Bara berdiri di depan cermin besar di kamarnya, satu tangan mengusap handuk ke rambut basahnya sementara matanya meneliti bayangannya sendiri. Rambut hitamnya yang sedikit lebih panjang dari biasanya jatuh berantakan, tetesan air masih mengalir dari ujungnya, membasahi kulitnya yang kuning langsat dan bersih terawat.Tubuhnya masih setengah telanjang, hanya celana olahraga hitam yang menggantung rendah di pinggangnya. Otot-otot perutnya yang terbentuk sempurna bergerak seiring napasnya, dada bidangnya naik turun perlahan, dan bahunya yang kokoh memancarkan kesan kekuatan yang tak terbantahkan. Setiap lekuk tubuhnya mencerminkan disiplin dan ketekunan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, baik di lapangan maupun di luar sana, menghadapi berbagai tantangan hidup.Pria tampan itu menggantung handuk dan meletakkan ke tempatnya, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Senyum kecil terulas di sudut bibirnya saat ia menatap layar. Cheryl tidak membalas pesan terakhirnya. Hany
Cheryl memoles lipstik di bibirnya sebagai sentuhan akhir, lalu sedikit memiringkan wajahnya, meneliti pantulan dirinya di cermin. Warna merah lembut itu berpadu sempurna dengan kulitnya, memberikan kesan mewah yang selama ini hanya bisa ia lihat di wajah-wajah model iklan."Lipstik mahal ternyata emang betulan sebagus ini," gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayangannya sendiri.Tangannya terulur, meletakkan lipstik berlabel Chanel ke atas meja rias dengan hati-hati, seakan benda kecil itu lebih berharga dari semua barang yang pernah ia miliki. Deretan kosmetik mahal berjejer rapi di sana, semuanya dari brand yang tak mungkin ia beli dengan uang sendiri. Foundation, blush, eyeshadow, juga parfum dengan botol kaca elegan yang aromanya seperti perpaduan vanila lembut dan rempah eksotis.Semua ini sudah ada di sini sebelum dia datang.Cheryl menghela napas. Bara betul-betul mengontrol kebutuhannya sedetail ini. Bukan hanya tas, sepatu, atau pakaian yang tergantung di lemarinyaโbah
Cheryl menelan ludah, tenggorokannya terasa kering saat suara Bara masih terngiang di telinganyaโrendah, tanpa intonasi, namun begitu tajam hingga menusuk ke dalam benaknya. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bukan hanya karena nada suaranya yang dingin, tetapi karena betapa terkontrolnya emosi di balik setiap kata yang diucapkannya. Seakan Bara tidak perlu mengancam atau meninggikan suara untuk menanamkan rasa takut di dalam dirinya.Bara tidak menyentuhnya, tetapi Cheryl merasa terkekang. Kehadiran pria itu mendominasi udara di antara mereka, menyesakkan ruang hingga terasa nyaris mustahil untuk bernapas lega. Mata tajam Bara mengunci pergerakannya, seperti predator yang menunggu mangsanya membuat kesalahan.Cheryl berusaha tetap tegak, mencoba menyangkal kegelisahan yang mencengkeramnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, namun ia menegakkan dagu, menolak tunduk di bawah tekanan yang begitu kuat."Kalau yang kamu maksud lelaki lain itu a
Langkah Bara yang panjang dan mantap memaksa Cheryl untuk hampir setengah berlari di belakangnya. Napasnya pendek, frustrasi menggumpal di dadanya. Dengan gerakan cepat, Cheryl mencoba menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari genggaman pria itu.Sia-sia.Pegangan Bara kuat, tidak sekadar menahan, tetapi juga seolah mengklaim. Cheryl mendesis pelan, tatapan tajamnya menusuk punggung pria itu. โBara, lepasin,โ desisnya, suaranya penuh perlawanan.Bara tidak menjawab. Tidak juga menoleh. Langkahnya tetap stabil, ekspresinya tetap dinginโseolah keberadaan Cheryl di sebelahnya sama sekali tidak berarti.Darah Cheryl mendidih.Pria sialan.โApa-apaan sih kamu? Enak aja main tarik-tarik tangan perempuan kayak di drama-drama murahan!โ Cheryl mengomel, suaranya makin naik seiring dengan kekesalannya. โLepasin! Tanganku pegal tahu! Kamu pikir aku ini koper yang bisa kamu seret-seret seenaknya kayak gini?โTidak ada jawaban. Tidak ada reaksi. Langkah Bara tetap stabil, ekspresinya teta
Bara menatap kakeknya dengan sedikit keterkejutan, namun ia segera mengendalikan ekspresinya. Pria tua itu berdiri tegak dengan sorot mata tajam yang menyelidik, seolah sedang menilai setiap detail di ruangan itu. Meski usianya sudah lanjut, posturnya tetap tegap, mencerminkan wibawa seorang pemimpin yang tak luntur oleh waktu."Opa? Tumben mampir sepagi ini?" Bara menghampiri kakeknya dengan sikap hormat, mencoba mencari alasan di balik kedatangannya yang mendadak.Sementara itu, Cheryl yang semula bingung, kini mulai memahami situasi. Ia segera berdiri dari kursinya, mengangguk sopan kepada pria tua itu. "Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan suara yang terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya merasakan kegugupan luar biasa.Kakek Bara, Purnomo Sigit Wardhana atau yang biasa ia panggil dengan sebutan Opa Sigit, mengalihkan pandangannya dari Bara ke Cheryl. Tatapan tajamnya menyapu gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menilai apakah kehadirannya pantas atau
Cheryl menelan ludah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sorot mata Tuan Sigit yang tajam membuatnya merasa seolah setiap gerak-geriknya tengah dinilai, diuji dalam diam oleh pria tua yang berwibawa itu. Sebagai seorang asisten pribadi, Cheryl sadar tidak boleh menunjukkan kegugupan yang terlalu mencolok. Dengan sigap, ia memanggil pelayan untuk segera membereskan meja makan.Akan tetapi, suara berat Tuan Sigit menghentikannya."Kenapa tidak kamu saja yang membereskannya sendiri, Cheryl? Bukankah ini sesuatu yang mudah dilakukan?"Cheryl tertegun. Ada tekanan dalam nada suara itu, seolah menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Seperti sebuah ujian terselubung yang harus ia sikapi dengan bijaksana. Dan sepertinya sekadar mengikuti perintah tanpa berpikir bukanlah jawaban yang tepat bagi seseorang seperti Tuan Sigit. Cheryl segera menyusun kalimatnya dengan hati-hati sebelum akhirnya menjawab dengan tenang."Maaf. Saya hanya mencoba bersika
Cheryl meletakkan cangkir kopi di atas meja dengan gerakan terkendali, berusaha sekuat tenaga agar ekspresinya tetap netral. "Silakan, Tuan," ucapnya, suaranya terdengar stabil meski ada ketegangan samar yang menyusup di tengkuknya.Tuan Sigit mengangkat cangkir itu dengan tenang, mengendus uapnya sebelum menyesap perlahan. Sejenak, ekspresinya sulit ditebak, hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka."Hmm," gumamnya akhirnya, senyum kecil terukir di wajahnya. "Terima kasih, Cheryl."Ada sesuatu dalam senyum itu yang terasa seperti pujian. Pujian dari seorang pria yang selama ini hanya Cheryl lihat lewat televisi nasional dan majalah bisnis."Baiklah, Tuan. Saya permisi dulu. Tuan Bara meminta saya kembali ke dapur," katanya, sedikit tergesa, ingin menjauh secepat mungkin.Tuan Sigit mengangguk, dan Cheryl segera melesat ke dapur, seakan bara api mengejarnya.Di dapur, Bara yang menyadari kedatangan Cheryl segera menoleh. "Kenapa? Wajahmu pucat begitu?" tegurnya dengan tatapan
Seolah tak terjadi apa-apa, Bara berkata santai, suaranya rendah dan tenang, "Nah. Makanan untuk Opa sudah siap. Bantu aku membawanya ke ruang makan."Cheryl menelan ludah, napasnya masih berantakan. Dadanya naik turun dalam ritme yang tak bisa ia kendalikan, sementara pria di depannya bertingkah seakan kejadian tadi hanyalah angin lalu. Seakan bibirnya tak baru saja dituntut dalam ciuman ringan tapi cukup memabukkan baginya. Sialan. Bara telah mencuri ciuman pertamanyaโjika sentuhan bibir tadi bisa disebut ciuman.Ia bahkan masih bisa merasakan sisa panas di sana, jejak Bara yang berdenyut seperti bara api yang tak kunjung padam di permukaan bibirnya. Tangan Cheryl mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gejolak yang mengamuk di dalam dirinya.Dengan gerakan kasar, Cheryl menarik napas dalam, berusaha menekan debaran liar di dadanya. โKamu baru saja melanggar perjanjian: tak ada sentuhan fisik. Ingat?โ desisnya, merasa marah.Bara mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang, nyaris
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang.Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk.Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milena duduk d
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.โAkuโฆ nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjangโฆ tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari ituโฆ"Bara. Kita
โBertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan akuโฆ aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.โUcapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.โJika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagiโฆ sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagiโฆ hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a
Begitu roda Mercedes-Maybach GLS 600 berkilau melewati gerbang utama, rumah Bara menjulang megah di tengah senja. SUV obsidian black itu meluncur mulus di atas jalan berbatu, gril krom besar memantulkan cahaya temaram, sementara emblem Maybach di kap depan berkilau bagai mahkota. Velg multi-spoke berpendar setiap kali roda berputar, menegaskan aura eksklusif yang membungkus mobil ini.Di dalam kabin beraroma kulit Nappa dan kayu oak, Cheryl memalingkan wajah ke jendela, menatap senja yang memburam. Tubuhnya kaku, bahunya menegang, membangun benteng tak kasat mata di sekeliling dirinya.Di sebelahnya, Bara duduk gelisah. Satu kakinya bergerak kecil, mengetuk-ngetuk lantai karpet seolah melampiaskan ketegangan yang ia tahan. Tangannya sempat terulur, hampir saja menyentuh punggung tangan Cheryl, namun ia menarik kembali.Keheningan di antara mereka terasa berat, nyaris mencekik. Bara bisa merasakan kemarahan Cheryl mengisi udara seperti listrik statis, menusuk kulitnya tanpa suara. Ia
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.โBisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?โ desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama ituโJanuar Sutantoโbergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar menan
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.โDok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.โ Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. โKarena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?โValen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab โtidakโ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
โAyo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,โ ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.โPulang?โ gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. โKamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?โBara menggertakkan rahangnya pelan. โSayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cherylโฆ tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.โCheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. โKamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m