Mentari mengerang keras, setelah sebelumnya dia meggebrak meja dan berteriak ke arah Senja.
Hilang sudah kewarasan dan kesopanannya di hadapan sang bos. Masa bodoh! Harapannya mendapatkan gaji berkali-kali lipat sudah membuatnya terbang ke langit tertinggi, eh, barusan, hanya dengan beberapa kalimat dari Senja Abimana yang sudah seperti bom itu, menghempaskan Mentari ke kerak bumi. Memang, sih, Mentari menyuruh Senja untuk mengaku di hadapan Surya Sanjaya bahwa dirinya adalah istri kedua. Tapi, Mentari kan tidak pernah bilang kalau mereka harus jujur yang sejujur-jujurnya.
Sementara itu, di tempatnya, Senja Abimana mengerjap. Mentari Jingga, sekretarisnya yang tengil dan ajaib ini, selalu bisa membuat hari-harinya dipenuhi kejutan. Bukannya marah dengan sikap tidak sopan dari Mentari, yang saat ini sudah seperti kebakaran jenggot, Senja
Lima menit yang lalu....Mentari tidak sengaja menutup pintu ruangan Senja dengan bantingan. Mendengar itu, Mentari meringis dan mematung di tempatnya. Mellanie yang juga sedang membaca laporan-laporan di komputernya, terlonjak dan menoleh. Dia melotot, membuat Mentari terkekeh pelan dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara. Membentuk tanda damai. Lalu, Mentari menatap rekan-rekannya yang lain sambil menggaruk kepalanya dan mengangguk berulang kali guna meminta maaf. Mereka semua, yang sudah tidak asing lagi dengan kelakuan ajaib Mentari dan juga perseteruan di antara Mentari dan sang bos galak, hanya bisa mengulum senyum dan menggeleng geli. “Sori, Mbak. Gue ganggu, ya?” “Untung deh
Suasana di restoran saat ini begitu ramai oleh para pengunjung yang ingin makan siang. Restoran yang dipilih oleh Mentari adalah restoran Jepang. Tadi, saat Senja menyuruhnya untuk ikut dengannya guna mencari makan siang, cowok itu juga bertanya pada dirinya restoran mana yang dia ingin datangi. Berhubung sudah lama sekali dia tidak makan makanan Jepang dan janji yang dibuatnya bersama Gerhana batal karena kakaknya itu ada urusan penting mendadak, maka Mentari memutuskan untuk mengunjungi restoran tersebut. “Pak,” panggil Mentari. Dia merasa sedikit risih dengan banyaknya orang yang keluar-masuk di restoran ini. Wajahnya mulai terlihat sedikit panik. Mentari memang terkadang suka merasa panik jika berada di kerumunan orang banyak. “Nanti kalau ada kenalan Bapak yang liat Bapak lagi makan siang sama saya, gimana?” &n
Melihat Mentari yang melongo, Senja buru-buru berdeham dan meminum es lemonnya. “Maksud saya, udah sewajarnya bagi saya sebagai atasan kamu untuk melindungi kamu, pegawai saya, kan? Kalau hal ini menimpa pegawai yang lain juga, tentu saja saya akan melindungi mereka juga. Jadi, ini bukan perlindungan yang diberikan secara romantis. Jangan salah kaprah.” Barulah Mentari mengerti. Cewek itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu mulai menyantap makan siangnya. Sudah dia duga, tidak mungkin Senja Abimana melakukan hal yang sangat di luar karakter seperti itu. Dirinya saja yang sudah kegeeran. Dia melirik Senja yang kini terlihat bingung di tempatnya. Keningnya mengerut, sudah seperti lansia. “Bapak kenapa? Kok nggak makan?” tanya Mentari de
“Wha—“ Mentari Chrysalis tidak mampu berkata-kata. Wajahnya terasa sangat panas. Bahkan, dia bisa mendengar Angelica Abimana bertanya kenapa wajahnya saat ini terlihat begitu merah. Mentari juga baru menyadari satu hal mengenai bosnya tersebut. Ternyata, bukan hanya keluaran neraka, Senja Abimana juga merupakan iblis berwajah malaikat! Bagaimana tidak? Dia selalu bersikap dingin dan menyeramkan, tetapi di belakang, rupanya Senja memiliki sifat menyebalkan seperti ini yang berbeda seratus delapan puluh derajat sifat aslinya. “Hm... kamu kehilangan kemampuan untuk berbicara,” angguk Senja sambil mengusap dagunya. “Itu artinya, menurut kamu, saya memang ganteng. Well, selera kamu ternyata boleh juga. Saya setuju. Jangan sampai kamu malah naksirnya sama bocah kekanakkan seperti sahabat ka
Hei, Awan... ngapain lo menelepon Mentari tanpa seizin gue? Kalimat Senja itu membuat kening Awan mengerut. Izin? Dia harus meminta izin kepada Senja jika ingin menelepon Mentari Chrysalis? Perkembangan apa yang sudah dia lewati mengenai hubungan keduanya? Apa mereka bukan hanya sekadar bos dan sekretaris? Oho... ini benar-benar menarik. Sudah cukup lama sejak Serena meninggal dunia dan Senja baru lagi bersikap sangat protektif seperti ini kepada lawan jenis. “Hei? Lo budek?” tanya Senja lagi di ujung sana, membuat Awan tersadar dari lamunannya dan berdeham. Dia juga bisa mendengar seruan jengkel dari Mentari. Kemungkinan besar karena ponselnya direbut secara paksa oleh Senja. “Pak Senja, ini benar-benar tindakan semena-mena! Bapak suka seenaknya aja bersikap dan sekarang main ngerebut barang saya! Saya bisa melaporkan Bapak ke kantor polisi! Balikkin ponsel saya! Pak Awan itu mau ngomong sama saya, bukan sama Bapak!” Awan mengulum senyum dan menahan tawanya. Dia sudah bisa me
Baru kali ini Mentari Chrysalis merasa sangat takut pada Samudra Pratama. Ya, memang sahabatnya itu terkadang selalu marah-marah kepadanya, demi kebaikannya dan keselamatannya sendiri. Namun, tidak seperti sekarang, di mana cowok itu mengurungnya di dinding, mencengkeram lengannya dengan kuat hingga rasanya begitu nyeri dan memberinya tatapan tajam yang begitu menyeramkan. Mentari yang biasanya bersikap ceria dan tengil pun, kini seolah tidak bisa berkutik. Dia diam, menelan ludah, dan mati-matian menelan semua ketakutannya. Tapi, tubuh mungilnya tidak bisa berbohong. Tubuh itu gemetar hebat, namun Samudra seolah tidak bisa melihatnya. Jika dia menyadarinya, bukankah seharusnya cowok itu melepaskannya? “Lepasin gue, Sam!” seru Mentari, berusaha memperlihatkan keberaniannya. Bahwa dia tidak takut sama sekali dengan Samudra. Ini rumahnya, ini teritorinya. Tidak ada satu orang pun yang bisa semena-mena dengannya di tempat yang bisa membuatnya tenang dan nyaman. D
Uh-oh! Bahaya besar! Mentari tidak pernah menyangka dirinya akan melompat menjauh begitu saja, hanya karena Senja mencoba memegangnya. Semua ini karena perbuatan sialan Samudra semalam. Sepertinya, rasa trauma dan takut Mentari masih membekas di dalam dirinya. Bahkan untuk memaksa senyum saja, Mentari sangat sulit untuk melakukannya. Dia melakukannya sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Tidak berani mengangkat wajah untuk bertatapan dengan Senja, yang auranya bahkan sanggup membuat Mentari semakin menciut. “Mentari,” panggil Senja sekali lagi. Masih setegas barusan. Dia mengambil langkah mundur, menciptakan jarak karena mengerti ketakutan Mentari saat ini. Tiba-tiba saja magma dalam dirinya menggelegak, meminta dikeluarkan dalam bentuk cacian dan makian. “Saya akan tanya sekali lagi. Apa yang terjadi sama kamu, sampai kamu bisa setakut ini? Seolah-olah kamu... baru aja dilecehkan oleh orang lain.” Kalimat itu membuat Mentari mematung dan menyentak napasn
Sebenarnya, Mentari tidak langsung pulang ke rumah, ketika dia kabur dari kantornya karena dikejar-kejar oleh bos sialannya itu, saat jam makan siang. Cewek itu berjalan-jalan di mal, menyantap makan siang walaupun tidak bisa dia nikmati karena nafsu makannya hilang begitu saja, sibuk menghindari pengunjung mal lainnya yang berjenis kelamin cowok jika sudah terlalu dekat dengannya dan masih banyak lagi. Kalau diingat lagi, Mentari merasa usianya bertambah lima puluh tahun daripada usia sebenarnya. Dia sangat kelelahan, seperti seorang nenek-nenek. Terlebih mentalnya. Dan semua ini karena si sahabat berengseknya, Samudra. Mentari heran. Ada apa dengan perilaku Samudra akhir-akhir ini? Semenjak Samudra tahu mengenai interaksinya dengan sang bos, dan semenjak dia salah paham dengan ucapan Senja, Samudra seperti menjelma menjadi anggota Yakuza. Marah-marah terus kerjaannya. Puncaknya ya kejadian semalam itu. Mentari tidak bisa mengenali Samudra sama sekali. Dia tak