Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.
Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.
Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.
Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
"Ayana, ketiakku belum diolesi deodoran!""Ayana, celana dalamku belum disetrika.""Ayana, punggungku gatal.""Ayana, aku ingin pup!"Ayana, Ayana, Ayana. Tiada hari tanpa memanggil gadis bernama lengkap Puteri Ayana. Hanya hal-hal kecil, tapi Daniel tidak bisa melakukannya sendiri.Ayana rasanya ingin gila atau melemparkan dirinya di kolam penuh buaya. Kenapa ia harus terjebak dengan lelaki ganteng tapi mageran seperti Daniel Hamilton?Hidup Ayana benar-benar didedikasikan hanya untuk CEO itu. Iya, Daniel adalah seorang CEO di sebuah perusahaan game. Tapi anehnya, apakah ada CEO yang hanya dengan rebahan di kasur lalu kekayaannya terus bertambah? Tidak seperti dirinya yang sudah bertahun-tahun bekerja pada Daniel tapi nasibnya tidak berubah-ubah.Jangankan untuk melihat matahari cerah di pagi hari atau senja di sore hari. Bahkan untuk menghirup
Daniel menyukai hidupnya; rebahan sembari mengemil pizza dan beberapa botol coca-cola yang melegakan tenggorokannya memang sangat pas menemani waktunya untuk mengontrol perusahaan gamenya melalui tablet berlogo apel kegigit. Sekali-kali tangannya berpindah ke stik playstation untuk memainkan game perang yang dibuat oleh tim di perusahaannya.Tentu saja, timnya hanya menjalankan ide game yang terbit dari otak Einsteinnya itu. Siapa yang mampu mengalahkan kecerdasaan seorang Daniel Hamilton? Ayana? Ckckck, yang benar saja, Bung? Ayana tidak sehebat itu. IQ jongkok!"Tuan Besar," panggil Ayana saat keluar dari pantri yang ada di kamar mewah milik majikannya.Bayangkan saja? Tapi jika tak sanggup, Ayana tidak menyarankan itu. Di kamar Daniel yang berukuran seperti lapangan futsal itu memiliki dapur ala orang sugih yang dihalangi sebuah tembok di mana
Daniel menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Ia bergerak seperti cacing kepanasan. Bukan, ia tidak sedang kesal atau melakukan senam yang sering dilakukan Ayana di dapur.Jadi, saat ia bangun tadi dari tidur tampannya. Senandung kecil dari Ayana yang tengah menghilangkan debu-debu yang menempel di kamarnya membuat ia merasa perempuan itu sedang mengejeknya.Maksudnya begini, Ayana seringkali mengatakan kepada Daniel bahwa hidup lelaki itu sangat membosankan, hanya rebahan di kasur dan tidak melakukan aktivitas apa-apa.Perkataan Ayana yang tidak penting itu malah menginvasi pikiran Daniel bahwa hidupnya memang sangat membosankan.Sekali lagi, ia sedang tidak kesal. Karena apa yang dikatakan Ayana mungkin ada benarnya. Tapi, tetap saja ia merasa Ayana itu sudah sangat tidak sopan men-judge dirinya yang notabenenya adalah seorang CEO tampan dan kaya raya. Harga dirinya seakan dicabik-cabik oleh asisten
Jika biasanya Daniel berpikir keras tentang mengembangkan ide-ide game untuk perusahaannya. Namun yang dipikirkan sekarang bukan itu, karena ia sedang mencoba menelaah nasehat yang diberikan ayahnya tadi pagi. Sebelum pria paruh baya itu berangkat menuju bandara, ia menghampiri Daniel terlebih dahulu meski anaknya itu masih dalam kondisi mengantuk berat."Daniel, Ayah pagi ini akan berangkat ke Paris," ucap Hamilton.Daniel hanya mengangguk sebagai tanda iya. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih, ini masih jam 5 belum waktunya ia terbangun dari tidur tampannya. Apalagi saat Ayana membangunkannya, sangat kasar dan tidak berperikeayanaan."Daniel Anakku. Anak Ayah yang paling Ayah sayangi. Kau tidak bisa terus menerus mengandalkan Ayana. Kau harus belajar untuk mandiri mulai sekarang. Bagaimana pun juga, jika Ayana menemukan seseorang yang akan menikahinya. Ia pasti akan berhenti bekerja dan ikut pada sua
Pagi-pagi sekali, Daniel sudah bangun. Hari ini ia akan mencoba untuk hidup tanpa bantuan Ayana. Setelah seharian kemarin merengek pada asistennya itu untuk menikah, pada akhirnya ia menyerah juga.Lagian Ayana itu songong banget nolak seorang CEO seperti dirinya. Perempuan yang tidak ada syukurnya sama sekali, apa coba kurangnya Daniel? Ganteng? Iya.Tajir? Uh, jangan dibilang. Baik hati? Tentu saja.Dasar memang Si Ayana pemikirannya dangkal. Tidak bisa membedakan mana berlian, mana perhiasan hadiah kerupuk.Maka dari itu, dengan tekad yang bulat. Daniel segera bangun untuk menuju kamar mandi. Sekitar lima menit, ia memandangi kakinya secara bergantian dengan sendal kamarnya. Pikirannya berkecamuk, apakah ia sanggup mengayunkan kaki ke kamar mandi yang mungkin jaraknya seperti ia mendaki gunung.Itu hanya tebakan Daniel saja, jangan, kan, mendaki gunung. Menggerakkan kaki saja ia sungguh mager.
“Ay, kau di mana? Kapan kita nikah?”Matilah Ayana kalau begini, di mana lagi ia harus bersembunyi demi menghindari kegilaan majikannya itu. Entah alasan apalagi yang harus ia katakan agar Daniel tidak terus mengajaknya menikah.“Ay....”Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ayana membuat jantungnya berdetak kencang. Namun, ia sedang berada di ruang bawah tanah. Tidak mungkin, kan, Daniel menyusulnya? Berjalan saja dua langkah lelaki itu sudah ngos-ngosan.“Ay, apa yang kau lakukan di situ?”Ayana hampir terjengkang ke belakang jika saja Daniel tidak memegang tangannya. Mata gadis itu membulat sempurna, benarkah yang dilihat di hadapannya kini adalah Tuan Besarnya? Tidak! Matanya pasti bermasalah.Demi meyakinkan dirinya jika apa yang dilihatnya itu tidak benar, Ayana segera berdiri dan mengucek-ngucek kedua matanya.“Tuan—“ Ayana mem