"Saya ibunya Agas. Neneknya Bima. Kamu yang namanya Nara ya? Yang kata seringkali dibilang tante cantik sama Bima?" ucap seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari Agas.Nara buru-buru menyalami ibu Agas. "Maaf tante. Aku baru bangun.""Enggak papa. Ini masih pagi. Lagian tante ngerti kok kalau kamu pasti capek setelah jagain Bima. Makasih ya perhatiannya," ucap ibu Agas dengan senyuman ramah.Nara membalas senyumannya dengan sopan sambil berkata, "Aku seneng kok tante bisa nemenin Bima. Dia anak yang menggemaskan."Ibu Agas tampak senang mendengar pendapat Nara tentang cucunya. Senyumannya tampak semakin lebar. "Memang anak itu selalu bikin orang terhibur.""Iya, tante." Nara berkata sambil melirik ke sekelilingnya, mencari keberadaan Agas yang sedari Nara bangun tidak tampak juga."Nyari Agas?" tanya ibu Agas seperti biasa menebak isi pikiran Nara."Iya, tante. Tadi malam kayaknya nginep juga," jawab Nara terus terang meski bisa dibilang tadi malam itu su
Nara melihat kedatangan perempuan yang sama dengan yang pernah dia lihat di kafe waktu itu. Memasuki ruangan Agas tiba-tiba dan langsung meneriaki CEO perusahaan ini. Padahal hampir semua pegawai di kantor ini selalu segan pada Agas."Kenapa kamu membekukan semua ATM aku? Kamu tahu enggak sih? Aku ini lagi belanja tas branded terus pas mau bayar malah gak bisa. Kan malu banget," ucap perempuan itu memulai omelannya pada Agas.Namun Agas hanya diam saja, hanya saja Nara melihat ekspresinya dingin pada perempuan itu."Jangan diem aja dong, Mas. Pokoknya batalin pembekuan ATM aku."Nara seperti terpaku di tempat, untuk sesaat dia tidak bisa bereaksi lebih cepat. Namun akhirnya dia merasa tidak terlalu tepatnya kalau masih berada di sini dan mendengarkan hal ini.Nara pun diam-diam menggerakkan troli dengan sangat hati karena tidak mau menarik perhatian.Pelan-pelan tapi pasti dia akhirnya bisa keluar dari sana. Kemudian bertatap muka dengan Pak Aldi yang memandangnya penuh makna."Mbak Na
Alis Nara terangkat sedikit, tampak sedang berpikir keras siapa yang sedang berbicara dengannya ini karena Nara tidak bisa mengingatnya. Meski begitu dia juga agak-agak familiar. Hanya saja tidak terlalu ingat."Hayo lupa ya?" ucap orang itu menebak dengan pasti apa yang sedang Nara pikirkan.Nara jadi tersenyum malu sambil garuk-garuk kepala tidak jelas. "Maaf ya, gue agak lupa.""Ternyata bener lupa. Gue ini Ervan, temen SMP lo. Bukannya kita sama-sama ikutan OSIS waktu itu, inget gak?" jawab orang itu.Nara berpikir sejenak lalu sekilas bayangan anak berkacamata yang sering kali bersama Agas saat SMP dulu."Oh iya, gue ingat. Yang sekelas sama Agas kan?" tanya Nara untuk memastikan."Akhirnya inget juga," kata Ervan. "Omong-omong lagi ngapain lo jongkok di sini tadi?""Ini gue lagi nyari mangga muda buat temen gue yang lagi ngidam. Katanya pengen makan rujak buah eh malah enggak ketemu-ketemu mangga mudanya. Padahal gue udah datengi lima supermarket. Pusing banget gue," ucap Nara y
Nara langsung panik begitu melihat papanya Lia yang membuka pintu."Om ....""Nara, ada apa? Kamu nyariin Lia?" tanya papanya Lia yang heran dengan kedatangan Nara di tengah malam begini."Iya Om. Nara tadi bilang mau nginep di rumah Mbak Lia. Tapi Nara ada urusan penting jadi kemaleman gini, Om," kata Nara yang tentu saja bohong."Oh begitu. Ya udah masuk kalau begitu." Nara menurut masuk setelah dipersilahkan oleh papanya Lia. Namun dia masih agak canggung dengan situasi ini."Kamu langsung aja masuk ke kamarnya Lia. Dia udah tidur," jelas papanya Lia."Udah tidur, Om?" kata Nara sedikit terkejut.Nara sedikit kecewa dengan itu. Padahal dia sudah berusaha keras mencari mangga muda kemana-mana sampai harus minta ke Agas, tapi setelah semua bahan lengkap, bumil yang mengidamnya malah tidur. Ya nasib."Kalau aku ke kamar Mbak Lia dulu ya Om," kata Nara pamit pada papanya Nara.Namun dia tidak benar-benar ke kamar Lia dulu. Melainkan mampir ke dapur untuk meletakkan bahan-bahan yang di
