“Sepertinya, sudah waktunya.”
“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.
***Meyyis_GN***
Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”
“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”
“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.
“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
Suara desingan peluru terdengar memekakan telinga saat Tias dan beberapa rekan satu tim keluar dari dalam gedung. Satu kali, masih menyasar kejendela. Suara desingan yang kedua, hampir saja mengenai kepala Tias. “Awas!” Pria itu menarik tubuh Tias ke dalam pelukannya, dan membalik agar menjadi perisainya. Tias berkedip melihat rupa cowok itu. Garis wajah yang tegas dengan rahang yang kokoh tergambar jelas. Tias seperti melihat orang itu di suatu tempat. Tapi, di mana? Wanita itu terdiam dalam pelukan lelaki itu. Suara desingan peluru tidak berhenti juga. Masih dalam pelukannya, lelaki itu membawa tubuh Tias untuk berlindung di dalam gedung. Dia menarik tubuh wanita berseragam batik itu untuk menuju ke dalam gedung. Tanpa suara apapun, lelaki bermata coklat itu tetap memeluk Tias, meskipun sudah aman di dalam gedung. Lelaki itu melongok keluar, seolah memastikan sang penyerang sudah pergi atau belum. “Terima kasih.” Suara Tias terdengar, sehingga lelaki
Ilham membelalkkan matanya ketika melihat tubuh itu terkulai lemas. Lelaki itu adalah Ilham sang CEO baru Dia langsung mengangkat tubuh ringkih itu untuk di bawa keluar dari lift. Riuh suara petugas memberikan jalan pada Ilham untuk menyingkirkan orang-orang yang berkerumun. Jauh di gedung ke dua pemadam yang lain sedang berkutat memadamkan api akibat ledakkan. Seorang pria teridentifikasi melakukan bom bunuh diri. Baru dugaan sementara. Ilham tidak peduli. Dia lebih peduli dengan wanita di gendongannya itu. Ilham meletakkan tubuh ringkih itu di lobi depan. Orang-orang berkerumun. Ilham meraih minyak kayu putih yang disodorkan oleh seseorang. Masih dalam pelukannya lelaki itu mengusapkan minyak kayu putih ke berbagai anggota tubuh untuk membuat Tias terjaga. Tidak berapa lama,Tias membuka mata dan bingung. Mengapa berada di pelukan seorang lelaki.“Maaf ...” Tias melepaskan pelukannya. Dia menunduk dan terlihat salah tingkah. Ilham membiarkan suasana canggung itu
“Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan.” Ilham hanya mengangguk saja. Dia berbalik, kemudian masih memandang sekitar. Ilham melepas maskernya, untuk lebih menikmati suasana sekitar. Masa pandemi seperti ini, memakai masker menjadi keharusan. Segala yang ada pada Tias mengingatkan dirinya pada seorang remaja yang dia cari selama ini. Remaja putri bernama Divia yang dahulu selalu menarik perhatiannya. Remaja itu selalu mengendap-endap saat Ilham dan teman-temannya latihan bela diri. Anehnya perempuan itu bisa menyerap semua ilmu yang dia pelajari dari hasil mengintipnya itu.Setelah Ilham pergi, rumah ini selalu sepi tanpa penghuni. Setiap pulang kerja, hanya kehampaan terlihat tanpa adanya tawa yang menghiasi. Seorang wanita yang hanya bagai serpihan kaca yang retak seribu tanpa dapat disatukan lagi. Hatinya terkoyak dan menjerit. Mau protes, kepada siapa? Memang kesalahan ada pada diri wanita tersebut katanya. Wanita mandul itu yang selalu didengungkan o
Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.“Happy birthday ... happy ...” Suara seraknya tidak mampu dilanjutkan. Semua tercekat di tenggorokan dengan tangis yang makin mencair membebani benaknya. Ditiup lilin kemudian Dipotong kue bergambar bola tersebut. Warna coklat terlihat menarik, dia tidak suka coklat. Setelah dipotong, seolah memberikan kepada seseorang dan meletakkannya kembali. Sama seperti waktu kecil saat main.“Ini kue untukmu. Potongan pertama spesial untuk orang yang sepesial.” Tergugu
