Madu? Pertanyaan itu sontak membuat seisi ruangan itu sunyi. Karen sungguh tidak paham dengan perkataan itu, kenapa dia harus menjadi madu dari suaminya sendiri. Tetapi disisi lain, sulit baginya untuk pergi tanpa membawa Jones bersamanya.
“Madu? Ken–”
“Kau ini terlalu baik, tapi ibu akan mengizinkanmu asal kau tetap menjadikan Celin ratu di dalam maupun di luar rumah ini, dan jangan biarkan masalah itu menyebar sampai keluar!”
Jones mengangguk paham. “Kau bilang tidak ingin berpisah kan, jika kau mau menjadi maduku, aku akan membiarkanmu tetap tinggal.” Kata-kata yang begitu ringan saat diucapkan oleh seorang Jones. Kata 'maduku' menggenang di hatinya seperti air di dalam gelas yang tenang.
Karen yang tidak kunjung menjawab membuat kesabaran Jones semakin tipis, dia tidak punya banyak waktu untuk urusan wanita-wanita di rumahnya, dia harus segera kembali ke perusahaan dan menyelesaikan pekerjaannya.
“Ikut aku!” perintahnya pada Karen.
"Jones?"Karen meringis akibat cengkraman kuat dari tangan Jones. Dengan langkah yang begitu pelan Karen akhirnya menyusul masuk ke ruang kerja Suaminya, ruang yang menjadi saksi bisu tentang kehidupan bahagia mereka di rumah itu, tepat saat matanya menatap cermin jernih di dinding ruangan itu, dia semakin yakin bahwa kehidupannya sudah berubah seperti bayangannya sendiri.
Karen duduk di seberang meja sembari menatap gerak-gerik tenang suaminya. Tak bisa dipungkiri jika semuanya hanya terasa seperti mimpi buruk, dia ingin segera bangun dari tidurnya. Namun sangat disayangkan jika itu bukan mimpi melainkan kenyataan pahit, semuanya terlihat jelas dari darah di telapak tangannya sendiri.
Jones yang duduk tenang dengan sebuah kertas di atas mejanya menatap dingin Karen. “Pertama, jangan pernah mengaku-ngaku sebagai istriku. Jangan berkeliaran di luar dan menyebarkan gosip, jangan berani mendekati anakku dan ibunya, jangan menagih untuk tidur denganku karena aku akan melakukannya jika aku menginginkannya. Apa kau mengerti!” Bibir tajamnya mulai membuka luka batin Karen sedikit demi sedikit dengan kata-katanya.
Karen memandang kosong kertas yang memiliki perjanjian atas namanya itu, setiap baitnya mengantarkan pikirannya pada bayang-bayang kehidupannya di masa depan. Dia tahu betapa bodohnya dia, tetapi dia terlalu banyak mencintai pria di hadapannya ini. Krisis jati diri.
"Biarkan aku berpikir," pintanya terbata-bata. Karen masih tidak bisa melepaskan pria dihadapannya. Jika saja dia bisa hamil mungkin dirinya bisa memiliki keluarga utuh yang bahagia, sekalipun jika mereka bukan dari keluarga terpandang. Tangannya tak kunjung mendapatkan persetujuan dari otaknya untuk menandatangani kontrak itu.
Jones memeriksa jam tangan mahalnya dan memandang Karen yang hanya menatap kosong kontrak perjanjian mereka. Badan kurus dan putih Karen tampak menyusut di matanya. Diia dapat dengan jelas melihat noda darah di tangan Karen.
“Jika kamu melanggar peraturan atau kau tidak ingin melanjutkan ini maka kau harus menandatangani surat cerai ini!” Jones memberikan surat cerai yang sudah dicetak dengan rapi ke hadapan Karen.
Takut terhadap surat itu. Tanpa pikir panjang karen langsung menandatangani surat kontrak untuk dimadu suaminya sendiri. Setelah itu matanya yang sayu menangkap senyum tipis di wajah Jones, hatinya semakin jatuh ke dasar bumi.
"Bagus!" Jones menyimpan surat cerai itu di atas mejanya dan pergi keluar tanpa mengatakan apapun.
Mereka biasanya akan berpisah dengan ciuman manis di dahi Karen, namun hal itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang mustahil untuknya. Karen baru bisa keluar setelah beberapa lama dan melihat sebuah pemandangan yang hangat di bawah, di sana Ibu mertuanya masih bercakap-cakap manis dengan Celin.
'Hangat' itu hanya jika dia masih menjadi bagian disana, tetapi sekarang dia sudah melepaskan peranan itu dan memutuskan untuk menjadi pemeran sampingan. Entah dia bisa memerankan itu dengan baik atau justru malah merusaknya nanti.
Merasa masih kosong dan hampa, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang berukuran besar. Menghirup wangi parfum mereka yang tadi malam masih baik-baik saja dan masih tidur berdua dengan nyamannya di ranjang besar itu.
'Sial'
Bau-bau itu sekarang mulai menjadi beban untuknya, tidak ingin berlama-lama Karen melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Membanjiri badannya dengan air dingin, di dalam bathtub itu dia tertidur pulas sampai jari jemarinya berkerut karena dingin, lukanya memutih seolah meminta untuk dikelupas. Saat dia bangun, harinya sudah menjadi gelap, dia membuka pintu Kamar mandi dan kembali menerawang keseluruh kamar besarnya yang terasa kosong dan sunyi.
