"Satpam…satpam yang mana yang kamu maksud, Mas?” seketika wajah Fanny berubah menjadi pucat.
“Kamu lupa? Atau kamu pura-pura lupa? Bukankah kamu yang mengatur semua skenario ini semua?” tanya Reynaldi marah. Merasa terpojok akhirnya Fanny tidak bisa mengelak lagi. “ Iya…iya aku yang mengatur itu semua, kamu mau apa, Mas. Bagaimana sekarang, apa kamu sudah bertemu dengan wanita itu? Bagaimana perasaanmu, Mas?” tanya Fanny balik, tanpa merasa bersalah. Reynaldi menatap wajah wanita yang sudah menjadi istrinya bertahun-tahun. Dulu, dia pernah menyayangi Fanny. Dia juga pernah berharap kalau pernikahannya akan baik- baik saja. "Wanita, siapa? Apa maksudmu?” tanya Reynaldi bingung. Fanny melangkah lebih dekat, wajah mereka hampir saja tanpa jarak. "Jangan pura-pura bodoh,Mas! Aku tahu Lina sudah kembali, Aku tahu Lina bekerja di perusahaan mu sekarang.” Wajah pria itu berubah menjadi merah, menahan marah. Tangannya mengepal keras. Entah siapa yang sudah berani membocorkan semuanya kepada istrinya. "Aku tidak mau berdebat tentang masalah ini.” tegasnya sambil berlalu dari hadapan Fanny. "Oh?” Tentu saja tidak mau, karena sekarang kau punya alasan untuk bertemu dengannya setiap hari bukan?” tanya Fanny dengan suara bergetar menahan marah. Masih dengan perasaan cemburunya, Fanny terus saja bicara. "Katakan padaku, Mas. Apa yang kamu rasakan saat pertama kali melihatnya lagi?” Reynaldi terdiam tidak ingin menjawab pertanyaan Fanny. “Lihat dirimu, bahkan kamu tidak bisa berbohong, Mas. Bahkan kamu tidak bisa menyangkalnya.” ujar Fanny sinis. Fanny kembali mendekat, Lalu berkata, “Kamu masih mencintainya, bukan?” Reynaldi diam tidak berkata sepatah katapun, karena sesungguhnya dia binggung, masih mencintai Lina atau tidak. Dulu, pernikahan mereka memang terjadi tanpa cinta. Dan cinta itu baru saja mulai tumbuh, ketika Lina pergi dari hidupnya. Sekarang Lina datang lebih dewasa, lebih cantik, dan lebih mandiri. Dan dia menyukainya. Fanny tersenyum sinis, " Huh!" Harusnya aku sudah tahu jawabannya. Kenapa aku masih bertanya? Dasar bodoh!" Suasana menjadi tegang. Mereka diam. Tidak ada yang bicara. Sampai akhirnya Fanny bicara dengan nada pelan tapi penuh penekanan. "Kalau kamu berpikir aku akan membiarkanmu, kembali pada wanita itu, kamu salah, Mas! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Reynaldi mendekat, Lalu menatap wajah Fanny dengan ekspresi dinginnya, kemudian berkata, " Aku tidak akan pernah meminta izinmu, untuk hal apapun, tidak akan pernah terjadi!" Mata Fanny melotot dengan tajam sambil berkata, " Apa maksud kamu, Mas!" Reynaldi mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya berkata," Aku tidak akan meninggalkan Bima lagi, aku sudah cukup bersalah pada anak itu." Wajah Fanny berubah menjadi tegang. Ekspresi wajahnya berubaah seperti melihat hantu. "Jadi wanita itu benar-benar sudah melahirkan anakmu?" Reynaldi menatapnya tajam dan berkata, " Ya, Apa kamu tahu juga?" Fanny diam tidak bicara lagi. Ekspresi wajahnya berubah. Matanya yang semula penuh dengan sorot emosi, sekarang berubah penuh dengan kebencian. "Jadi kamu mau kembali dengan Lina, Kamu mau meninggalkan aku demi anak itu?" Reynaldi mengeleng lemah. "Aku tidak akan meninggalkan siapa-siapa. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku dimasa lalu." Fanny semakin emosi, sampai dia tidak bisa mengendalikan dirinya dan berkata, " Aku tidak akan diam saja, melihat apapun yang akan kamu lakukan, Mas!" "Lakukan apapun yang kamu mau, Fanny. Aku tidak perduli. Tapi satu yang harus kamu ingat...kamu akan berhadapan denganku, kalau sampai kamu menyakiti anakku." ujar Reynaldi tegas. Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Reynaldi berlalu pergi. Meninggalkan Fanny yang terdiam, dan berfiri kaku, dengan perasaan penuh kebencian. Dua hal yang ada dipikiran Reynaldi, Yang pertama, Bagaimana istrinya bisa tahu segalanya tentang Lina. Yang kedua, dia tahu pasti, kalau Fanny tidak akan tinggal diam. Pasti wanita itu akan melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. ## Semenjak pertemuan antara Reynaldi dan Lina dikantor itu, Hari-hari Lina menjadi sulit. Karena Reynaaldi selalu mencari cara untuk bisa bertermu dan bicara pada Lina. Reynaldi selalu saja berusaha memanfaatkan kekuasaannya, untuk bisa berinteraksi dengan Lina. Bertanya tentang suatu hal, yang seharusnya bisa ditanyakan pada stafnya yang lain. "Bu Lina, Anda dipanggil pak Reynaldi ke ruangannya. " suara pesawat minitor terdengar di atas meja kerja Lina. Lina mengambil nafas berat, sebelum akhirnya keluar dari ruangannya, menuju keruangan pria itu. Tok. Tok. Tok. "Masuk!" terdengar suara tegas dari dalam ruangan. Pintu terbuka, dan seperti dugaan Lina, pria itu duduk disana. Di meja kerjanya yang mewah. Pria itu nampaak berwibawa, dengan stelan jas warna hitamnya. Tapi Lina tidak akan terpengaruh. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Reynaldi?" tanya Lina dengan nada formal. "Kita harus bicara." katanya dengan nada tegas dan datar Lina menarik nafas panjang lalu berkata," Kalau ini masalah pekerjaan, silahkan, Pak!" "Tapi kalau bukan, maaf saya tidak tertarik." Reynaldi mengeram marah," Aku serius, Lina." "Aku juga serius, Pak! Aku disini untuk mencari nafkah, Pak! Bukan untuk mengurus apapun itu, apalagi tentang masa lalu, Pak. Maaf." Reynaldi bangkit dari duduknya. Mengepaalkaan kedua tangannya diatas meja. Kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Lina. "Bima anakku. Aku ingin menghabiskan waktu dengan anakku. kamu tidak bisa melarangku." katanya oenuh percaya diri. Lina diam tidak bicara lagi. Dia tahu hal ini pasti akan terjadi. Tapi mendengar semua ini langsung dari mulut Reynaldi membuat dadanya sesak. "Maaf Pak Reynaldi yang terhormat, mudah sekali kamu bicara. Anakku adalah anakku. Bukan mainan. Yang segampang itu bisa anda pinta." ekspresi wajah Lina benar- benar tegang menaham marah. "Aku tidak pernah menganggapnya mainan. Dia anakku darah dagingku." teriak Reynaldi lepas kendali. Lina tertawa tipis, lalu berkata, "Bagus, apa bapak sudah ingat semuanya, sekarang? Kemana kamu saat aku berjuang hidup dan mati, Dimana kamu saat aku berjuang banting tulang siang dan malam, untuk membeli susunya. Dimana kamu saat aku harus bergadang, disaat dia sakit?" Wajah Reynaldi semakin merah menahan marah. Dia tahu benar, kalau dirinya bersalah. Tapi sifat egoisnya tetap saja membuatnya tidak mau mengalah dan terlihat lemah. "Aku tahu, kalau aku bersalah. Dan aku akan berusaha menebus kesalahanku. Beri