“Kamu mau membantu?” suara Bara terdengar rendah, sedikit serak, tapi jelas-jelas berniat menggodanya.Cheryl tersentak, pipinya memanas. “A-apa?”Bara menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu melirik kemeja yang sudah setengah ia tarik dari gantungan. “Memilihkan baju,” sahutnya sambil menyeringai kecil, sorot matanya yang gelap dan tajam bermain-main di wajah Cheryl. “Kamu kan istriku, mungkin kamu punya preferensi tentang apa yang harus dipakai suamimu?”Sialan. Cheryl tahu pria ini hanya bermain-main dengannya. Seolah-olah, pernikahan siri mereka hanyalah sebuah permainan dan kesenangan iseng bagi pria itu. Ia mengeraskan rahangnya, berusaha mempertahankan harga dirinya di hadapan Bara yang jelas menikmati situasi ini.Cheryl menyilangkan tangan di depan dada, ekspresi wajahnya mencoba menampilkan ketidakpedulian meskipun hatinya berdebar keras.“Bodo amat. Pakai saja apa pun yang kamu mau. Atau lebih baik, jangan pakai apa-apa sekalian!”Bara tersenyum, dan Cheryl langsun
“Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Padahal masih banyak hal yang harus aku selesaikan.” Cheryl memutuskan untuk mengakhiri perdebatannya dengan Bara. Ia tak ingin berlama-lama berbicara dengan pria itu atau lama-lama ia bisa sinting. “Permisi, Pak Bara.” Nada suara Cheryl terdengar tenang, tapi jari-jarinya yang mengepal di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahannya."Pak Bara...." Bara mengulang dengan nada rendah, suaranya serak dengan sesuatu yang terdengar seperti godaan. "Rasanya aneh mendengarmu memanggilku begitu, Cheryl.” Ia menyipitkan mata, mengamati wajah Cheryl dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih berat. “Itu terdengar sangat... patuh. Padahal kamu nggak sepatuh itu. Kamu selalu memikirkan cara untuk melawanku. Begitu, kan?”Cheryl menelan ludah, lalu memutar bola mata, pura-pura tak terganggu. Namun, panas yang merambat di tengkuknya justru berkata sebaliknya. Beruntung, ketukan di pintu menyelamatkannya dari jebakan ber
Cheryl baru saja melangkah masuk ketika suara Sofyan menyambarnya tanpa peringatan."Cher, Pak Bara barusan telepon. Nanti kamu jam lima diminta balik ke ruangan wardrobe buat lanjutin beres-beres."Langkahnya terhenti. Seketika, tubuhnya menegang.Jam lima?Pikiran Cheryl berputar liar. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat, seakan mengurungnya dalam jebakan tak kasatmata. Bayangan ruangan itu—udara yang dipenuhi aroma maskulin khas Bara, desakan tubuhnya yang mendekat terlalu intim, napasnya yang nyaris membakar kulitnya—semuanya kembali menghantamnya tanpa ampun.Ia menggigit bibir.Sial.Jejak ciuman Bara masih terasa. Seolah pria itu belum benar-benar melepaskannya."Jam segitu Pak Bara ke mana, Mas? Dia… lagi nggak ada di kantornya, kan?" Suaranya terdengar normal, tapi tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah itu satu-satunya cara untuk tetap tegak berdiri."Meeting sama direksi di lantai 17. Nggak mungkin jugalah dia nyuruh kita beres-beres di ruangannya kalau dia lagi
Pikiran Cheryl seketika melompat kembali ke ruangan itu, pada napas Bara yang berat, pada genggaman tangannya yang mencengkeram pinggangnya, pada tekanan bibirnya yang panas, mengklaimnya dengan intensitas yang membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.Cheryl menelan ludah, mencoba mengabaikan gejolak aneh yang berkecamuk di benaknya. “Cher?”Suara Sofyan menyadarkannya dari lamunan. Cheryl buru-buru mengangguk, menata ekspresi seolah tak ada yang terjadi.“Jadi kalau besok-besok kamu lihat Pak Bara pakai baju putih, mungkin dia lagi happy.” Sofyan terkekeh ringan. “Atau… dia lagi punya mood bagus karena sesuatu.”Sesuatu?Cheryl menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar dengan cara menyebalkan.‘Ini bukan apa-apa, Cheryl. Hanya kebetulan.’ Tidak mungkin ada hubungannya dengan dirinya. Tidak mungkin ada hubungannya dengan ciuman itu. Atau mungkin, Bara baru saja memenangkan tender bisnis bernilai triliunan.Ya. Itu lebih masuk akal.Seorang Bara Wardhana tida
Bara sedang duduk di balik meja kerjanya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, mencatat beberapa poin penting dari laporan keuangan yang baru saja ia telaah. Di layar, angka-angka terus bergulir, memperlihatkan stabilitas perusahaan yang tetap kokoh di bawah kendalinya. Ia menyukai momen seperti ini, ketika segalanya berada dalam kendali, ketika setiap keputusan bisnisnya dihitung dengan cermat, tanpa ruang untuk kesalahan. Tapi sayangnya ketenangan itu hanya bertahan sekejap. Karena tanpa aba-aba, pintu ruangannya tiba-tiba saja terayun terbuka. Ia mendongak sedikit, seketika itu juga sorot malas terpancar di matanya. Ck. Bara tidak suka kejutan. Apalagi yang melibatkan wanita ini.Ibu tirinya berdiri di hadapannya, ada ketegangan di garis rahang wanita itu. Sorot matanya yang memandangnya tajam menyiratkan sesuatu, seolah-olah ia begitu kecewa kepada Bara. Lucu. Seolah Bara telah berutang banyak kesalahan padanya, bukan malah sebaliknya.Di belakangnya, Nina tampak pani
