Langkah Bara yang panjang dan mantap memaksa Cheryl untuk hampir setengah berlari di belakangnya. Napasnya pendek, frustrasi menggumpal di dadanya. Dengan gerakan cepat, Cheryl mencoba menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari genggaman pria itu.Sia-sia.Pegangan Bara kuat, tidak sekadar menahan, tetapi juga seolah mengklaim. Cheryl mendesis pelan, tatapan tajamnya menusuk punggung pria itu. “Bara, lepasin,” desisnya, suaranya penuh perlawanan.Bara tidak menjawab. Tidak juga menoleh. Langkahnya tetap stabil, ekspresinya tetap dingin—seolah keberadaan Cheryl di sebelahnya sama sekali tidak berarti.Darah Cheryl mendidih.Pria sialan.“Apa-apaan sih kamu? Enak aja main tarik-tarik tangan perempuan kayak di drama-drama murahan!” Cheryl mengomel, suaranya makin naik seiring dengan kekesalannya. “Lepasin! Tanganku pegal tahu! Kamu pikir aku ini koper yang bisa kamu seret-seret seenaknya kayak gini?”Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi. Langkah Bara tetap stabil, ekspresinya teta
Bara menatap kakeknya dengan sedikit keterkejutan, namun ia segera mengendalikan ekspresinya. Pria tua itu berdiri tegak dengan sorot mata tajam yang menyelidik, seolah sedang menilai setiap detail di ruangan itu. Meski usianya sudah lanjut, posturnya tetap tegap, mencerminkan wibawa seorang pemimpin yang tak luntur oleh waktu."Opa? Tumben mampir sepagi ini?" Bara menghampiri kakeknya dengan sikap hormat, mencoba mencari alasan di balik kedatangannya yang mendadak.Sementara itu, Cheryl yang semula bingung, kini mulai memahami situasi. Ia segera berdiri dari kursinya, mengangguk sopan kepada pria tua itu. "Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan suara yang terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya merasakan kegugupan luar biasa.Kakek Bara, Purnomo Sigit Wardhana atau yang biasa ia panggil dengan sebutan Opa Sigit, mengalihkan pandangannya dari Bara ke Cheryl. Tatapan tajamnya menyapu gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menilai apakah kehadirannya pantas atau
Cheryl menelan ludah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sorot mata Tuan Sigit yang tajam membuatnya merasa seolah setiap gerak-geriknya tengah dinilai, diuji dalam diam oleh pria tua yang berwibawa itu. Sebagai seorang asisten pribadi, Cheryl sadar tidak boleh menunjukkan kegugupan yang terlalu mencolok. Dengan sigap, ia memanggil pelayan untuk segera membereskan meja makan.Akan tetapi, suara berat Tuan Sigit menghentikannya."Kenapa tidak kamu saja yang membereskannya sendiri, Cheryl? Bukankah ini sesuatu yang mudah dilakukan?"Cheryl tertegun. Ada tekanan dalam nada suara itu, seolah menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Seperti sebuah ujian terselubung yang harus ia sikapi dengan bijaksana. Dan sepertinya sekadar mengikuti perintah tanpa berpikir bukanlah jawaban yang tepat bagi seseorang seperti Tuan Sigit. Cheryl segera menyusun kalimatnya dengan hati-hati sebelum akhirnya menjawab dengan tenang."Maaf. Saya hanya mencoba bersika
Cheryl meletakkan cangkir kopi di atas meja dengan gerakan terkendali, berusaha sekuat tenaga agar ekspresinya tetap netral. "Silakan, Tuan," ucapnya, suaranya terdengar stabil meski ada ketegangan samar yang menyusup di tengkuknya.Tuan Sigit mengangkat cangkir itu dengan tenang, mengendus uapnya sebelum menyesap perlahan. Sejenak, ekspresinya sulit ditebak, hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka."Hmm," gumamnya akhirnya, senyum kecil terukir di wajahnya. "Terima kasih, Cheryl."Ada sesuatu dalam senyum itu yang terasa seperti pujian. Pujian dari seorang pria yang selama ini hanya Cheryl lihat lewat televisi nasional dan majalah bisnis."Baiklah, Tuan. Saya permisi dulu. Tuan Bara meminta saya kembali ke dapur," katanya, sedikit tergesa, ingin menjauh secepat mungkin.Tuan Sigit mengangguk, dan Cheryl segera melesat ke dapur, seakan bara api mengejarnya.Di dapur, Bara yang menyadari kedatangan Cheryl segera menoleh. "Kenapa? Wajahmu pucat begitu?" tegurnya dengan tatapan
