Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.
Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.
Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk.
"Masuk saja, tidak dikunci."
Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.
Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana.
"Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
"Ayana, ketiakku belum diolesi deodoran!""Ayana, celana dalamku belum disetrika.""Ayana, punggungku gatal.""Ayana, aku ingin pup!"Ayana, Ayana, Ayana. Tiada hari tanpa memanggil gadis bernama lengkap Puteri Ayana. Hanya hal-hal kecil, tapi Daniel tidak bisa melakukannya sendiri.Ayana rasanya ingin gila atau melemparkan dirinya di kolam penuh buaya. Kenapa ia harus terjebak dengan lelaki ganteng tapi mageran seperti Daniel Hamilton?Hidup Ayana benar-benar didedikasikan hanya untuk CEO itu. Iya, Daniel adalah seorang CEO di sebuah perusahaan game. Tapi anehnya, apakah ada CEO yang hanya dengan rebahan di kasur lalu kekayaannya terus bertambah? Tidak seperti dirinya yang sudah bertahun-tahun bekerja pada Daniel tapi nasibnya tidak berubah-ubah.Jangankan untuk melihat matahari cerah di pagi hari atau senja di sore hari. Bahkan untuk menghirup
Daniel menyukai hidupnya; rebahan sembari mengemil pizza dan beberapa botol coca-cola yang melegakan tenggorokannya memang sangat pas menemani waktunya untuk mengontrol perusahaan gamenya melalui tablet berlogo apel kegigit. Sekali-kali tangannya berpindah ke stik playstation untuk memainkan game perang yang dibuat oleh tim di perusahaannya.Tentu saja, timnya hanya menjalankan ide game yang terbit dari otak Einsteinnya itu. Siapa yang mampu mengalahkan kecerdasaan seorang Daniel Hamilton? Ayana? Ckckck, yang benar saja, Bung? Ayana tidak sehebat itu. IQ jongkok!"Tuan Besar," panggil Ayana saat keluar dari pantri yang ada di kamar mewah milik majikannya.Bayangkan saja? Tapi jika tak sanggup, Ayana tidak menyarankan itu. Di kamar Daniel yang berukuran seperti lapangan futsal itu memiliki dapur ala orang sugih yang dihalangi sebuah tembok di mana
Daniel menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Ia bergerak seperti cacing kepanasan. Bukan, ia tidak sedang kesal atau melakukan senam yang sering dilakukan Ayana di dapur.Jadi, saat ia bangun tadi dari tidur tampannya. Senandung kecil dari Ayana yang tengah menghilangkan debu-debu yang menempel di kamarnya membuat ia merasa perempuan itu sedang mengejeknya.Maksudnya begini, Ayana seringkali mengatakan kepada Daniel bahwa hidup lelaki itu sangat membosankan, hanya rebahan di kasur dan tidak melakukan aktivitas apa-apa.Perkataan Ayana yang tidak penting itu malah menginvasi pikiran Daniel bahwa hidupnya memang sangat membosankan.Sekali lagi, ia sedang tidak kesal. Karena apa yang dikatakan Ayana mungkin ada benarnya. Tapi, tetap saja ia merasa Ayana itu sudah sangat tidak sopan men-judge dirinya yang notabenenya adalah seorang CEO tampan dan kaya raya. Harga dirinya seakan dicabik-cabik oleh asisten