"Aku tahu… aku telah menyakitimu, Bara." Suara Rini bergetar di antara isakannya. "Aku tidak meminta pengampunan, karena aku tahu kamu berhak marah, berhak membenciku. Tapi setidaknya, jangan membenci papamu sendiri."Bara tercengang. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang berhasil membuatnya tercengang dalam sebuah pembicaraan empat mata.Bah. Atas dasar apa wanita itu menguliahinya?Sungguh. Ia angkat topi atas ‘ketidaktahuan diri’ wanita itu. Mungkin jika ada ‘lomba orang paling tidak tahu diri sedunia’, wanita itulah pemenangnya.Tatapan Bara yang semula datar berubah dingin, menusuk, tanpa setitik pun belas kasih. Ia mencondongkan tubuh, melipat tangannya di permukaan meja. "Setiap perbuatan ada harganya."Rini yang sejak tadi berdiri—karena Bara tidak mempersilakannya duduk— mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tahu percakapan ini tidak akan ia menangkan. Tapi ia juga tidak datang untuk menang."Ayahmu sakit, Bara." Kali ini suaranya lebih lembut, seperti membujuk. "Apa kau
“Nama yang bagus.” Rini berkata setelah membaca deretan huruf yang tertera di ID card Cheryl. “Cheryl Anindita.” Ia mengulang nama itu pelan, seperti ingin mengingatnya. "Ayahku yang menamainya," Cheryl tersenyum kecil. “Katanya, Cheryl berasal dari bahasa Perancis chérie, yang artinya tersayang atau tercinta.""Lalu, Anindita?" tanya Rini, sambil tersenyum kecil. "Itu dari bahasa Sansekerta.” Cheryl tersenyum malu-malu. “Artinya sempurna, tanpa cacat, atau unggul."Rini mengangguk-angguk pelan. "Wah, namamu berarti… seseorang yang layak dicintai dengan sempurna. Nama adalah doa. Ayahmu pandai sekali mendoakanmu.”Cheryl terkekeh kecil. "Ayahku memang sangat mencintaiku. Tapi aku jauh dari sempurna."Rini tersenyum seraya memperhatikan gadis itu lebih lekat. "Tapi kamu memiliki sesuatu yang istimewa, sehingga kamu akan terlihat begitu sempurna di mata orang yang mencintaimu.”Cheryl tertawa kecil, tapi ada sesuatu yang redup di matanya. Ada rindu yang mendalam yang terasa begitu n
Rini membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Ia tahu betul perasaan takut yang diungkapkan oleh gadis di dalam lift tadi, Cheryl. Perasaan takut salah memilih, takut jatuh cinta pada seseorang yang tak seharusnya. Ia pernah ada di posisi itu. Pernah merasa begitu kecil di hadapan cinta yang terhalang oleh kenyataan pahit.Dulu, ia hanyalah seorang gadis biasa, putri dari pemilik restoran kecil yang sederhana. Tempat di mana para pelanggan tetap datang bukan karena kemewahannya, melainkan karena cita rasa dan pelayanan yang tulus. Dan di antara pelanggan itu, Wishnu menarik perhatiannya. Dia putra dari seorang konglomerat yang datang dengan pakaian mahal, mobil mewah, dan sikap santai yang bertolak belakang dengan latar belakangnya yang penuh aturan. Tapi berbeda dari kebanyakan orang kaya, Wishnu tidak pernah bersikap angkuh. Ia menikmati setiap hidangan dengan sungguh-sungguh, berbicara dengannya tanpa memandang statusnya sebagai pelayan restoran. Lalu, entah bagaimana, per
Milena membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Kata-kata Bara menggema dalam kepalanya, menusuk seperti duri di dada. “Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.”Milena menggeleng seraya bergumam pelan, “Semudah itukah… kau memalingkan hatimu, Bara? Bukankah kau juga pernah bilang cinta padaku? Hanya padaku…?”“Milena, cukup! Jangan rendahkan dirimu seperti ini di depan laki-laki yang sudah menolakmu!” seru Nyonya Dania, tak sanggup menyembunyikan amarah dan rasa malunya. “Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap serendah ini!”Sedangkan Tuan Adiguna hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun kerutan di wajahnya cukup bicara banyak, bahwa ia tak menyukai arah situasi ini.“Aku mencintaimu, Bara! Tidak bisakah kau melihat betapa besarnya cintaku padamu?” tangis Milena pecah. Ia sudah tak peduli pada harga diri, pada omelan ibunya. Sebab baginya kehilangan Bara terasa lebih menakutkan daripada apa pun.“Aku tak pernah mengeluh padamu soal sakitku, kan
Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita