Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Sial adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Mentari Chrysalis saat ini. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah satu tahun ini menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar yang terkenal. Gajinya memang lumayan besar, tapi tidak akan pernah bisa sepadan dengan kesehatan mentalnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan perusahaan dan pekerjaannya. Dia menyukai pekerjaannya tersebut. Masalahnya adalah... orang yang menjadi bosnya. “Gue pasti jadi gila,” gumam Mentari sambil menaruh beberapa berkas di atas meja kerjanya sendiri dengan sedikit bantingan. Tak lama, perempuan berambut panjang sepunggung yang hari ini dibiarkan tergerai itu duduk di kursinya sendiri, menopang dagu dengan sebelah tangan dan meniup poni yang menutupi keningnya. “Pasti!” Mellani, sahabat Mentari sejak perempuan itu diterima bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini, yang usinya dua tahun di atas Mentari, memutar kursi kerjanya agar dia
Sekarang, Mentari Chrysalis berpikir kalau dirinya sudah disumpahi oleh orang lain. Kalau Mentari sampai tahu siapa orang sialan yang sudah menyumpahinya itu, Mentari akan meminta uang kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban karena sudah membuat mentalnya terguncang. Pasalnya, belum cukup Mentari harus berurusan dengan Senja Abimana lima hari dalam seminggu di kantor, kini Mentari harus bertemu dengan bosnya yang super galak dan menyebalkan serta keluaran neraka tersebut di hari Sabtu yang damai seperti ini. Senja Abimana nampak cool dengan kaus berwarna hitam lengan panjang dan celana panjang santai. Seperti celana olahraga, bukan celana jeans. Cowok itu mengenakan kacamata yang tidak pernah dilihat oleh Mentari sebelumnya. Setahunya, Senja Abimana tidak memakai kacamata saat bekerja, lantas kenapa sekarang bosnya itu memakai kacamata? “Ini cuma kacamata santai. Bukan kacamata kerja atau kacamata baca. Mata saya masih normal, meskipun saya sud
“Ini rumah kamu?” Pertanyaan itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya dan mengangguk. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menghembuskan napas lega secara samar. Akhirnya, perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih sepuluh menit dan terasa seperti di kuburan itu berakhir juga. Bagaimana tidak seperti di kuburan, kalau suasananya sangat mencekam? Tidak ada satu pun di antara Senja dan Mentari yang saling berbicara dan aura Senja terasa menyesakkan dada bagi Mentari. Terlebih, hujan juga masih turun dengan derasnya. “Kenapa gitu, Pak?” Mentari balas bertanya. Hujan saat ini sudah berkurang intensitasnya, sehingga Mentari merasa tidak masalah jika harus menerobos dari tempatnya saat ini menuju ke dalam rumah. Sesampainya di rumah nanti, dia akan berendam air panas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. “Ya, mungkin dibandingin sama rumah Bapak, rumah saya emang nggak ada apa-apanya.” “Saya nggak bilang kalau rumah k
Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali. Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya. “Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.” “Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak seng
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma