Kurniawan Herlambang
Seorang pemuda yang berhasil mendirikan perusahaan namun berkembang pesat hanya dalam waktu empat tahun. Ya, dia adalah Awan nya Raya. Sejak kepergian Raya tujuh tahun yang lalu Awan merubah dirinya menjadi sosok lelaki yang pekerja keras dan ambisius.Nasehat bunda Raya selalu terngiang di telinganya setiap saat."Mungkin ini cara Tuhan agar kalian fokus pada masa depan. Kejar mimpi kalian masing-masing. Hingga tiba saatnya nanti waktu kembali memepertemukan kalian dalam kondisi yang jauh lebih baik dari pada sekarang."Demi bisa fokus Menata masa depannya, Awan meminta izin pada papa dan mamanya untuk kuliah dan hidup mandiri di Bandung. Awalnya papanya menolak, tapi berkat bantuan mamanya akhirnya Awan pun diizinkan untuk pindah dan melanjutkan studi nya di Bandung.Dari sinilah hidup Awan berubah seratus delapan puluh derajat. Dia yang terbiasa dengan segala fasilitas dari sang ayah, dia harus menanggalkan semuanya. Memulai segalanya dari nol. Bertemu dengan seorang yang baik hati, belajar menjahit dan ilmu marketing secara langsung.Kemudian dia memulai usaha sendiri di saat dia sedang menjalankan studinya. Dengan kegigihan dan kerja kerasnya yang tiada henti. Hanya dalam waktu tiga tahun dia sudah menyelesaikan S-1 nya dan mendapatkan gelar S Mb dibelakang namanya.Bersamaan dengan itu usaha nya pun semakin berkembang pesat, dan dia mencoba untuk mendirikan sebuah perusahaan konveksi di Bandung. Yang diberi nama RK Company. Nama ini akan selalu mengingatkannya pada tujuan hidupnya yang sesungguhnya. Raya.Dan berkat keahlian nya di bidang bisnis, usahanya langsung berkembang persat hanya dalam kurun waktu setengah tahun. Hingga kemudian dia memikirkan untuk membuka kembali cabang dari RK Company di Kota Bali.Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah pepatahnya. Siapa sangka ketika perekrutan karyawan, tanpa sengaja Awan mendapati map berwarna coklat itu dengan nama Raya Humairah. Jantungnya seakan berhenti berdetak kala itu. Namun respon wajahnya tidak bisa dibohongi. Dia yang dijuluki CEO Galak, tersenyum lebar tanpa bisa ditahan kala dia membuka map itu dan mendapati foto Raya didalamnya. Gadis yang dia rindukan selama empat tahun terakhir. Gadis yang menjadi alasan dia bekerja begitu keras hingga mencapai ini semua."Permisi, Pak!" Ucap Albert begitu memasuki kantor Awan."Satu jam lagi ada jadwal rapat dengan departemen desain membahas rancangan baju olahraga terbaru untuk pekan olahraga tiga bulan yang akan datang.""Baik! Siapkan ruangan dan segala keperluannya." Ucap lelaki itu, sebelum kemudian dia tertegun seperti memikirkan sesuatu."Tunggu!" Panggil Awan menghentikan langkah Albert yang sudah sampai didepan pintu ruangannya."Departemen desain?" Tanya Awan memastikan."Ya, pak! Apa ada yang salah?" Tanya Albert kembali."Tolong kamu saja yang mewakili saya disana.""Tapi, pak ... ""Kamu mau menggantikan saya mengisi rapat atau mau saja jadikan OB sekarang juga?" Ancam Awan pada Albert asisten pribadinya."Siap, pak. Saya akan menggantikan bapak untuk mengisi rapat nanti." Ucap Albert sambil menunduk dan segera keluar dari ruangan."Selalu saja mengancam mau jadikan gue OB. Ini bos makin aneh aja kelakuan sekarang." Gerutu Albert yang masih berdiri didepan pintu ruangan CEO."Saya bisa mendengarkan mu, Albert!" Teriak Awan dari dalam ruanganya. Membuat Albert terkejut dan segera menutup pintu kemudian berlalu pergi."Huft...! Hampir saja." Ucap Awan bernafas dengan lega. Dia masih berusaha menyembunyikan identitas yang sebenarnya dari Raya meski hari ini dia sudah mendapatkan kebenaran, bahwa Raya juga masih menyimpan dia dihatinya.Namun entah kenapa Awan masih merasa gugup jika bertemu dengan Raya dan bertatap mata dengannya. Dia