Tiba-tiba Agas menyodorkan sebotol minuman mineral pada Nara.
"Eh?" Nara jadi terbengong-bengong. "Maksudnya apa ini, Pak?"
"Minum dulu nih. Siapa tahu kamu kurang fokus karena kurang minum air putih," jelas Agas.
Sekarang Nara baru mengerti maksud Agas. Untuk kesekian kalinya, Agas kembali menyaksikan tingkah konyol Nara yang terus-terusan membuat dirinya sendiri malu.
"Saya balik kerja dulu, Pak. Permisi!"
Kali ini Nara benar-benar keluar dengan cepat karena tidak tahan terus berada di sana. Dia takut wajahnya benar-benar terbakar karena merasa malu.
Baru setelah menutup pintu dan berada di luar ruangan Agas, dia akhirnya bisa bernapas lega.
"Aduh, Naraaaa ... Sampai kapan lu terus-terusan bikin malu diri sendiri?" Nara mendesah lelah.
Tanpa disadari ucapan Nara didengar oleh Pak Aldi yang sudah berada di depannya sambil membawa berkas untuk dibawa masuk ke ruangan Agas.
"Kenapa Mbak Nara?" tanya Pak Aldi.
Nara terkejut dengan kehadiran Pak Aldi. Buru-buru menjawab, "Gak ada apa-apa, Pak Aldi. Silahkan kalau mau masuk."
Nara memberi jalan kepada Pak Aldi lalu dia sendiri berjalan kembali ke arah lift. Meninggalkan Pak Aldi yang terheran-heran sampai berkata dengan suara kecil, "Aneh."
~~~
"Mbak Lia, maaf lama ya nunggunya," ujar Nara pada sahabatnya yang memang dua tahun lebih tua darinya sehingga Nara biasa memanggilnya 'Mbak Lia'.
"Gak masalah. Saya juga baru sampai," balas Lia dengan santai.
Mereka kemudian memesan makanan lalu mulai mengobrol.
"Jadi ada apa? Katanya kamu mau curhat," tanya Lia.
"Kayaknya aku suka sama seseorang, Mbak." Nara berkata terus terang.
Lia langsung terkejut mendengar penuturan Nara. "Maksudnya, gimana? Coba ceritakan."
"Iya Mbak. Kayaknya aku suka sama seseorang," lanjut Nara. "Aku selalu deg-degan kalau deket sama dia terus bawaannya grogi gitu. Akhirnya malah terusan lakuin hal-hal konyol saking gugupnya."
"Siapa dia?" tanya Lia antusias. Tampaknya sangat penasaran dengan orang yang mampu membuat Nara jatuh hati.
"Atasan aku di kantor, Mbak. Sekaligus teman se-angkatanku dulu waktu SMP."
Tampak Lia cukup terkejut dengan jawaban Nara. "Dulu sempet suka juga?"
"Iya."
"Berarti CLBK dong?" cetus Lia.
Nara membalasnya dengan muram. "CLBK kalau sama-sama suka sih enak. Tapi kalau yang sananya gak suka? Mana enak? Yang ada jadi cinta bertepuk sebelah tangan."
"Yaelah, masa sudah pesimis dulu sih. Perjuangin dulu dong," ujar Lia menyemangati.
"Tapi kelas kita kan beda, Mbak. Dia itu seorang CEO perusahaan ternama. Sedangkan aku? Cuma karyawan kecil di perusahaannya," jawab Nara sama sekali tidak semangat.
"Nara ...," ucap Lia dengan ekspresi serius. Saking seriusnya sampai membuat Nara ikutan serius.
"Iya Mbak?"
"Masa depan itu misteri. Tidak ada yang tahu sampai kita benar-benar mengalaminya. Jadi siapa tahu kan kamu bisa jodoh sama dia?" ungkap Lia dengan tatapan yang membuat Nara seperti tersihir.
Dia jadi merasa melihat harapan. Benar apa yang dikatakan Lia, apa yang terjadi di masa depan itu tidak bisa ditebak. Lagipula tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau mencobannya. Pasti akan ada jalannya.
"Jadi ayo semangat!" ucap Lia sambil tersenyum.
Nara turut tersenyum dan merasakan semangat Lia tersalurkan kepadanya. "Terima kasih, Mbak Lia."
~~~
Setelah curhatan singkat yang mengharukan itu. Keduanya pergi bersenang-senang di area mall tempat mereka bertemu. Seperti perempuan pada umumnya, Nara dan Lia juga suka belanja-belanja.
Mereka memutari deretan toko-toko di mall untuk melihat-lihat apa ada barang yang mereka sukai dan sesuai dengan kantong mereka.
Saat keduanya berjalan melewati toko pakaian bermerek internasional. Mata Nara tidak sengaja melihat sesuatu yang membuat suasana hati Nara jadi turun drastis.
Lia yang menyadari perubahan Nara segera bertanya, "Ada apa Nara?"
Nara menggeleng-gelengkan kepala sambil mengalihkan perhatiannya dari sesuatu yang membuatnya sedih.