“Dia mungkin tidak akan pernah datang.”
Pakaian tebal yang dia pakai bahkan tidak dapat membuatnya merasa hangat, Karen tidak berani keluar dari kamar itu, dia hanya ingin bersembunyi dan tidur. Namun matanya menolak untuk itu, dia malah terjaga sepanjang malam dan terus memutar kembali kejadian hari itu.
'Sialan'
Karen kembali bangun dan mengganti seluruh perlengkapan tempat tidurnya dengan yang baru, membiarkan jendela terbuka lebar untuk mengusir bau di ruangan itu keluar. Merasa lega Karen kembali ke kasur tanpa menutup jendela.
Wanita seputih salju malang itu kembali menangis kencang di balik selimutnya, meremas tangannya kuat-kuat membagi rasa sakit di hatinya bersama tubuhnya sendiri, merasa tidak adil namun di sisi lain dia merasa pantas menerimanya, pantas sebab dia bukan wanita yang sempurna dan pantas untuk tidak dicintai oleh pria sempurna seperti Jones.
“Sial… Kenapa? Aku sangat-sangat menyayanginya, tawanya saat bersamaku, kehangatannya, tidak mungkin itu semua palsu, kan?” batinnya sebelum terlelap dalam tidur.
***
Karen terbangun dengan mata yang bengkak, darah di tangan-tangannya tampak mengering, namun dia tidak ingin bangun sama sekali, dia berharap menjadi beruang dan berhibernasi sampai semua masalah hilang. Dia ingin tidur lebih lama.
Karen tertidur sampai siang, perutnya sudah kelaparan karena melewatkan waktu sarapan pagi, mau tidak mau dia harus bangun dan mandi. Dia keluar setelah mengenakan dress panjang dan make up yang sangat disukai oleh suami nya, dia tidak suka menggunakan make up itu, tetapi suaminya menyukai itu membuatnya terbiasa memakai make up semacam itu.
"Aku baik-baik saja!" Karen mencoba menanamkan sugesti pada otaknya sendiri. Mantra kecil untuk memulai harinya tepat saat dia akan membuka gagang pintu kamarnya. Suasana suram menyambut paginya, dingin dan semakin mencekik. Bisikan-bisikan dari memorinya seolah memaksanya untuk kembali gemetar.
Dia berjalan ke bawah dan menuju dapur dengan perasaan stress yang tak dapat hilang. Langkah kakinya terhenti tepat saat dia melihat wanita pendatang baru itu tengah berdiri menghadap kulkasnya. Wanita itu kemudian berbalik dan menatap matanya, dia menyunggingkan senyum seolah mengolok kedatangannya.
Karen mengepalkan tangannya kuat, membuka luka yang baru saja sembuh. Isi kontrak yang ditandatanganinya membuat Karen bersabar, dia dengan cepat mengambil buah-buahan dan air minum, lalu mulai meninggalkan dapur.
“Ku dengar kau mau menjadi madu, suamiku?” kalimat yang lebih seperti pernyataan itu menarik kaki Karen untuk berhenti melangkah. Karen menarik napas dalam dan lambat.
“Hati-hati dengan perkataanmu, suamiku tidak menyukai perempuan bermulut kotor!” ucapnya langsung pergi ke atas, sesampainya di atas Karen mengunci pintu dan menaruh makanannya di samping kanannya. Dia menyandarkan punggungnya di belakang pintu dan menatap air minum yang tenang di dalam gelas kacanya.
Gelas kaca yang berbeda dari biasanya, gelas yang biasa dia pakai sudah digunakan oleh wanita itu, kemarin. Tentu saja dia tidak akan sudi memakainya. Mengingat bagaimana wanita itu memanggil Jones dengan sebutan suami membuatnya merasa jijik. Mereka bahkan belum menikah, beraninya wanita itu memanggil suaminya seperti itu.
***
Karen mengembalikan piring dan gelas yang dia gunakan tadi, saat kembali dia memperhatikan dari kejauhan bagaimana Ibu mertuanya datang dengan baju-baju bayi yang begitu cantik. Ada rasa sesak yang tak tertahankan di hatinya saat itu. Jika! Jika dia menjadi wanita itu, pasti dia sudah sangat bahagia sekarang.
"Besok-kan kalian menikah, setidaknya Ibu harus memberikan hadiah untuk si kecil dulu," kata Ibu mertuanya, sembari menyibak rambut super pendek dan ikalnya dengan gembira.
Mendengar itu Karen mencoba menenangkan diri dan terus meraih pegangan tangga untuk membantunya sampai ke kamar, hatinya bahkan ikut terdiam seperti pikirannya yang menolak menyerap perkataan itu.
Setelah mengunci pintu dua kali, Karen berjalan lambat menuju balkon nya yang dihiasi tanaman rambat, dia berdiri dalam diam yang begitu lama. Matanya coklat terangnya terpaku lurus pada bebatuan tajam di bawahnya.
“Jika aku pergi, apa dia akan membawaku pulang?”
Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka