Share

5. Red Flag

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2024-11-29 02:47:57

"Apa yang kamu pahami tentang makna ijab kabul yang aku ucapkan di depan penghulu saat itu?" Bara tiba-tiba mendesaknya dengan pertanyaan, suaranya pelan namun penuh ketegasan.

"Maknanya? Kamu pikir itu penting buat dibahas? Sudahlah. Kamu menikahiku bukan karena maumu apalagi cinta. Kamu menikahiku karena terpaksa. Jadi, jangan berpura-pura seolah ini berarti banyak."

Bara duduk di tepi ranjang, membuat Cheryl mundur sedikit sambil memandang awas padanya. 

"Tak peduli ada cinta atau tidak, tapi faktanya kita menikah. Kita terikat sekarang.” Bara mendekat, menatap Cheryl lekat-lekat. "Kamu sekarang menjadi urusanku."

Cheryl tertawa sinis. “Itu cuma pernikahan siri, nggak perlu terlalu serius menyikapi pernikahan ini. Kita menikah cuma buat... bikin Bapak lega aja. Lagipula nggak ada yang tahu kalau kita sudah menikah, selain dua saksi yang asal comot dari rumah sakit itu… dan penghulu."

Bara tetap diam, hanya menatapnya. Cheryl melanjutkan dengan nada yang semakin keras, "Menikah di usia semuda ini, bahkan… sebelum wisuda? Itu bukan rencana hidupku. Aku masih pengen bebas, pengen cari kerja, punya karir bagus, terus jadi wanita independen yang nggak bergantung sama siapa-siapa, apalagi bergantung sama… lelaki seperti kamu."

"Lelaki seperti… aku?" Bara mengulangi dengan nada yang lebih rendah, sebuah seringai tipis yang menjengkelkan muncul di wajah tampannya.

Sebelum Cheryl sempat menjawab, tiba-tiba ponsel Bara berdering.

Bara segera mendekatkan ponselnya di telinga. “Halo?” Dia tiba-tiba saja tertawa lirih.

Hah? Si kulkas berjalan ini bisa tertawa? Cheryl nyaris tak percaya!

“Kamu sendiri udah makan belum?” Suara Bara tiba-tiba berubah begitu lembut, nyaris tak pernah terdengar seperti itu di hadapan Cheryl. 

Melihat bagaimana Bara bersuara, tampaknya ia sedang berbicara dengan seseorang yang spesial. 

Cheryl memperhatikan Bara dengan seksama. Ada sedikit rasa tak nyaman yang semakin mengganjal di dadanya.

“Baby… I’m sorry…,” suara Bara terdengar penuh penyesalan, lagi-lagi mengalun selembut sutera. “Sepertinya nggak bisa sekarang. Ada sedikit urusan mendesak yang nggak bisa aku tinggalkan.” 

Tatapan Bara yang biasanya penuh ketegasan dan dingin kepada Cheryl, kini berubah hangat dan melunak. Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya, senyum yang tak pernah ia perlihatkan pada Cheryl selama ini.

Cheryl menatap Bara yang kini benar-benar tampak berbeda, ada sisi lain dari dirinya yang baru saja terbuka di depan mata Cheryl. 

Cheryl tidak pernah melihat Bara bersikap sehangat itu, bahkan selama mereka terlibat dalam pembicaraan tadi. 

Sisi kelembutan yang terlihat sepanjang Bara berbicara dengan perempuan lain membuat Cheryl tiba-tiba merasa kesal.

Bara terlihat menghela napas dalam, seolah berat untuk mengakhiri pembicaraan pribadinya itu. “Ok. Nanti aku hubungi lagi, ya? Umm… me too, baby.”

Bisikan mesra itu nyaris terdengar seperti sayatan bagi Cheryl yang diam-diam mendengarnya.

Cheryl berusaha menahan diri, ada perasaan geram yang perlahan-lahan merambat dalam hatinya.