aku kesempatan, dia anakku." ujarnya lagi dengan penuh pengharapan. "Aku ingin kamu membuktikannya, bukan hanya asal bicara." Lina berkata tegas sambil bangun dari duduknya, kemudian berjalan dengan langkah pasti meninggalkan ruangan itu. Reynaldi tidak bisa berkata apa- apa lagi. Pria itu hanya bisa diam, membiarkan Lina berjalan keluar dari ruangannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita yang dulu pernah ia sakiti. Dan telah melahirkan anaknya. Keturunan Reynaldi Setyawan satu-satunya. Pewaris seluruh harta dan kekayaannya kelak.Jantung Nayara berdegup tak beraturan, berdetak seperti genderang perang yang tak pernah reda. Tiket dalam genggamannya terasa dingin, namun sensasi dingin itu tak sebanding dengan kekalutan yang membanjiri benaknya. Faint, dengan tenang, merangkul bahunya, seolah mencoba menyalurkan sebagian ketenangan dirinya ke dalam tubuh Nayara yang gemetar. Pesawat menuju Jakarta baru saja mengudara, membawa mereka melintasi batas-batas benua, menjauhi hingar-bingar kota tempat mereka hidup, menuju sebuah realita yang tak pasti.“Kamu sudah minum obat penenang yang kuberi?” Faint bertanya, suaranya lembut, namun penuh perhatian. Matanya menatap Nayara, mencoba membaca setiap gejolak di balik iris mata Nayara yang tampak berkaca-kaca.Nayara menggeleng pelan. “Tidak perlu. Bukan tentang menenangkan diri, Faint. Ini tentang menghadapi. Aku harus menghadapi semua sekarang.” Kata-katanya keluar dengan nada yang lebih tegas dari yang dia duga, seolah meyakinkan dirinya sendiri leb
Jantung Nayara berdegup tak beraturan, berdetak seperti genderang perang yang tak pernah reda. Tiket dalam genggamannya terasa dingin, namun sensasi dingin itu tak sebanding dengan kekalutan yang membanjiri benaknya. Faint, dengan tenang, merangkul bahunya, seolah mencoba menyalurkan sebagian ketenangan dirinya ke dalam tubuh Nayara yang gemetar. Pesawat menuju Jakarta baru saja mengudara, membawa mereka melintasi batas-batas benua, menjauhi hingar-bingar kota tempat mereka hidup, menuju sebuah realita yang tak pasti.“Kamu sudah minum obat penenang yang kuberi?” Faint bertanya, suaranya lembut, namun penuh perhatian. Matanya menatap Nayara, mencoba membaca setiap gejolak di balik iris mata Nayara yang tampak berkaca-kaca.Nayara menggeleng pelan. “Tidak perlu. Bukan tentang menenangkan diri, Faint. Ini tentang menghadapi. Aku harus menghadapi semua sekarang.” Kata-katanya keluar dengan nada yang lebih tegas dari yang dia duga, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Faint.Faint
Kelegaan terasa menusuk hingga relung terdalam jiwanya, memecah kepompong ketidakpastian yang selama berbulan-bulan melilit. Nayara membiarkan kuasnya menari di atas kanvas, setiap sapuan warna menjadi refleksi dari gejolak batin yang akhirnya menemukan ketenangan. Lukisan potret seorang wanita dengan senyum samar dan mata penuh rindu tercipta di sana, bersanding dengan untaian kata dalam surat yang menyuarakan pengakuan. Udara dingin Paris malam itu seolah menghangat oleh keputusan yang teguh.“Aku akan kembali ke Jakarta, aku juga akan kembali pada Mama dan Papa. Akan aku hadapi semuanya. Aku tahu sekarang, aku harus apa.” Gumam Nayara, suaranya pelan namun mantap, seolah setiap kata adalah janji yang ia ukir untuk dirinya sendiri. Hatinya yang sempat retak kini berangsur utuh, kepingan-kepingan realitas telah ia susun menjadi sebuah peta jalan. Esok adalah hari baru, sebuah lembaran yang akan ia isi dengan keberanian.*Sore merayap perlahan, mewarnai langit Paris dengan gradasi ji