"Ada apa sih?" Lia yang penasaran mencoba mencari apa yang menyebabkan Nara bersedih tetapi dia tidak dapat menemukannya.
"Gak apa-apa, Mbak. Ayo kita lanjut ke tempat lain."
Nara buru-buru menarik Lia pergi dari sana tanpa menjelaskan apapun pada Lia.
°•• Bersambung ••°
"Harusnya aku sadar diri," batin Nara dengan sedih. Pasalnya, dia baru saja menyaksikan Agas berduaan lagi dengan perempuan yang pernah Nara lihat di kafe sebelumnya."Dari penampilannya aja, bisa dilihat kalau dia itu dari keluarga kaya," gumam Nara pelan sekali yang didengar samar oleh Lia, sahabatnya."Ada apa sih? Kok kamu aneh banget dari tadi?" tanya Lia yang masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan Nara."Gak ada apa-apa," jawab Nara singkat.Lia tentu tidak percaya pada perkataan Nara namun ekspresi suram di wajah sahabatnya itu, akhirnya Lia memilih untuk memberi Nara waktu."Apa jangan-jangan tadi kamu lihat gebetanmu sama cewek lain?" celetuk Lia asa.Namun justru membuat Nara bereaksi. Tampak matanya melebar karena terkejut dengan celetukan Lia yang tepat pada sasaran."Ah, bener begitu ya?" ujar Lia yang tidak menyangka kalau tebakannya ternyata benar. "Cantik gak ceweknya?" Nara sontak cemberut dengan pertanyaan Lia yang membuatnya makin down. "Cantik banget. Cantik
"Siapa?" ujar Nara pelan sekali saat melihat perempuan hamil itu.Pikirannya mulai menebak-nebak dengan perasaan was-was. Siapa perempuan itu? Apakah istri Agas? Tapi bukannya waktu itu Agas berkencan buta dengan perempuan lain?"Sudah ditungguin dari tadi terus kok gak bawa apa-apa?" kata bumil itu tampak kesal dengan Agas."Loh bukannya tadi kamu yang nyuruh saya masak. Jadi saya gak bawa makanan dong," jawab Agas yang semakin membuat perempuan itu kesal."Maksudnya bahan masakannya Agas," tandas perempuan itu.Agas tampak terpaku. Rupanya dia baru sadar kalau di dapur apartemennya ini tidak pernah diisi bahan masakan karena memang Agas jarang datang ke sini."Nah loh? Baru sadar kan?" sindir perempuan itu, "Ini dedek bayiku udah kelaperan eh malah suruh nunggu lagi.""Salah sendiri kenapa gak makan yang gampang-gampang aja. Apa susahnya sih pesen makanan?" balas Agas yang ikutan jengkel dengan omelan perempuan itu."Ini aku kan lagi ngidam, Gas. Nanti kalau bayiku lahir ileran gima
"Enak banget Gas. Gak nyangka ternyata kamu pinter banget masak ya," ungkap Tasya yang tampak sangat menikmati masakan Agas.Nara mengangguk-angguk setuju. "Iya Pak. Ini benaran enak banget.""Syukurlah kalau suka. Jadi masakan saya tidak dibuang," ucap Agas sambil tersenyum lega.Nara yang melihat senyum itu tampak terpesona. Dia masih benar-benar takjud karena sosok Agas yang biasanya hanya berekspresi datar, ternyata bisa tersenyum juga. Meski ini bukan pertama kalinya Nara melihat senyuman Agas tetapi tdak menghentikannya untuk merasa kagum."Sering-sering aja masak deh Gas. Sayang kalau bakatmu ini tidak digunakan.""Emang kamu pikir saya bukan orang sibuk?" ujar Agas menanggapi perkataan Tasya."Eh, iya juga. Kamu itu kan Pak Ceo terkenal," timpal Tasya dengan nada mengejek."Minta dimasakin suami sendiri aja sana. Heran banget. Biasanya orang ngidam, yang repot itu suaminya kenapa giliranmu saya yang direpotin?" gerutu Agas meski begitu dia tidak memasang ekspresi kesal."Salah
Nara sampai mengucek kedua matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya namun tetap tidak berubah."Beneran Mas Adam ternyata," ucap Nara tidak percaya. "Kok bisa-bisanya dia selingkuh dari Mbak Lia?"Mata Nara terus mengikuti pergerakan seorang pria yang Nara sebut sebagai 'Mas Adam' sedang bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang berpakaian kurang bahan.Dia terus mengikuti dua orang yang sedang berselingkuh itu dari jauh sambil sesekali merekam dan mengambil foto mereka untuk dijadikan bukti saat dia melaporkan hal ini pada Lia.Nara mengikuti mereka sampai tiba ke apartemen yang sangat Nara kenali. Siapa lagi kalau bukan apartemen sahabat Nara, Lia."Bener-bener keterlaluan Mas Adam," ujar Nara dengan kesal.Pasalnya Adam ini membawa perempuan lain ke tempat tinggal milik Lia. Meski tidak sering ditinggali karena Lia lebih sering tinggal di rumah orangtuanya untuk menemani sang ibu. Tetap saja apartemen ini milik Lia.Kemudian yang terjadi selanjutnya, Nara dibuat terngan
"Maksudnya gimana, Pak?" tanya Nara tidak mengerti dengan perkataan Agas."Saya denger dari obrolan karyawan katanya dia ngasih kamu hadiah.""Hadiah? Kapan?" Nara bertanya balik karena dia tidak merasa pernah mendapatkan hadiah dari Pak Aldi.Tunggu dulu."Maksud bapak, hadiah yang diberikan Pak Aldi itu? Bukannya itu titipan dari Pak Agas sendiri?" jawab Nara apa adanya."Dari saya?" Agas tampak tercengang namun segera sadar. "Maksudnya itu hadiah yang saya titipkan ke Aldi untuk kamu?"Nara mengangguk mengiyakan."Ternyata begitu," ucap Agas dengan canggung. "Saya salah sangka.""Memangnya dari siapa Pak Agas denger gosip seperti itu?" tanya Nara penasaran karena selama ini dia sama sekali tidak mendengar gosip itu."Ada di suatu tempat. Saya minta maaf karena salah sangka," ujar Agas dengan malu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Nara dengan santai. "Tapi Pak.""Ya?" Agas memandang Nara seakan menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan."Saya enggak nyangka ternyata bapak juga suka go
"Nara, kayaknya sudah waktunya aku lahiran deh," jelas Tasya dari dalam bilik."Lahiran?" Kepala Nara seakan berdengung ketika mendengarnya. Dia sontak jadi panik sendiri. "Mbak, buka pintunya dulu."Saat pintu telah terbuka, tampak Tasya sedang terduduk di closet dengan wajah pucat."Ayo mbak, kita ke rumah sakit."Nara dengan hati-hati memapah Tasya keluar dari toilet. Sepanjang jalan Nara berusaha menenangkan Tasya yang tampak merasa takut.Saat tiba di tempat parkir, mereka bertemu dengan sopir Tasya yang menghampiri mereka setelah melihat majikannya dipapah."Pak, saya mau melahirkan. Tolong anterin ke rumah sakit." Tasya berkata sambil menahan rasa sakit."Baik, Bu. Mari saya bantu," ucap pak sopir sambil ikut membantu Nara memapah Tasya."Kamu ikut ya, Nara. Temenin saya," pinta Tasya sambil menggenggam lengan Nara dengan erat."Iya, Mbak. Nara ikut kok," ujar Nara langsung menyetujuinya karena Nara pun merasa tidak tenang kalau tidak menemani Tasya.Mobil melaju dengan cepat m
Alis Agas terangkat saat Nara bertanya seperti itu. "Saya Agas. Masa kamu tidak ingat wajah saya?" tanya Agas dengan bingung "Oh ternyata Pak Agas. Pantesan suaranya kayak familiar gitu," ujar Nara setelah mengetahui identitas orang yang sedang berada di sampingnya. "Habisnya kenapa bapak pake masker?" Rupanya Agas baru sadar kalau dirinya sedang memakai masker. Dia segera melepaskannya. "Tadi saya habis tinjau proyek di daerah yang berdebu. Jadi saya langsung ke sini pas denger kabar kalau Mbak Tasya melahirkan," jelas Agas "Oh begitu. Tapi kenapa saya bisa ada di sini, Pak?" tanya Nara heran. "Memangnya kamu enggak inget?" tanya Agas yang kemudian dibalas dengan gelengan kepala oleh Nara. "Pas saya baru nyampe depan pintu ruang bersalin, kamu pingsan. Katanya mungkin kamu shock," jelas Agas perlahan. "Kamu gak kenapa-napa?" "Enggak Pak. Sepertinya saya agak terkejut aja lihat proses lahiran Mbak Tasya," jawab Nara seadanya. "Saya berterima kasih sama kamu karena sudah memba
"Kecelakaan?"Nara tercengang mendapat kabar buruk itu. Mama Lia itu sudah seperti ibunya sendiri. Setiap kali bertemu, Nara diperlakukan seolah Nara itu anaknya sendiri sehingga Nara yang mana ibu kandungnya sendiri telah meninggal dapat merasakan kasih sayang seorang ibu dari Mamanya Lia ini."Datang ke RS Permata," kata Lia sebelum akhirnya memutuskan kontak secara sepihak.Nara tidak berniat untuk menunggu bus lagi. Dia berjalan ke arah pangkalan ojek yang berjarak lima menit dari tempat Nara berdiri sekarang."Pak, antarkan saya ke Rumah Sakit Permata," ucap Nara pada salah satu ojek di sana.Kemudian Nara diantarkan menuju RS Permata dengan cepat. Bisa dibilang lebih cepat daripada ketika Nara naik bus."Mbak, saya mau tanya ruangan pasien kecelakaan atas nama Maharani ada di mana ya?" tanya Nara pada pegawai bagian pendaftaran di rumah sakit tersebut."Ruang ICU 3 lantai 4 ya, Mbak." Nara tersentak mendengar jawaban tersebut. Hatinya semakin takut pada kondisi dari Tante Mahar