Bara berperilaku, tidak ada niat untuk membangun sesuatu yang nyata antara mereka. Semua yang dia lakukan terasa lebih seperti kewajiban daripada cinta.
“Bukankah lebih baik aku tetap tinggal di sini dan kamu silakan pergi? Lalu mari... kita kembali melanjutkan hidup masing-masing seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Jadi kamu bisa bebas bersama dia.”
Cheryl memutar bola mata saat mengucapkan kata “dia”.
“Daripada kamu repot-repot mengurusiku? Ceraikan aku, sekarang.”
***
Pagi itu begitu bening.Cahaya matahari menyusup lembut di antara pepohonan, menimpa hamparan rumput hijau yang masih berembun. Udara terasa segar, membawa aroma bunga melati dan mawar putih yang menghiasi setiap sudut taman tepi danau tempat akad nikah akan berlangsung.Tak ada gemuruh musik keras, hanya denting lembut orkes akustik yang mengalun dari pengeras suara kecil. Suasananya begitu sakral dan menenangkan, seperti pagi yang berdoa.Di tengah taman, sebuah meja akad sederhana berdiri.Terbalut kain putih gading dengan sentuhan eucalyptus segar di setiap sisinya. Di depan meja itu, Bara duduk mengenakan jas putih gading berpadu peci senada. Wajahnya teduh, namun ada ketegangan kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Hari ini, ia akan menjemput wanita yang selama ini menjadi doa dalam setiap langkahnya.Di sisi lain, Tuan Sigit duduk berwibawa di kursi kehormatan bersama Tuan Wishnu. Beskap krem muda yang mereka kenakan berpadu dengan senyum tipis di bibir keduanya yang jarang terl
Di sebuah ballroom hotel bintang lima, musik orkestra mengalun pelan, membungkus suasana dengan kemewahan yang memukau. Sebuah pesta yang jelas dirancang bukan hanya untuk merayakan cinta, tetapi juga untuk menunjukkan kuasa dan nama besar konglomerat yang sedang menikahkan putranya.Para tamu hadir dengan busana terbaik mereka. Pria berjas hitam yang rapi, wanita bergaun malam anggun. Berlian dan mutiara saling beradu cahaya di bawah lampu gantung kristal yang elegan. Pelaminan berdiri megah, berlatar dinding bunga putih yang dirangkai sempurna, seperti simbol kemurnian dan keabadian.Bara berdiri memasuki gedung itu, mengenakan setelan formal yang membuatnya tampak lebih berwibawa dari biasanya. Ia menggandeng Cheryl di sisinya. Malam itu bukan sekadar undangan pesta. Bagi Bara, itu saatnya mempublikasikan hubungannya dengan Cheryl pada dunia.”Sementara bagi Cheryl, genggaman tangan Bara terasa seperti pernyataan cinta yang paling lantang. Bahwa pada akhirnya, lelaki itu membiark
Bara duduk tegak di depan meja besar berlapis kayu jati itu, mencoba menjaga ketenangan di tengah udara ruangan yang terasa berat. Di sampingnya, Cheryl duduk kaku, jari-jarinya dingin dan sedikit bergetar di dalam genggamannya. Bara merasakannya jelas, getar halus itu seolah menyelusup ke nadinya sendiri, menyatukan kegelisahan mereka dalam satu denyut yang sama. Ia menatap wajah Cheryl sekilas, melihat mata bening itu berusaha tegar meski bayangan gugup tampak jelas di sana.Bara mempererat genggaman tangannya, ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Cheryl. Sebuah isyarat halus bahwa ia siap pasang badan untuk melindungi cinta dan masa depan mereka berdua.Sementara di hadapan mereka, Tuan Sigit duduk bersandar di kursinya yang tinggi, menatap keduanya bergantian dengan sorot mata tajam namun tenang. Ekspresinya sulit ditebak, antara menimbang, menilai, atau sekadar mengamati dari balik wajahnya yang nyaris tanpa emosi. Garis-garis usia di wajahnya tak mampu menyamarkan wib
Cheryl baru saja selesai mandi dan membuka lemari pakaian. Ia tersenyum kecil melihat semua bajunya masih tersusun rapi, meski ia sudah lama sekali pergi. Aroma pewangi pakaian menyergap lembut ketika ia menyibak deretan kain.Bara rupanya memerintahkan para pelayan untuk mencuci dan menyetrikanya secara rutin, seolah percaya bahwa pemilik pakaian itu akan kembali suatu hari nanti.Cheryl mengambil sepasang piyama lamanya, mengenakannya, lalu membuka laci meja rias. Senyumnya merekah melihat hair dryer lamanya bahkan masih tergeletak di sana juga, masih di tempat yang sama seperti dulu.“Ah, Bara…” gumamnya lirih. “Kamu benar-benar menjaga semuanya.”“Bukan cuma barang-barangmu yang kujaga, Sayang. Tapi juga hatiku… selalu kujaga untukmu. Aku milikmu, kan?”Suara berat itu datang dari belakang.Cheryl menoleh.Bara berdiri di ambang pintu rahasia yang menghubungkan kamar mereka, mengenakan kaus tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan tatapan mesra yang terlalu sulit untuk diabaikan.
Cheryl memandang bangunan megah dan anggun, yang berdiri kokoh di hadapannya. Ada getar rindu bercampur gugup, dan perasaan tak percaya bisa kembali ke tempat ini lagi… rumah besar milik Bara.“Aku bisa jalan sendiri,” tolaknya, saat Bara hendak menggendongnya keluar dari mobil.“Memang bisa, tapi lagi nggak aku bolehin.” Lelaki itu tetap menggendong Cheryl, seolah dunia bisa runtuh kapan saja jika ia melepaskannya lagi.Dengan langkah penuh kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan, Bara membawa Cheryl melintasi pintu utama rumahnya. Udara di dalamnya tercium harum lembut, aroma bunga lily dan kayu cendana, menyambut mereka seperti pelukan hangat yang sudah menunggu.Para pelayan berdiri berjajar di lorong, menunduk sopan.“Selamat datang kembali, Nona Cheryl.”Cheryl menatap sekeliling, tak menyangka akan disambut dengan penuh persiapan begini. Sementara itu Bara tersenyum kecil, matanya melirik Mimi yang berjalan mendekat dengan khas aura keibuan yang menenangkan. Seperti biasa,
Dalam udara malam masih terasa pekat oleh asap dan bau hangus, Cheryl membiarkan Bara menggendong tubuhnya. Kepalanya terkulai di dada bidang lelaki itu, merasakan dentum jantung yang berpacu cepat. Bau asap, keringat, dan samar wangi parfum maskulin dari tubuh Bara berpadu, menelusup ke hidungnya, membangkitkan setiap memori tentangnya yang selama ini coba ia kubur. Oh. Pria ini… ternyata benar-benar masih mengejarnya. Menyusulnya dengan napas yang tersengal, dengan tekad yang menggila. Ya. Cheryl tadi melihat sendiri bagaimana Bara menembus garis polisi, menerobos asap, dan berteriak memanggil namanya seolah dunia akan runtuh jika tak menemukannya.Ia masih bisa mendengar gema itu di telinganya, suara Bara yang berteriak keras… “CHERYL!”Suara parau yang tercabik di antara sirine dan teriakan orang, tapi entah kenapa justru menjadi satu-satunya suara yang menenangkan. Suara yang menembus hiruk-pikuk malam dan langsung menghantam jantungnya. Membuat napasnya tercekat, membuatnya