“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustrasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya gondok setengah mati. Bukan kali ini saja. Seminggu dia menggantikan CEO lama, sudah seperti neraka terasa suasana kantor. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah disamck down lelaki bertubuh jangkung itu.“Gampang saja. Sekarang naik!” Tias tetap bergeming. Dia tidak mau satu mobil hanya berdua dengan buaya darat menyebalkan itu. Bagaimana tidak, lelaki sarap itu selalu membuatnya fr emosi tingkat tinggi. Kalau dalam mobil berduaan selama setengah hari, bisa-bisa jantungnya Kolaps mendadak. Dia belum mau mati.“Kok bengong? Ayo!” Ajak Ilham sambil berbalik ke arah Tias, karena wanita itu hanya diam di tempat.“Bapak yakin, kita cuma berdua? Siapa yang nyetir?” tanya Tias sebaga
“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa? Tias hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.“Maksud, Bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menunduk karena takut. CEO yang baru itu sungguh terlalu killernya. Tidak tahu apa, kalau dia sedang patah hati karena suaminya tidak pulang semalaman. Duh, rasanya ingin menjambak rambutnya yang sangat tebal itu. Gedeg banget rasanya menghadapi spesies macam pak Ilham itu. Dia terdiam di kursi itu, dengan melirik blok name yang ada di meja itu. Ilham Sanjaya Sasmita. Tertulis dengan huruf kapital dan berbentuk balok seperti orangnya lempeng dan kotak seperti itu dalam pikirny
Tiba-tiba bannya kempis sehingga membuat mobil itu terasa oleng. Ilham menepikan mobilnya, kemudian turun memeriksa. Dia menghembuskan nafas kasar. Ternyata bannya kempes. Dia mengambil serep ban kemudian dengan tangan perkasanya mulai memutar pengait ban dan memulai menggantikan dengan yang baru. Baru akan mengganti, tiba-tiba ada tiga lelaki menghampiri mereka.“Tidak boleh parkir di sini. Semua ada aturannya. Kalian harus membayar.” Tias mengerutkan kening. Melihat dari gelagatnya,ada ketidakberesan pada mereka. Tias turun dari mobil, kemudian siaga jika ketiga lelaki itu akan berbuat semena-mana. Tangannya sudah gatal ingin memberi tanda perkenalan pada lelaki di depannya itu, yang sudah belagu.“Maaf, mas-mas. Kami ‘kan kempes bannya. Bukan karena ingin parkir. Kalau memang harus membayar, kami akan bayar.” Kawanan lelaki dengan baju warna hitam dan tato dimana-mana itu memandang mesum pada diri Tias. Seakan-akan Tias adalah mangsa em
Lelaki tua itu terlihat mengobati Ilham dengan berbagai alat yang Tias sendiri asing melihatnya. Yang pertama diliahat, lelaki itu menyedot dengan peralatan seperti pumping ASI untuk entah mengambil apanya, darah kehitaman keluar dari tubuh Ilham memenuhi pumping itu. Mungkin, menghisap racun yang masuk, demikian perkiraan Tias.p“Itu apa, Pak?” tanya Tias.“Ini adalah obat untuk pembekuan darah. Dia terkena racun bisa ular. Saya belum tahu, Neng ular apa. Tapi, akan kasih penawar dulu, untuk bisa bertahan hingga rumah sakit.” Lelaki tua itu menumbuk dedaunan untuk dibubuhkan ke lukanya Ilham. Hari sudah semakin sore. Akan tetapi, mau tidak mau dia harus melanjutkan perjalanan untuk mncari rumah sakit terdekat.“Pak, apakah ada bengkel terdekat?” tanya Tias.“Adanya bengkel motor, Neng. Kalau bengkel mobil tidak ada di daerah ini bahkan belum ada yang punya mobil kecuali pak lurah.” Wanita deng