Share

Diam-Diam Menguntit

“Jadi bagaimana,Ma? Whether to consider it?” Lagi-lagi Zahwa hanya tersenyum. Anak laki-lakinya itu memang sangat peka dengan kehidupan keras yang dia jalani.

“Kita bicarakan lain waktu, ya? Semua sudah Mama koreksi. Hurry to sleep!” Zahwa meminta putranya itu untuk tidur. Yang lebih tepat, dia lari dari pertanyaan dan permintaan putranya. Lari adalah cara terbaik dari pada melukai hati sang putra. Keano menarik napas lelah. Ibunya selalu menghindar jika sudah di tanya masalah menikah. Bocah laki-laki itu mengambil bukunya setengah sewot. Bukan hanya untuknya saja sebenarnya. Anak belia itu memikirkan ibunya yang harus pontang-panting mencari uang untuk kehidupan mereka.

Malam ini Zahwa tidak bisa tidur. Dia hanya bergulung-gulung saja di ranjangnya. Perkataan anaknya kali ini terdengar derius di benaknya. Anak laki-lakinya itu hampir tidak pernah mengusik apa pun yang berhubungan dengan ranah pribadinya. Tapi malam ini sang putra begitu gencar menyebut Arsan sebagai kandidat ayah. Zahra bangkit kemudian melihat ke arah jendela. Sudah tidak ada lagi hiruk-pikuk kendaraan di samping rumah yang merupakan jalan besar, walau bukan jalan raya.

Zahwa membuka jendelanya dan duduk di sana. Terdengar bunyi telepon miliknya. Itu adalah Arsan. Entah mengapa lelaki itu justru menambah rasa galaunya semakin menjadi. Zahwa mengangkat teleponnya.

“Hai, Cantik!” Hampir selalu Arsan menyapanya dengan kata-kata itu.

“Ada apa, Mas? Ini sudah malam.” Zahwa mengatakannya dengan suara lembut, tidak bermaksud untuk mengusir juga.

“Aku hanya mengingatmu saja. Selamat malam, mimpi indah,ya?” Zahwa tercenung. Lelaki itu selalu tidak terduga. Datang dan pergi tanpa dapat di cegah. Zahwa bangkit dan menutup kembali jendelanya. Dia mencuci mukanya kemudian berbaring di ranjang. Namun tidak dapat.

Melihat siapa yang akan menjadi direktur, membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Jika ada yang ingin dia hindari adalah keluarga Dawson. Ya, dia bekerja di perusahaan itu karena tahu jika perusahaan itu dipimpin bukan oleh Damian Dawson atau Andra Dawson. Dua orang yang paling bertanggung jawab pada kesengsaraannya. Zahwa bangkit dan mengumpulkan semua tabungannya. Dia bersiap-siap untuk kabur mana kala diperlukan. Dia membuka tabungannya satu per satu. Ada sekitar beberapa puluh juta. Ini cukup untuk hidup beberapa bulan di tempat yang asing. Dia dan Keano tergolong tidak neko-neko jadi berhemat sudah terbiasa bagi mereka.

Zahwa mengembalikan buku tabungan itu pada laci. Dia menutup laci itu kembali dan menguncinya. Setelah itu, berbaring telentang dengan kedua telapak tangannya yang dikaitkan menjadi tumpuan kepalanya. Matanya menerawang langit-langit rumahnya yang berpetak-petak dengan nuansa putih. Dia sudah susah payah lari dari kedua orang yang menjadi penyebab Keano lahir. Mengapa setelah sekian tahun merasa aman dan nyaman, harus bertemu kembali?

Malam panas itu kembali terbayang. Walau saat itu dalam pengaruh obat perangsang, dia masih dapat mengingat dengan jelas tangan kekar itu menjelajahi setiap inci tubuhnya. Dia memang merasakan seluruh tubuhnya bergetar saat menerima sentuhan itu. Kemudian, ah ... Zahwa tidak bisa melanjutkan lagi. Dia menutup wajahnya kemudian mengubah posisinya menjadi miring. Dia masih menutup wajahnya, kemudian meringkuk. Diraihnya bantal guling untuk dipeluk. Bantal guling itu seakan berubah menjadi tubuh Damian, sehingga Zahwa melempar guling itu.

“Ya Tuhan, enyahkan dia dari pikiranku. Aku mau tidur.” Zahwa tengkurap dan menjadikan kedua tangannya tertindih kepalanya, tepat pada bagian mata. Dia dapat terlelap.