lebih nyaman jika Raya masih menganggapnya sebagai Herlambang."Kenapa malam sekali pulangnya? Ingat anak gadis orang jangan di apa-apain. Kalo udah kebelet besok mama nikahin kalian." Suara mama nya mengagetkan Awan. Hampir saja Awan melemparkan ponselnya ke sumber suara, jika mamanya tidak segera menghidupkan lampu."Astaghfirullah, mama! Ngagetin aja." Keluh Awan pada mama nya."Dari mana saja kalian?" Awan menoleh kebelakang, mencari sosok yang di maksud mamanya. Namun dia tidak menemukan siapapun."Kalian?" Tanya Awan bingung dengan pertanyaan mamanya."Kamu sama Raya." Jawab mamanya sambil berlalu dan duduk di sofa."Gak ada, ma. Aku lembur, berdua sama Albert di kantor. Gak ada Raya. Apaan sih mama." Jawab Awan mengikuti mamanya dan duduk di sampingnya."Ngapain lagi sih ini ibu-ibu." Awan berusaha menjauh kan dirinya dari mama nya yang sedang mencari jejak aroma wanita di tubuh Awan."Nge cek aja." Jawab mama nya."Aku gak pernah pergi berdua sama Raya, ma." Jelas Awas jujur pada mama nya."Awas aja kalo kalian macam-macam. Mama nikahin secepatnya." Bukannya takut, Awan malah tertawa kecil mendengar ancaman mamanya."Hi" Sapa Awan melalui aplikasi chat kepada Raya. Setelah percakapan mereka siang tadi di kantin. Awan memiliki keberanian untuk mengiriminya pesan sekarang.Satu jam menunggu tak juga ada balasan dari Raya, hingga akhirnya Awan tertidur sambil memegang erat ponselnya itu."Ma, tolong banget mama jangan kekantor." Awan memohon sambil mengikuti kemana pun mama pergi."Mama gak gangguin pekerjaan kamu, mama cuma mau cari Raya. Mama itu kangen banget sama dia, tau gak?" Ucap mama nya tak mau kalah."Tolong, ma. Jangan kacaukan rencana Awan.""Kamu kebanyakan rencana. Tiga tahun Awan, bisa-bisa nya kamu diam ditempat. Bagaimana kalau Raya disamber orang." Ucap mama nya lantang sambil memukul kepala anaknya dengan kipas lipat yang sedang dipegangnya. Membuat Awan meringis mengusap kepalanya yang menjadi bulan-bulanan mamanya."Ok! Mama boleh temui Raya. Tapi jangan di kantor. Nanti Awan atur agar Raya pergi keluar, mama pura-pura ketemu tanoa sengaja disana. Yang penting jangan samlai Raya tau kalau Awan CEO di kantornya."Awan mencoba bernegosiasi dengan mama nya. Mamanya tampak berfikir sebentar sebelum menjawab."Ok. Sekalian buatkan izinnya untuk gak ngantor hari ini. Mama mau bawa dia arisan. Mau mama kenalin sama teman-teman arisan mama. Iii... Pasti seru banget." Ucap mama Awan kegirangan."Terserah mama, yang penting jaga rahasia Awan.""Tenang, mama bisa dipercaya. Ok. See you sayang. Muahh!""Huftt... Dasar mak mak rempong!" Awan menarik napas nya kasar. Pasalnya sejak bangun tidur mamanya terus saja ngotot ingin menemui Raya. Membawa gadis itu pergi kemana pun yang dia mau. Mama Awan memang sangat menyayangi Raya. Dia adalah orang kedua setelah Awan yang merasa terpukul dengan kepergian Raya tujuh tahun yang lalu."Albert, saya terlambat. Tolong kamu atur schedule yang baru buat saya. Satu jam lagi saya akan tiba di kantor." Ucap Awan begitu panggilan terhubung dengan Albert."Siap, Pak!" Jawab Albert sigap."Ehmm..." Albert ragu-ragu mengeluarkan suaranya."Kenapa?""Bu Raya masuk rumah sakit, pak!" Jawab Albert perlahan."Apa?"Awan menyusuri lorong Rumah Sakit Peduli Kasih dengan tergesa-tega, setelah perawat menyebutkan nomor kamar yang di tempati Raya. Tanpa berfikir panjang dia langsung menghampiri Meisya yang sedang sibuk dengan ponselnya di depan ruang rawat Raya. "Bagaimana keadaan Raya?" Tanya Awan tergesa-gesa. Hampir saja dia menerobos pintu ruang rawat Raya jika Meisya tidak segera menghadangnya. "Dia sedang tidur. Kau siapa nya Raya? Aku gak pernah lihat kau sebelumnya." Tanya Meisya sambil mengerutkan keningnya. Seingatnya Raya tidak punya saudara atau bahkan teman pria diluar kantor. Jika teman-teman kantor dia sudah pasti mengenalnya. Awan tersadar seketika, dia membuang nafas kasar sebelum menjawab pertanyaan Meisya. "Herlambang, dari departemen keuangan." Jawab Awan. "Bagaimana dengan Raya? Kenapa dia bisa pingsan?" Tanya Awan kembali, dia benar-benar merasa khawatir sekarang. Jika tidak mengingat ada Meisya disini, mungkin dia akan langsung masuk kedalam. "Asam lambung." Jawab Meisya