Nara dan Lia langsung memucat saat menyadari kehadiran papanya Lia. Rujak buah yang tadi terasa enak tiba-tiba menjadi hambar."Kenapa malah diam? Tidak ada yang mau menjawab?"Nara saling melempar pandangan dalam diam dengan Lia seolah-olah berdiskusi siapa yang akan menjawab pertanyaan papanya Lia tersebut."Aku yang hamil, Pa." Lia akhirnya yang menjawab.Tampak raut wajah papanya Lia berubah jadi lebih serius dan garang. Nara bisa melihat ada amarah di matanya tapi kemarahannya tidak meledak. Namun bagi Nara dan Lia itu terasa lebih menegangkan."Siapa pria yang menghamili kamu? Adam?" tanya papanya Lia dengan suara seperti desisan.Lia tidak menjawabnya kali ini. Hanya menundukkan kepala tidak berani menatap langsung mata papanya."Papa tanya sekali lagi siapa yang sudah menghamili kamu? Pacar kamu Adam?" tanya papanya Lia dengan ekspresi lebih serius.Lia sampai tidak berani terus-terusan bungkam. "Iya Pa. Ini anaknya Adam.""Kalau begitu minta dia ke sini sekarang juga," perint
Lia tampak tercengang dengan ucapan papanya yang sangat cepat membawa kembali seorang laki-laki yang akan dijadikan calon suaminya.Sementara Nara juga sangat terkejut karena laki-laki yang dibawa oleh Om Rizal itu tidak lain adalah Pak Aldi, sekertaris dari Agas di kantor.Dunia benar-benar terasa sempit."Maksud papa itu apa?" tanya Lia kewalahan. Padahal baru beberapa jam lalu dia panik karena ketahuan hamil oleh papanya ditambah disuruh menikah dengan pria pilihan papanya. Sekarang papanya kembali memberi kejutan pada Lia karena begitu cepatnya sang papa membawa pria yang katanya akan jadi 'calon suaminya'.Di satu sisi Nara bisa menebak apa arah pembicaraan mereka selanjutnya. Dia merasa tidak pantas baginya menyaksikan masalah keluarga orang lain meski ini sahabatnya sendiri. Buru-buru Nara berpamitan pada Om Rizal dan Pak Aldi. Dia bahkan sampai mengabaikan tatapan memohon Lia. Untungnya Om Rizal langsung menyetujuinya.Nara segera berjalan pergi meninggalkan mereka bertiga y
Nara menghela napas lega karena dia tidak mendarat ke tanah. Namun dia segera menjadi canggung dengan posisi mereka yang ambigu begini."Pak Agas, tolong turunkan saya," ucap Nara dengan suara malu.Agas tidak menjawab namun menuruti permintaan Nara. "Makasih udah nolongin," ucap Nara.Agas hanya tersenyum dan berkata, "Santai aja." Bima yang tadi berada di sisi yang jauh dari mereka kini telah sampai di depan mereka dengan wajah cemberut."Tante curang nih, masa ngumpetnya di atas pohon." Bima langsung mengeluarkan keluhannya pada Nara.Seperti tertangkap basah, Nara hanya bisa tersenyum malu. "Ayo sudahi permainannya. Bi Yanti sudah selesai masak. Kita makan dulu," kata Agas menyelamatkan Nara dari rasa malu.Namun Nara sendiri merasa segan kalau harus makan di tempat Agas sehingga dia langsung menolaknya. "Gak usah, Gas. Saya mau langsung pulang aja.""Jangan dong tante. Makan sama Bima dulu ya," pinta Bima dengan tatapan penuh harap.Lagi-lagi Nara tidak bisa menolak tatapan it
Nara mengakhiri kegiatannya saat ini dan buru-buru ingin pergi menemui Lia. Untungnya Agas tidak mempermasalahkannya dan bahkan sampai mengantar Nara ke rumah sakit."Mbak Lia kenapa—" Setelah berlari ke ruangan tempat Lia dirawat, Nara baru membuka pintu dan hendak memasuki bangsal. Tapi ucapannya terhenti saat dia melihat kehadiran orang yang tidak dia harapkan."Kenapa Mas Adam ada di sini?" tanya Nara dengan nada dingin sambil melirik perempuan di belakang Adam yang notabene selingkuhannya.Adam tidak menjawabnya. Raut wajahnya tampak muram. Ada ketegangan yang sangat terasa di ruangan ini. Selain kehadiran dua orang tidak diinginkan. Nara juga melihat ada Pak Aldi di samping Lia.Nara berjalan maju mendekat kepada Lia. "Mbak Lia, kenapa bisa sampai seperti ini?""Nara tolong bantu mbak usir dua orang tidak tahu malu ini," ucap Lia dengan ekspresi datar tanpa melihat ke arah orang yang dia maksud.Namun Nara mengerti siapa yang Lia maksud. Karena itu dia menoleh ke arah Adam dan