Setelah berperang dengan pikiran dan perasaan nya, akhirnya Nayara memutuskan untuk kembali ke Jakarta, meskipun waktu untuk magangnya di Paris belum selesai. “Aku akan kembali ke Jakarta, aku.juga akan kembali pada Mama dan Papa. Akan aku hadapi semuanya. Aku tahu sekarang, aku harus apa.” gumam nya malam itu setelah melukis dan menulis surat buat Emely ibu kandungnya.***Sore menjelang gelap, Nayara menunggu, Emily Nayara di sebuah cafe kecil, Tidak terlalu lama Nayara menunggu, akhirnya wanita paruh baya itu pun datang, dari kejauhan Nayara melihat senyum itu. Wanita dengan kulit seputih susu, rambut ikal berwarna terang, digelung asal. Penampilan nya yang sangat sederhana tapi tetap cantik dan berkelas. Sesaat Nayara berpikir dan bicara dalam hatinya,” Kulitnya sama persis seperti ku, bola matanya itu milikku, tapi senyum nya tidak seperti ku. Apa senyumku mirip dengan suaminya. Papa kandung ku.” “Sudah lama kamu menunggu, sayang?”sapanya dengan hangat.Nayara bangun dari du
Sore itu, Langit Paris diselimuti warna orange tembaga.Galeri tempat Nayara magang dan mencari ilmu mengadakan pameran kecil.Karya-karya lama, dari seniman yang menghilang, di pameran kan lagi disini. Salah satunya lukisan dengan nama pelukis yang sama di bawahnya. Emily Nayara. Seorang pelukis yang sama yang Nayara temukan waktu itu di galeri Tuan Zack di Yogyakarta.Dan sore itu saat pengunjung mulai berdatangan. Nayara Melihat seorang wanita mematung di depan lukisan itu.Wanita itu mengenakan baju mantel berwarna coklat , dengan syal tebal melilit di lehernya. Rambut coklatnya di kuncir satu sederhana tapi terlihat sangat cantik.Tapi ekspresinya seperti melihat hantu, Air matanya mengalir diam-diam. Sesekali dia mengusapnya dengan tissue.Nayara mendekat dan berkata dengan lembut….“Apakah madam mengenal pelukis nya.”Wanita itu menoleh, mata mereka bertemu, Mereka diam, ada keheningan yang aneh. Hingga akhirnya tatapan wanita itu lembut, tapi juga tajam, seolah ingin mencari
Sebulan sebelum berangkat ke ParisYogyakarta,musim hujan. Hujan mengguyur kaca galeri dengan suara halus, tapi terus menerus. Sampai seluruh debu di kaca galeri luruh dan hilang.Nayara tengah membersihkan ruang arsip, tepatnya di lantai dua galeri Tuan Zack.Membantu Faint menyortir lukisan lama yang belum sempat dipamerkan.Diantara lukisan tua yang sudah terlihat usang dan berdebu, ada satu lukisan yang menarik perhatian nya. Lukisan seorang wanita muda dengan.gaun berwarna biru langit. Tengah duduk di samping bunga mawar merah yang lebat dan berduri.Wajahnya sendu, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam.Tertulis di bawah lukisan..“Emily Nayara 2007” “Emily?” jantungnya berdegup dengan kencang. Dia bingung kenapa nama itu persis dengan nama ibu kandungnya. Yang tidak sengaja dia dengar saat kedua orang tuanya sedang berbicara di ruang kerja ayahnya.Faint yang berdiri tak jauh dari sana menjelaskan dengan rinci pada Nayara.“Itu salah satu lukisan lama dari salah sa