“Ma, Ma ... sudah siang. Mama tidak ngantor?”  Suara Keano memutus mimpi Zahwa yang belum puas terlelap, masih merasa pusing.

“Ah, terima kasih sudah membangunkan mama.” Zahwa langsung bangkit dan menuju ke kamar mandi. Keano sendiri ke ruang makan dan mengoles beberapa lembar roti dan membuat susu untuk dirinya dan mamanya. Kemudian menunggu wanita yang sudah menjadi ayah dan ibunya itu sampai di meja makan.

“Pagi, maaf ya? Mama terlambat bangun. Ah, terima kasih sudah membuat sarapan.” Mereka makan bersama dengan lahap. Tidak ada obrolan pagi ini. Keduanya sama-sama terlihat buru-buru karena takut terlambat.

“Habiskan susumu, kita berangkat.” Zahwa mengangkat tas jinjingnya yang berisi laptop. Tidak lupa tas selempang kecil berisi dompet dan beberapa alat rias sederhana. Zahwa berjalan tergesa-gesa. Kali ini dia membawa mobil tidak seperti kemarin diantar oleh Arsan. Pagi ini, lelaki itu ada meeting kepindahannya ke kantor cabang. Hari ini terakhir dia berkantor di kantor yang sama dengan Zahwa.

“Semangat, ya? Mama kerja dulu.” Zahwa tersenyum kepada anaknya.

“Mama hati-hati nyetirnya.” Zahwa mengangguk kemudian melaju dengan mobilnya. Wanita itu agak terburu-buru, sehingga di belokan lampu merah menyenggol mobil mewah. Insiden kecil itu membuatnya bermasalah dengan sopir mobil itu.

“Maaf, Pak. Saya buru-buru. Ini kartu nama saya, silakan hubungi berapa kerugiannya.” Zahwa kembali masuk ke dalam mobil. Sopir itu juga masuk dan mengatakan kepada majikannya.

“Tuan Muda, wanita itu hanya meninggalkan kartu nama.” Damian tersenyum. Ya, Zahwa menabrak mobil Damian. Lelaki itu tersenyum ketika tahu bahwa yang menabraknya adalah karyawan di salah satu perusahaannya.

“Jalan lagi!” Damian hari ini memang akan ke salah satu perusahaannya. Entah apa yang membuat dirinya hari ini ingin menilik. Zahwa sudah sampai di tempat parkir kantornya. Hari ini sangat dramatis. Setelah kesiangan, ada insiden pula. Dia tidak sempat menilik bahwa yang ditabrak adalah mobil mewah. Yang ada dalam pikirannya akan keluar uang banyak karena insiden kecil itu.

“Heh! Pagi-pagi sudah lemes?” Ingrid sahabatnya menyenggol tangannya sehingga dia kaget.

“Lo kebiasaan, deh. Iya, pagi ini ihhh banget. Sudah bangun kesiangan, gue nabrak orang.” Ingrid membelalakakan matanya.

“Hah! Nabrak? Mati nggak orangnya?” Kebiasaan sahabatnya itu melebih-lebihkan segala yang didengarnya.

“Kalau dia mati, aku sudah ada di penjara sekarang. Hanya mobilnya yang tergores.” Inggrin membeo mendengarnya. Mereka sudah sampai di kubikelnya masing-masing. Inggrid juga masuk ke kubikelnya. Zahwa berkutat dengan seluruh pekerjaannya. Hingga makan siang tiba.

“Za, kamu itu selalu seperti ini. Sudah! Tinggalkan itu!” Arsan menarik tangan Zahwa dengan sedikit keras karena wanita itu memang sangat keterlaluan.

“Za, kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus makan tepat waktu. Sudah lupa dengan lambungmu saat terluka?” Arsan memarahi Zahwa sambil menyeret tangannya.

“Mas, lepaskan tanganku! Kau akan membuat gosip baru. Tidak mau ‘kan aku dibully lagi oleh semua penggemarmu karena kau menggandengku ke kantin?” Arsan melepaskan cekalannya dan mengembusan napas lelah.

“Kamu itu.” Ah, Arsan selalu dapat luluh saat Zahwa sudah berucap. Suaranya yang sayu dan lembut membuat hatinya menghangat. Seandainya dia mau menerima pinangannya, mungkin bahagia sudah menjadi miliknya.

“Yah, malah bengong?” Zahwa melewatinya dan Arsan menyusul di belakangnya. Dari kejauhan, seorang pria memperhatikan tingkah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status