Raya termangu melihat seorang wanita setengah baya yang tujuh tahun terakhir tak pernah ditemuinya. Seorang wanita yang selalu menganggap nya sebagai putri kandungnya. Kini wanita itu berdiri tepat di depan pintu ruang rawat nya. "Ma... mama?" Panggil Raya sambil menitikkan setetes cairan bening di matanya. Seluruh kerinduannya seakan ikut tumpah bersama titikan air yang kian menderas di pelupuk matanya. Wanita yang di panggilnya mama itu langsung mendekati Raya dan memeluk erat tubuh gadis itu. Menghujani wajah gadis mungil itu dengan kecupan-kecupan yang sedikit agresif membuat Raya kewalahan menahan kepalanya agar tak kesana-kemari seperti bola pingpong. Kemudian dia berhenti setelah melihat Raya yang sudah berantakan akibat ulahnya sedang menatapnya bingung. "Mama dikabari sama Bunda, kalau kamu masuk rumah sakit. Kebetulan mama ada acara arisan disini. Jadi mama langsung nyamperin kamu." Jelas mama Awan yang menyadari arti tatapan dari Raya. Tadi pagi setelah dia mendapat izin
Mama Awan menunggu kalimat selanjutnya dari Raya dengan penuh harap. "Dia apa kabar, ma?" Tanya Raya ragu-ragu. Dia penasaran, malu, juga ada rasa takut jika menanyakan kabar Awan sekarang. Dia penasaran, seperti apa rupanya seorang lelaki yang selalu dia rindukan itu. Dia malu, karena harus bertanya langsung kepada mama yang bersangkutan yang notaben nya mengetahui masa lalu mereka. Dia takut, jika dia mendapati kenyataan bahwa sudah ada orang lain yang menggantikan posisinya di hati Awan. "....." Mama Awan kehabisan kata-kata. Dia pikir Raya akan sedikit menyadari keberadaan Awan dalam sosok Herlambang. Ternyata dia berharap terlalu tinggi. Di gedung RK CompanyTampak mama Awan baru saja tiba dan langsung berjalan menuju ke lift setelah disambut oleh Albert di depan pintu utama atas perintah Awan. "Halo, tante. Apa kabar?" Sapa seorang wanita muda dengan mengenakan pakaian kursng bahan. Lelaki hidung belang pasti akan langsung meneteskan liurnya jika melihat wanita itu. "Ngapai
"Papa!" Teriak seorang gadis kecil berusia enam tahun, begitu melihat Awan memasuki pintu utama gedung RK. Sejak pukul tujuh anak itu sudah berada disana, duduk manis di sofa sambil memainkan gadget nya. Sesekali dia melirik ke arah pintu utama menantikan kehadiran Awan disana. Teriakan gadis itu tak dihiraukan oleh Awan, dia terus saja melangkahkan kaki nya hingga akhirnya gadis kecil itu berlari mendekatinya dan memeluk erat sebelah kaki nya. Membuat langkah nya terhenti. "Papa! Kenapa papa tidak mendengarkan ku?" Tanya gadis itu sambil memanyunkan bibirnya dan melepas pelukannya di kaki Awan kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. Awan yang tidak merasa itu adalah dirinya, hanya diam tanpa bereaksi apapun. Kemudian Albert maju ke depan, dan berbicara dengan lembut kepada gadis itu. "Dimana ibu mu?""Disana!" Seru anak itu sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang berdiri di depan receptionis. "Ada apa sayang?" Tanya wanita itu mendekat, dan memeluk tubuh mungil putriny
Hari ini adalah pertama Raya masuk kerja setelah cuti tiga hari karena dirinya harus dirawat dirumah sakit. Selama tiga hari itu pula, mama nya Awan selalu menemani dan menjaganya. Hingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi dalam diri Raya bahwa Awan akan menerima nya lagi jika saja mereka bertemu. Namun sepertinya Raya harus mengubur dalam-dalam segenap fikirannya itu. Sebab hari ini dia kembali di hadapkan kepada kenyataan yang sangat mengejutkan bathinnya. Herlambang yang perlahan mulai masuk ke dalam hatinya dan diterima dengan baik didalam sana sebagai seorang teman, ternyata adalah Awan. Orang yang selalu dia rindukan dalam tujuh tahun terakhir. Betapa bodohnya dia tidak menyadari ini sejak awal. Memang tampak sedikit perbedaan, Awan yang ada dalam ingatannya adalah seorang anak SMA dengan tubuh sedikit berisi, namun tidak terlalu gemuk, berkulit putih, bentuk wajah oval, dan potongan rambut cepak yang di sisir ke atas gaya khas anak SMA. Sedangkan lelaki yang mengaku b
"Kak!" Panggil Raya saat dia dan Meisya sedang menyantap makan siang mereka di kantin. "Hmm..." "Kira-kira kalo laki-laki udah beristri terus masih care sama kita, itu kenapa ya?" Tanya Raya dengan polosnya. Jelas saja pertanyaannya itu mengusik pendengaran teman-teman sejawatnya yang juga sedang makan di sekitarnya. Meisya buru-buru menghabiskan makanan yang baru saja di masukkannya ke dalam mulut, sebelum dia menjawab pertanyaan dari Raya."Paok kau lah, Ray! Makanya ku bilang dari dulu, mencewek kau. Biar gak bodoh kali jadi orang. Biar ada pengalamanmu sikit menghadapi buaya." Oceh Meisya panjang kali lebar, membuat mereka semua yang ada disitu menertawakan kebodohan dalam pertanyaan Raya. Raya yang tak terima di tertawakan hanya bersungut sambil memajukan bibirnya lima senti meter. Dan kembali melahap makanannya. "Aku kan nanyak loh we. Kalian ini sensi kali sama ku." Jawab Raya dengan menggunakan logat Meisya. Membuat teman-temannya kembali tergelak karena ulahnya. "Makany
Degg!! Tiba-tiba saja jantung Raya seperti mendadak berhenti setelah mendengar pertanyaan Meisya. Sejujurnya dia menginginkan itu adalah berita palsu. Namun mau bagaimana lagi, yang menyampaikan informasi itu adalah orangnya sendiri. Bahkan Awan mengatakan kalau dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Raya sekarang. Raya tertawa kecil. dalam hatinya setelah memikirkan ini. Dia sempat merasa diatas angin setelah menghabiskan tiga hari dirumah sakit bersama mama Awan. Dengan segala cerita dan ocehan mama nya seolah mendatangkan kembali kenangannya tujuh tahun yang lalu. Dia pikir semua akan baik-baik saja. Dan dia tinggal menunggu waktu untuk kembali menjalin kasih dengan Awan. Ternyata dia salah. Kenyataan yang dia terima pagi ini benar-benar menghempaskan dia dari udara dengan ketinggian yang mungkin mencapai puncak gunung himalaya diatas permukaan laut hingga kedasar bumi. Namun bukan Raya namanya jika dia tidak bisa menyembunyikan segala kekacauan didalam hatinya dari orang lain
"Ayah?" Panggil Raya heran. Bagaimana ayahnya bisa terdampar di gedung ini. Ayah pun maju dan mendekati putri nya kemudian memasukkan Raya kedalam rangkulannya sambil tangan kanannya mengusap lembut kepala Raya. "Ternyata ini yang buat kamu betah dan jarang sekali mau pulang kerumah?" Goda Ayah sambil mengecup kecil pucuk kepala Raya. "Ishh... Apaan sih, Yah. Mana ada. Aku juga baru ketemu dia disini." Jawab Raya jujur pada ayahnya. "Masak?" Tanya ayah sambil menaikkan kedua alisnya seolah tak percaya dengan jawaban Raya. Raya hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. "Eh, ayah kok bisa ada disini? Ayah kok gak ngabari Raya ayah lagi di Bali. Terus ayah nginap dimana tadi malam?" Tanya Raya beruntun membuat Awan dan Ayah terkekeh geli melihatnya. Ayah semakin mengeratkan rangkulannya pada anak gadisnya ini, sebab selain gemas dengan kelakuannya dia juga sangat merindukannya. Jika saja Awan tidak mengabari mereka kalau dia bersama Raya dan berjanji akan selalu mengawasinya. Mungki