Hari pertama kembali ke kantor setelah opname, Axel melangkah masuk ke lantai ruang Divisi IT. Beberapa teman satu divisi menyapanya sambil menepuk bahu, yang dibalas Axel dengan anggukan setengah sadar.“Bro, udah beneran sembuh?”“Kayak zombie bangkit,” gumam Axel pelan.“Lah?”“Zombie ganteng, maksudnya,” sambungnya cepat, lalu terkekeh sendiri.Di kubikelnya, sticky note yang biasa dia tempel masih tertinggal: ‘Remember: save the server before saving the world.’ Ia menatap layar monitornya, menarik napas dalam, lalu menghembuskan napas pelan-pelan—tapi pikirannya bukan tentang coding. Bukan tentang server. Tapi tentang seseorang.Cheryl.Ia merogoh ponsel dari saku jaket, lalu mengetik pesan. Axel: [Dear, Nona Asisten CEO. Kamu tuh ke mana aja waktu aku nyaris berubah jadi pasien rawat inap permanen? Kenapa nggak pernah jenguk? Tega.]Tak lama, balasan masuk. Cheryl: [Hei. Udah balik kantor?] Axel: [Udah. Nggak ada balon. Nggak ada sambutan. Yang ada cuma… ketiadaan dirimu. Me
Ruang rapat utama di Apex sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seperti pengingat waktu yang terus menipis.Bara duduk di kursinya yang menghadap jendela besar, memandangi langit mendung yang menutupi separuh cakrawala kota. Di tangannya, laporan keuangan terbaru yang nyaris tak ada ruang kosong—penuh coretan, garis merah, dan angka-angka yang kian hari makin menyempit.Tuntutan buyback dari investor utama beberapa pekan lalu membuat kas perusahaan babak belur. Meskipun krisis berhasil ditekan sementara dengan penawaran saham ke pihak eksternal, kini muncul masalah baru yang jauh lebih rumit.Alan. Saudara tiri yang bahkan tak pernah ia akui secara emosional.Bara mencengkram berkas itu dengan rahang mengeras.Separuh saham yang terjual bebas… kini berada di tangan lelaki yang paling ingin ia singkirkan dari hidupnya."Brilian," gumamnya pahit. “Sangat brilian.”Rupanya Alan diam-diam menunggu. Mengincar. Dan saat saham Apex terjun bebas, ia masuk seperti predator ya
Pada hari pertamanya bekerja, Cheryl disambut dengan ruangan terbuka yang dinamis. Deretan meja terbagi dalam kluster, masing-masing berisi tim yang sedang membahas campaign, data pasar, atau membuat konten visual. Suara ketikan dan obrolan cepat terdengar, tapi tak membuat ruangan ini terasa gaduh. Justru terasa… hidup.“Tim ini sangat cepat, sangat tajam, dan penuh tekanan,” ujar Fina, supervisor pemasaran yang menyambutnya. Wanita itu tampak elegan dengan blazer hitam dan kacamata tipis berbingkai emas. “Tapi kalau kamu siap kerja keras, kami juga tim yang suportif.”Cheryl mengangguk mantap. “Saya siap belajar.”Fina tersenyum kecil. “Bagus. Kamu akan bergabung di sub-divisi Market Insight and Research. Tugas awalmu: bantu kami mengumpulkan data perilaku konsumen di dua wilayah urban dan satu semi-rural. Kita sedang evaluasi strategi distribusi untuk Q3. Kamu akan di bawah mentoring Andre.”Fina menambahkan, “Kamu akan mulai dari riset sekunder dulu—olah data yang kita dapat dari
Ruang kerja Bara dipenuhi cahaya temaram dari lampu meja yang menyala redup di sudut ruangan. Dinding kaca yang menghadap ke taman belakang hanya memantulkan siluetnya yang duduk membungkuk di balik meja besar dari kayu hitam. Di luar, hujan turun pelan, seperti ikut menertawakan kesepian yang menjeratnya malam ini.Ia mengembuskan napas panjang. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, memelototi layar laptop dan tumpukan berkas yang terus diperiksa dan dikoreksi, seolah-olah memperbaiki laporan keuangan bisa sekaligus memperbaiki hidupnya. Tangannya sibuk, tapi pikirannya jauh… terlalu jauh.Kosong.Sejak Cheryl tak lagi ada di rumah ini, Bara merasa seperti hidup dalam ruang yang hampa. Tak ada tawa genit menggoda, tak ada tangan yang tiba-tiba memeluknya dari belakang, tak ada omelan cerewet tiap kali ia pulang telat atau lupa makan. Rumah ini besar—terlalu besar—dan sekarang… terasa menggema oleh kekosongan.Ia menegakkan tubuhnya, memijat pelipis dengan kasar. Bekerja adalah satu-s
Kata-kata lembut Valen menyusup halus ke dalam dada Cheryl, seperti selimut hangat yang merangkulnya di tengah udara dingin. Ia diam, tapi hatinya tidak. Bergolak pelan, seperti permukaan air yang baru dijatuhkan batu kecil.Ia tahu Valen tulus. Tatapannya, genggaman tangannya, semua itu bukan basa-basi manis yang sering ia dengar dari laki-laki yang ingin terlihat baik. Valen berbeda. Ia tak pernah berusaha membuat Cheryl terpesona—ia hanya menjadi dirinya sendiri yang memang sudah mempesona. Cheryl menunduk sejenak. Tangannya yang masih digenggam lelaki itu ikut mengencang, tanpa ia sadari. Ia tidak pernah merasa istimewa. Tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup kuat. Biasa-biasa saja. Sejak dulu, ia bahkan merasa dirinya selalu jadi beban. Bagi ayahnya. Bagi Bara. Dan kini bagi Valen.Tapi… mengapa pria ini membuatnya merasa begitu berarti?Perlahan, ia balas menggenggam tangan Valen.“Terima kasih, Val…” ucapnya nyaris berbisik. “Setelah ayahku… kamu satu-satunya pri
Langkah Valen melambat ketika executive suite itu sudah berada di depan matanya. Pintu berbingkai kayu mahoni itu tampak biasa—namun detik ini, ia seperti menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar ruangan kerja steril berpendingin udara.Valen menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih memburu, entah karena sisa napas akibat berlari… atau karena perasaan tak biasa setiap kali hendak berhadapan dengan Cheryl.Tepat sebelum ia meraih gagang pintu, terdengar suara sapaan dari sisi kanan lorong.“Selamat sore, Dok?” Reno muncul sambil membawa tablet digital di tangannya. Ia berhenti sejenak, lalu menundukkan kepala sopan. “Ada Nona Cheryl menunggu di dalam. Saya izinkan masuk karena sebelumnya Dokter bilang tidak apa-apa untuk memberinya akses penuh.”Valen hanya mengangguk pelan. Dan tak ada penjelasan lebih. Tak perlu.Valen terus melangkah maju. Diam-diam mempersiapkan senyum kecil yang tak bisa ia hindari.Pintu terbuka. Udara dingin yang tenang menya