Jadi, Bara sudah memiliki kekasih, seseorang yang ia panggil “Baby” dengan nada penuh kasih sayang.

Lalu, untuk apa Bara bersikap seolah begitu peduli padanya sebagai “suami”? Mengapa Bara bertingkah seolah-olah ingin merawatnya, ingin ia ikut pindah ke rumahnya segala?

Bara menutup teleponnya, ekspresi lembutnya seketika hilang dan kembali ke wajah tegas yang biasa ia tampilkan di hadapan Cheryl. Ia menyimpan ponselnya di saku, kemudian menoleh pada Cheryl yang menatapnya dengan tajam.

“Kamu punya pacar,” ujar Cheryl dengan suara datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesalnya. “Lalu, buat apa kamu repot-repot bersikap seolah peduli padaku? Bukankah ini hanyalah pernikahan yang terpaksa?”

Bara terdiam sejenak, seperti tak menduga Cheryl akan merespons setajam itu, lebih ketus dari yang sudah-sudah.

“Cheryl, aku punya tanggung jawab sebagai suamimu. Itu berbeda dengan urusan pribadiku.”

Cheryl mendengus. “Beda? Serius? Kamu mau bertanggung jawab sebagai suamiku tapi kamu punya pacar?” Ia memandang Bara dengan sorot penuh celaan. 

“Dih. Kamu nggak usah sok peduli sama aku! Nggak usah repot-repot main peran sebagai suamiku kalau di luar sana kamu sudah punya wanita lain.”

Bara menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meski Cheryl jelas sekali sedang menyerangnya.

“Cheryl, dengar. Urusanku dengan wanita lain bukan urusanmu. Tapi pernikahan kita adalah janji yang harus aku pertanggungjawabkan.”

Cheryl ternganga, matanya melebar dengan ekspresi terkejut yang dipenuhi rasa jijik. "Oh. Wow!" Dia memutar bola matanya dengan dramatis, seolah kehilangan kata-kata. "Kamu… luar biasa!" Kemudian, dia bertepuk tangan dengan ekspresi yang lebih mengejek daripada terkesan. 

Bara terlihat begitu tenang, hampir dingin, saat dia berbicara tentang tanggung jawabnya sebagai suami. 

Tapi bagi Cheryl, ketenangan itu malah terasa seperti penyamaran untuk sikapnya yang lebih buruk. Ada sesuatu dalam diri Bara yang membuatnya merasa ragu—sikapnya yang seolah tidak peduli, tapi juga terlalu memaksa. Dia bukan pria yang tampak tulus atau hangat, melainkan seseorang yang lebih fokus pada kewajiban, tanpa melihat perasaan orang lain.

Bara memegang teguh statusnya sebagai suami, tetapi kata-katanya tidak pernah mencerminkan komitmen yang sesungguhnya. Untuk Cheryl, itu membuatnya merasa seperti Bara hanya menjalankan peran dalam sebuah drama yang tidak pernah dia pilih. 

Dia sering merasa Bara lebih terikat pada ide pernikahan—bukan padanya sebagai pasangan hidup. Ditambah lagi, sikapnya yang tak ragu untuk berbicara tentang wanita lain, meski mereka sudah menikah, semakin menguatkan perasaan Cheryl bahwa pria ini lebih peduli pada kepentingannya sendiri daripada hubungan mereka.

Bah. Suami macam apa ini ya, Lord!

Di mata Cheryl, Bara jelas-jelas red flag. Seperti api yang terlihat menyala, tapi tak pernah menghangatkan—hanya memberi kepastian bahwa dia harus berhati-hati. 

Tidak ada kehangatan dalam cara Bara berperilaku, tidak ada niat untuk membangun sesuatu yang nyata antara mereka. Semua yang dia lakukan terasa lebih seperti kewajiban daripada cinta. 

“Bukankah lebih baik aku tetap tinggal di sini dan kamu silakan pergi? Lalu mari... kita kembali melanjutkan hidup masing-masing seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Jadi kamu bisa bebas bersama dia.” 

Cheryl memutar bola mata saat mengucapkan kata “dia”.

“Daripada kamu repot-repot mengurusiku? Ceraikan aku, sekarang.”

***



Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   199. Catatan Penting

    Bara baru saja melirik layar monitornya ketika lengan halus Cheryl melingkar di belakang lehernya. Aroma tubuhnya langsung menyusup ke hidung Bara, memancing reaksi spontan dalam otot-ototnya yang tadi tegang karena konsentrasi.“Baiklah, Pak Bos.” Suara Cheryl terdengar lembut dan genit di telinganya, sebelum bibirnya mengecup pipi kanan Bara dengan manis. “Silakan lanjutkan pekerjaan Anda.”Bara menoleh, matanya menangkap kilau jenaka dan hangat dalam sorot mata Cheryl. Kelembutan wanita itu selalu berhasil merontokkan tekanan yang menggumpal di kepalanya.“I love you,” tambah Cheryl saat mata mereka saling bertatapan, suaranya seperti alunan nada yang hanya diciptakan untuk menggoda jiwanya.Tatapan Bara melembut. Dengan satu gerakan tenang, ia menarik dagu Cheryl dan mengecup pipinya sekilas. “I love you more,” gumamnya dalam nada dalam dan rendah, terdengar seperti pengakuan dari dasar hatinya yang terdalam.Cheryl tertawa pelan, melangkah mundur.“Sayang. Kalau kamu sudah selesa

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   198. Begitu Berarti

    Udara di ruang kerja Bara masih hangat oleh jejak-jejak gairah. Aroma tubuh Cheryl, samar-samar bercampur dengan wangi kulit sofa dan parfum maskulin Bara, menciptakan atmosfer yang liar dan memabukkan.Tubuh Cheryl masih berada dalam pelukan Bara, pipinya menempel ringan di dada bidang pria itu, yang mulai tenang dari debar memuncak barusan.“Gila…,” bisik Cheryl, senyumnya terlukis lelah tapi puas. “Kita akhirnya... betul-betul melakukannya di sini.”Nada suaranya rendah, sedikit serak, dan entah kenapa terdengar begitu menggiurkan di telinga Bara.Bara menunduk, bibirnya mengecup lembut sudut bibir Cheryl yang terlihat penuh. “Seru, kan?” gumamnya, senyum nakal terbit di wajah tampannya.Cheryl hanya tertawa kecil, sebelum menghela napas dan mendorong pelan dada bidang itu. “Katanya… waktumu sempit? Banyak yang harus kamu urus untuk Apex. Kamu harus siap-siap rapat, kan?”Bara memutar mata malas, masih ingin menahan Cheryl dalam pelukannya, namun wanita itu sudah bangkit dari sofa

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   197. Obat Stres Terbaik

    Bara duduk di balik meja kerjanya. Tangannya bertumpu pada pelipis, sementara layar laptop di depannya menampilkan grafik, tabel, dan catatan analisa yang tak henti bergulir. Laporan dari direktur keuangan, staf ahli strategi pasar, hingga konsultan merger terpampang jelas, menunggu untuk ditindaklanjuti.Namun matanya kosong. Fokusnya buyar. Pikirannya tidak betul-betul tertuju pada pekerjaan. Dia mencoba menyusuri data: skenario tanpa buyback, angka-angkanya jelas menunjukkan tekanan leverage yang tinggi dalam jangka menengah. Opsi kedua, buyback total, secara teori akan menenangkan pasar, tapi memperkecil likuiditas. Sementara skema ketiga, buyback parsial disertai narasi penguatan pasar, masuk akal, tapi sangat bergantung pada timing dan sentimen publik.Logikanya memetakan semua itu, seperti biasa. Cepat, dingin, presisi. Tapi emosinya? Berantakan.“Sial,” gumamnya, setengah menggeram. “Istriku… betul-betul keras kepala.”Matanya berpindah sejenak ke sisi meja, di mana ponselnya

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   196. Merangkul Ego

    Di sebuah area tangga darurat di lantai 20-an Apex Tower, suara langkah kaki nyaris tak terdengar di tempat itu. Hanya desau angin dari ventilasi dan isakan lirih yang memecah keheningan.Cheryl duduk di anak tangga ketiga dari atas, tubuhnya membungkuk, wajahnya tersembunyi di atas kedua lutut. Bahunya naik-turun, terguncang oleh tangis. Tangannya menggenggam tisu yang setengah basah, kusut, sementara beberapa helai rambutnya menempel di pipi yang basah oleh air mata.Bukan tangisan keras yang meledak-ledak, tapi tangisan yang tertahan, dalam, penuh sesak. Seperti tangisan seseorang yang terlalu lama memendam rasa sakit tanpa tahu cara meluapkannya."Aku nggak boleh ngopi sama Axel, katanya? Kenapa? Takut Bara marah?" gumamnya, suaranya serak dan getir. "Tapi nggak ada yang takut kalau aku marah? Apa cuma Bara yang berhak marah? Karena dia kaya? Karena dia punya segalanya, terus bebas marah? Sedangkan aku yang nggak punya apa-apa… nggak berhak marah, ya?"Suaranya menggema kecil di

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   195. Resah

    Bara melangkah cepat, setengah berlari, sangat tergesa-gesa, seperti hendak menghadiri rapat dewan darurat yang akan menentukan nasib perusahaan yang sedang di ambang krisis.Beberapa pegawai yang berpapasan refleks menunduk memberi hormat, tapi pria itu tak menoleh, apalagi membalas. Tatapannya tertuju lurus, tajam seperti panah yang telah dikunci pada satu sasaran: lift VIP.Para pegawai saling melempar pandang. Wajah sang CEO yang biasanya dingin dan tenang, kini dipenuhi ketegangan. Lengan kemeja panjangnya digulung hingga ke siku, dasinya sedikit kendur, dan rambutnya sedikit acak-acakan karena ia telah berkali-kali menyugar rambutnya. Itu semua tanda bahwa sang CEO terlalu sibuk untuk sekedar memperhatikan penampilannya, yang biasanya selalu terjaga rapi dan tanpa cela.Dalam situasi Apex yang sedang rawan, pemandangan ini tampak seperti isyarat siaga satu. “Lihat. Pak Bara nggak pernah kelihatan kacau seperti itu.”“Iya, kelihatannya tegang banget. Belum pernah aku melihatnya

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   194. Belum Pernah Sepanik Ini

    Cheryl keluar dari ruangan Bara dengan hati terbakar panas. Sakit bukan main. "Oh. Dia tetap makan siang dengan Baby,” gerutunya. Sialan. Bara jelas-jelas sudah membaca pesannya, tapi lelaki itu tak menggubris. Tak menghargai perasaannya.“Adik mana coba yang suka gerayangan mesra ke kakaknya sendiri? Mana kakaknya juga kelihatan nyaman-nyaman aja. Keterlaluan," geramnya.Langkah Cheryl menghentak cepat di lorong. Tumit sepatunya beradu keras dengan lantai kantor yang dingin. Napasnya memburu karena emosi yang mendidih dalam dada.Bahkan ia sama sekali tak menoleh ke meja Nina. Lupa untuk berbasa-basi pada sekretaris Bara yang gila hormat itu.Nina yang melihat Cheryl melintasinya begitu sapa langsung mendongak dari balik layar komputernya. Senyumnya yang sudah setengah terbentuk langsung menguap. Matanya menyipit, bibirnya manyun tak terima.“Gila ya? Cuma asisten pribadi doang… yang tugasnya nggak jauh beda sama pembantu, tapi sombong banget sama aku yang jelas-jelas sekretarisnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status