Seolah tak terjadi apa-apa, Bara berkata santai, suaranya rendah dan tenang, "Nah. Makanan untuk Opa sudah siap. Bantu aku membawanya ke ruang makan."Cheryl menelan ludah, napasnya masih berantakan. Dadanya naik turun dalam ritme yang tak bisa ia kendalikan, sementara pria di depannya bertingkah seakan kejadian tadi hanyalah angin lalu. Seakan bibirnya tak baru saja dituntut dalam ciuman ringan tapi cukup memabukkan baginya. Sialan. Bara telah mencuri ciuman pertamanya—jika sentuhan bibir tadi bisa disebut ciuman.Ia bahkan masih bisa merasakan sisa panas di sana, jejak Bara yang berdenyut seperti bara api yang tak kunjung padam di permukaan bibirnya. Tangan Cheryl mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gejolak yang mengamuk di dalam dirinya.Dengan gerakan kasar, Cheryl menarik napas dalam, berusaha menekan debaran liar di dadanya. “Kamu baru saja melanggar perjanjian: tak ada sentuhan fisik. Ingat?” desisnya, merasa marah.Bara mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang, nyaris
Cheryl hampir membanting pintu kamarnya, lalu bersandar di baliknya, jantungnya masih berdegup kencang. Udara di dalam ruangan terasa lebih hangat dibandingkan lorong di luar, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser di atas nakas.Sialan.Bara dan kedekatan mereka barusan terlalu berbahaya. Pria itu seperti badai yang datang tanpa aba-aba, memorak-porandakan ketenangannya sepagi ini."Dasar bajingan gila… Apa-apan sih dia?" Cheryl menggeram, suaranya hampir tertelan napasnya sendiri. "Maunya apa, sih?"Tapi bukan itu yang benar-benar mengusiknya.Bara bukan pria yang hanya sekadar menggoda untuk bersenang-senang. Ada sesuatu dalam caranya menatap, seolah menembus batas yang ia pasang di sekeliling dirinya. Seakan tahu di mana titik lemahnya.Dan yang paling mengganggunya adalah… ia tidak bisa menyangkal bahwa hal itu mengguncangnya.Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang sebelum berjalan menuju jendela. Begitu tangannya menyibak tirai, langit masih gelap dengan sembura
Bara melangkah cepat, menyusul kakeknya yang sudah lebih dulu memasuki Rolls-Royce hitam yang menunggu di halaman utama. Pagi masih terlalu sunyi, hanya suara angin yang mengusik keheningan ketika pintu mobil ditutup dengan lembut.Begitu ia duduk di sampingnya, Tuan Sigit langsung berbicara tanpa basa-basi, “Dari mana kamu mendapat asisten baru itu, Bara?”Tatapan pria tua itu lurus ke depan, tetapi ada ketajaman yang berpendar di balik sorot matanya yang sudah dipenuhi pengalaman hidup. “Siapa yang merekomendasikan dia kepadamu?”Bara mengatupkan rahangnya, mengulur waktu beberapa detik sebelum menjawab.Ia sudah terbiasa dengan kewaspadaan kakeknya, dengan prinsip kehati-hatiannya yang hampir obsesif dalam memilih siapa yang bisa berada di lingkaran mereka.“Aku sendiri yang memilihnya.”Hening. Tuan Sigit menghela napas perlahan, tetapi cukup dalam untuk menunjukkan ketidakpuasannya. “Sejak kapan kamu menerima pegawai tanpa jaminan? Tanpa latar belakang yang jelas?” Suaranya te
Mobil Rolls-Royce itu melambat saat memasuki kompleks pemakaman mewah yang tertata rapi, dengan pepohonan tinggi menjulang seperti penjaga bisu di antara nisan-nisan marmer.Langit yang sedikit mendung menggantung rendah, seolah meredam suasana dengan bayang-bayang suram.Rahang Bara mengencang. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, tidak ada. Hanya keheningan yang menyesakkan, dan perasaan yang mencengkeramnya erat.Saat mobil berhenti, seorang pria berjas rapi menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket mawar kuning—bunga favorit Sabira.Ketika mobil berhenti, seorang pria berjas rapi segera menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket bunga mawar kuning untuk mereka—bunga favorit Sabira.Bara meraihnya dengan tangan yang terasa dingin. Aroma bunga itu menyengat penciumannya—terlalu familiar, terlalu mengingatkan pada sesuatu yang telah lama ia kubur dalam-dalam.Langkahnya berat saat ia
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a