Sudah seminggu Ervan pergi dan tak pulang ke rumah. Tak ada kabar apapun dari Ervan. Hal itu membuat Gea sedikit cemas dibalut rasa curiga. Mungkinkah suaminya memiliki selingkuhan lain di luar sana? Pikir Gea.
Gea terus mondar mandir di kamarnya. Sesekali menatap layar ponsel dan tidak ada notifikasi apapun. Untunglah keluarga Ervan maupun keluarganya sendiri jarang berkunjung ke rumah. Jadi, Gea tidak perlu pusing memikirkan alasan lain untuk berbohong."Aku telpon aja kali ya," gumam Gea sambil berpikir.Ibu jari ingin menyentuh nomor ponsel sang suami di daftar riwayat panggilan terakhir. Tapi setelah beberapa saat, niat itu diurungkan."Ck! Males ah. Entar gue diomelin lagi. Terus dibilang pengganggu," cerocos Gea. "Dia juga nggak peduli sama gue. Bini lagi hamil malah ditinggal. Dikira dia tuh hamil enak. Huh! Dasar cowok! Mau enaknya aja."Baru saja Gea berhenti mengoceh, tiba-tiba dari arah depan, terdengaLastri masih diam. Menunggu jawaban dari Gea. Sedangkan Gea masih diam menunduk sambil menangis. Ia bingung sekaligus takut. Takut Lastri pingsan dan sakit. Gea tidak siap dengan semua resiko itu.Lastri yang bosan, lantas berkata tegas, "Jawab sekarang atau kamu nggak Mama anggap sebagai anak lagi!"Seketika kepala Gea terangkat untuk menatap Lastri. "Jangan gitu dong, Ma. Aku mohon, kasih waktu buat jelasin ini semua. Kalau sekarang aku belum siap," ucapnya lirih."Nggak. Kamu harus jelasin sekarang."Dengan berat hati, Gea mulai menceritakan awal mula kenapa perjanjian itu dibuat. Gea bercerita sambil menangis. Entah berapa lembar tisu yang ia pakai untuk menghapus air mata dan ingusnya.Sedangkan Lastri mencoba mengendalikan diri agar tidak emosi setelah mendengar semua kejujuran Gea. Terbongkar sudah kebohongan putrinya. Ternyata dugaan awalnya benar. Gea sedang hamil dan pria yang menghamilinya adalah Ervan.
Keesokan harinya, Gea yang sibuk masak di dapur terkejut saat mendengar suara ketukan pintu yang sangat kasar dan berulang. Gea menoleh ke lantai dua. Mendadak ia takut Ervan akan terbangun dari tidurnya karena baru saja pulang ke rumah pagi ini.Gea menghentikan aktivitas dan bergegas ke depan. Membuka pintu itu dengan cepat untuk memaki si pembuat onar di pagi hari."Ya Allah, Mbak. Bisa nggak sih sopan dikit kalau ke rumah orang?" ucap Gea kesal setelah tahu siapa yang datang."Nggak usah sok nasehatin kamu! Mana Mas Ervan! Dia harus tanggung jawab sama penderitaan aku! Kalau nggak, aku bakal sebarin aib dia ke semua media! Biar sekalian perusahaannya bangkrut!" teriak Intan emosi.Gea memejamkan mata sejenak sambil menghembus napas pelan. Menghadapi Intan lama-lama membuat tubuhnya lemas. Apalagi ia belum sarapan apa-apa pagi ini."Mbak, saya nggak tahu masalah Mbak sama Mas Ervan apa. Tapi tolong, jangan buat
Empat bulan kemudian, kehamilan Gea semakin membesar. Pagi ini, ia berniat memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. Gea sudah ada janji dengan salah satu dokter kandungan yang merupakan teman semasa SMA dulu, Fredy Ariansyah.Gea memasuki area rumah sakit dan langsung berjalan menuju poli kandungan. Saat tiba di sana, beberapa pasien sudah menunggu di depan ruangan. Untunglah Gea sudah membuat janji terlebih dulu. Hingga dirinya mendapat nomor urut dua.Setelah menunggu beberapa saat, kini giliran nama Gea yang dipanggil oleh salah satu asisten Fredy. Gea bergegas masuk dan tersenyum pada pria tampan di depannya."Pagi, Dok," sapa Gea.Fredy terkekeh sejenak sambil mengusap tengkuk lehernya. "Pagi juga. Nggak usah formal banget, Ge. Kita kan udah saling kenal," ujarnya."Ya nggak apa-apa dong. Menyesuaikan kondisi dan lokasi," ucap Gea sedikit berbisik.Tawa Fredy pecah sambil geleng kepala. Kebiasa
"Gimana kondisinya, Dok?"Dokter Ardi yang memeriksa kondisi Gea saat ini pun tersenyum. Ia menjawab, "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Cuma demam sama flu biasa. Nanti saya kasih resepnya ya dan minum sesuai anjuran. Soalnya dia lagi hamil.""Baik, Dok."Dokter Ardi memberikan resep obat yang sudah ditulis kepada Ervan. Setelah itu, Dokter Ardi pamit dan Ervan mengantarnya sampai ke pintu depan.Ervan kembali ke kamar untuk memeriksa keadaan Gea. Kemudian, bergegas pergi untuk menebus resep di apotek dekat rumah. Untungnya apotek itu buka selama 24 jam. Jadi, Ervan tidak perlu repot pergi jauh.Beberapa menit kemudian, Ervan sudah sampai di rumah dan langsung menemui Gea di kamar."Ge, ayo makan dulu," ucap Ervan. "Kamu belum makan, kan?"Gea hanya menggeleng pelan. Tubuhnya terasa sakit semua. Kepalanya juga masih pusing dan berat. Tidak sanggup untuk duduk."Aku udah
Selesai sarapan, Ervan berinisiatif mencuci piring bekas mereka makan. Sementara Gea hanya duduk saja sambil memperhatikan. Mereka tak banyak bicara sejak tadi. Ada rasa canggung di dalam hati masing-masing.Ervan pun selesai dengan tugasnya dan mengambil ponsel yang baru saja berdering di saku celana. Ternyata itu panggilan telepon dari Bagus."Halo, Pa.""Halo, Van. Kamu di rumah, kan?" tanya Bagus dengan suara yang terdengar cemas.Ervan duduk berhadapan dengan Gea, lalu menjawab, "Iya, Pa. Kenapa?""Ck! Ada masalah di kantor gara-gara ulah kamu. Beberapa saham ditarik sama pihak investor. Kita butuh bantuan dana dari investor lain. Kalau nggak ketemu juga, perusahaan terancam gulung tikar. Kamu juga sempat pakai uang perusahaan, kan? Sekarang, kamu harus tanggung jawab," ucap Bagus di seberang sana.Ervan menghembuskan napas panjang. Ia memijat pelipisnya yang terasa sakit. "Iya, Pa. Nanti aku us
Setibanya di kantor, Herman yang bertugas menangani kasus Ervan pun menunjukkan beberapa bukti pada Ervan. Bukti itu didapatkan dari salah satu penyidik kepolisian. Salah satunya bukti rekaman cctv bar.Herman memutar rekaman cctv itu di depan Ervan. Saat melihatnya, Ervan tidak terkejut. Karena sebelumnya, ia sudah menduga kalau pelaku yang merekam kebiasaannya itu adalah Fahri. Tak bisa dipungkiri lagi karena Ervan selalu pergi ke bar bersama Fahri, bukan dengan Wahyu atau yang lainnya.'Tapi, ada hubungan apa Fahri sama Intan? Kok bisa Fahri ngerekam gue, terus dikasih ke Intan? Kan Fahri temen kampus gue. Sedangkan Intan … mantan gue waktu SMA. Kok bisa mereka saling kenal? Atau jangan-jangan …?' batin Ervan mulai terusik.Kali ini, Ervan penasaran dengan hubungan Fahri dan Intan. Haruskah ia menyelidikinya sendiri? Atau … meminta bantuan Herman lagi?"Gimana, Pak Ervan? Hasil penyidikan ini mau diproses atau nggak?" tanya
Ting!Ponsel Ervan berdenting saat dirinya sedang menandatangani sebuah berkas. Ervan menoleh ke arah ponsel yang ia letakkan di samping tangan kanannya.Satu notifikasi dari … Gea.Kedua mata Ervan langsung melebar. Untuk pertama kalinya ia mendapatkan notifikasi dari sang istri. Ervan tersenyum tipis.Diraihnya ponsel itu dan membacanya.[Mas, tadi cctv udah dipasang. Terus, penjaga yang Mas suruh juga udah datang.]Ervan mengetik sebuah balasan sambil tetap tersenyum. Merasa bangga orang suruhannya selalu datang tepat waktu.[Oke. Kalau ada sesuatu yang aneh, langsung pantau dari cctv. Jangan lupa kabari aku.]Tak berapa lama, ada balasan masuk dari Gea.[Iya, Mas. Tapi, apa nggak terlalu berlebihan? Oh iya, kamu juga pakai pesan kopi di kafe segala lagi. Kan aku bisa buatin kopi untuk mereka. Buang-buang uang, Mas.]Ervan tercenung sesaat. I
Dua hari kemudian, Ervan tak sengaja bertemu dengan Intan di salah satu kafe. Kebetulan Ervan baru saja mengadakan pertemuan dengan salah satu klien yang datang dari Singapura. Ervan menyempatkan waktu untuk bertemu kliennya di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari lokasi kantor.Setelah klien tersebut pergi, Ervan memandang ke arah lain, dimana Intan berada. Wanita itu yang terlebih dulu memanggil namanya."Mas Ervan."Ervan menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Tatapan sinis Ervan tunjukkan agar Intan tahu, betapa marahnya ia karena ulah kurang ajar Intan dan Fahri."Mas," panggil Intan sekali lagi."Mau apa kamu kesini?" tanya Ervan dengan ucapan tidak ramah sama sekali."Aku mau ketemu sama Mas Ervan. Aku mau jelasin kalau aku itu ….""Kalau kamu itu memang cewek sialan," lanjut Ervan, memotong ucapan Intan.Intan langsung melotot tidak suka. "Aku kan