Share

2. Madu atau Cerai

Madu? Pertanyaan itu sontak membuat seisi ruangan itu sunyi. Karen sungguh tidak paham dengan perkataan itu, kenapa dia harus menjadi madu dari suaminya sendiri. Tetapi disisi lain, sulit baginya untuk pergi tanpa membawa Jones bersamanya.

“Madu? Ken–”

“Kau ini terlalu baik, tapi ibu akan mengizinkanmu asal kau tetap menjadikan Celin ratu di dalam maupun di luar rumah ini, dan jangan biarkan masalah itu menyebar sampai keluar!”

Jones mengangguk paham. “Kau bilang tidak ingin berpisah kan, jika kau mau menjadi maduku, aku akan membiarkanmu tetap tinggal.” Kata-kata yang begitu ringan saat diucapkan oleh seorang Jones. Kata 'maduku' menggenang di hatinya seperti air di dalam gelas yang tenang.

Karen yang tidak kunjung menjawab membuat kesabaran Jones semakin tipis, dia tidak punya banyak waktu untuk urusan wanita-wanita di rumahnya, dia harus segera kembali ke perusahaan dan menyelesaikan pekerjaannya.

“Ikut aku!” perintahnya pada Karen.

"Jones?"Karen meringis akibat cengkraman kuat dari tangan Jones. Dengan langkah yang begitu pelan Karen akhirnya menyusul masuk ke ruang kerja Suaminya, ruang yang menjadi saksi bisu tentang kehidupan bahagia mereka di rumah itu, tepat saat matanya menatap cermin jernih di dinding ruangan itu, dia semakin yakin bahwa kehidupannya sudah berubah seperti bayangannya sendiri.

Karen duduk di seberang meja sembari menatap gerak-gerik tenang suaminya. Tak bisa dipungkiri jika semuanya hanya terasa seperti mimpi buruk, dia ingin segera bangun dari tidurnya. Namun sangat disayangkan jika itu bukan mimpi melainkan kenyataan pahit, semuanya terlihat jelas dari darah di telapak tangannya sendiri.

Jones yang duduk tenang dengan sebuah kertas di atas mejanya menatap dingin Karen. “Pertama, jangan pernah mengaku-ngaku sebagai istriku. Jangan berkeliaran di luar dan menyebarkan gosip, jangan berani mendekati anakku dan ibunya, jangan menagih untuk tidur denganku karena aku akan melakukannya jika aku menginginkannya. Apa kau mengerti!” Bibir tajamnya mulai membuka luka batin Karen sedikit demi sedikit dengan kata-katanya.

Karen memandang kosong kertas yang memiliki perjanjian atas namanya itu, setiap baitnya mengantarkan pikirannya pada bayang-bayang kehidupannya di masa depan. Dia tahu betapa bodohnya dia, tetapi dia terlalu banyak mencintai pria di hadapannya ini. Krisis jati diri.

"Biarkan aku berpikir," pintanya terbata-bata. Karen masih tidak bisa melepaskan pria dihadapannya. Jika saja dia bisa hamil mungkin dirinya bisa memiliki keluarga utuh yang bahagia, sekalipun jika mereka bukan dari keluarga terpandang. Tangannya tak kunjung mendapatkan persetujuan dari otaknya untuk menandatangani kontrak itu.

Jones memeriksa jam tangan mahalnya dan memandang Karen yang hanya menatap kosong kontrak perjanjian mereka. Badan kurus dan putih Karen tampak menyusut di matanya. Diia dapat dengan jelas melihat noda darah di tangan Karen.

“Jika kamu melanggar peraturan atau kau tidak ingin melanjutkan ini maka kau harus menandatangani surat cerai ini!” Jones memberikan surat cerai yang sudah dicetak dengan rapi ke hadapan Karen.

Takut terhadap surat itu. Tanpa pikir panjang karen langsung menandatangani surat kontrak untuk dimadu suaminya sendiri. Setelah itu matanya yang sayu menangkap senyum tipis di wajah Jones, hatinya semakin jatuh ke dasar bumi.

"Bagus!" Jones menyimpan surat cerai itu di atas mejanya dan pergi keluar tanpa mengatakan apapun.

Mereka biasanya akan berpisah dengan ciuman manis di dahi Karen, namun hal itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang mustahil untuknya. Karen baru bisa keluar setelah beberapa lama dan melihat sebuah pemandangan yang hangat di bawah, di sana Ibu mertuanya masih bercakap-cakap manis dengan Celin.

'Hangat' itu hanya jika dia masih menjadi bagian disana, tetapi sekarang dia sudah melepaskan peranan itu dan memutuskan untuk menjadi pemeran sampingan. Entah dia bisa memerankan itu dengan baik atau justru malah merusaknya nanti.

Merasa masih kosong dan hampa, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang berukuran besar. Menghirup wangi parfum mereka yang tadi malam masih baik-baik saja dan masih tidur berdua dengan nyamannya di ranjang besar itu.

'Sial'

Bau-bau itu sekarang mulai menjadi beban untuknya, tidak ingin berlama-lama Karen melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Membanjiri badannya dengan air dingin, di dalam bathtub itu dia tertidur pulas sampai jari jemarinya berkerut karena dingin, lukanya memutih seolah meminta untuk dikelupas. Saat dia bangun, harinya sudah menjadi gelap, dia membuka pintu Kamar mandi dan kembali menerawang keseluruh kamar besarnya yang terasa kosong dan sunyi.

“Dia mungkin tidak akan pernah datang.”

Pakaian tebal yang dia pakai bahkan tidak dapat membuatnya merasa hangat, Karen tidak berani keluar dari kamar itu, dia hanya ingin bersembunyi dan tidur. Namun matanya menolak untuk itu, dia malah terjaga sepanjang malam dan terus memutar kembali kejadian hari itu.

'Sialan'

Karen kembali bangun dan mengganti seluruh perlengkapan tempat tidurnya dengan yang baru, membiarkan jendela terbuka lebar untuk mengusir bau di ruangan itu keluar. Merasa lega Karen kembali ke kasur tanpa menutup jendela.

Wanita seputih salju malang itu kembali menangis kencang di balik selimutnya, meremas tangannya kuat-kuat membagi rasa sakit di hatinya bersama tubuhnya sendiri, merasa tidak adil namun di sisi lain dia merasa pantas menerimanya, pantas sebab dia bukan wanita yang sempurna dan pantas untuk tidak dicintai oleh pria sempurna seperti Jones.

“Sial… Kenapa? Aku sangat-sangat menyayanginya, tawanya saat bersamaku, kehangatannya, tidak mungkin itu semua palsu, kan?” batinnya sebelum terlelap dalam tidur.

***

Karen terbangun dengan mata yang bengkak, darah di tangan-tangannya tampak mengering, namun dia tidak ingin bangun sama sekali, dia berharap menjadi beruang dan berhibernasi sampai semua masalah hilang. Dia ingin tidur lebih lama.

Karen tertidur sampai siang, perutnya sudah kelaparan karena melewatkan waktu sarapan pagi, mau tidak mau dia harus bangun dan mandi. Dia keluar setelah mengenakan dress panjang dan make up yang sangat disukai oleh suami nya, dia tidak suka menggunakan make up itu, tetapi suaminya menyukai itu membuatnya terbiasa memakai make up semacam itu.

"Aku baik-baik saja!" Karen mencoba menanamkan sugesti pada otaknya sendiri. Mantra kecil untuk memulai harinya tepat saat dia akan membuka gagang pintu kamarnya. Suasana suram menyambut paginya, dingin dan semakin mencekik. Bisikan-bisikan dari memorinya seolah memaksanya untuk kembali gemetar.

Dia berjalan ke bawah dan menuju dapur dengan perasaan stress yang tak dapat hilang. Langkah kakinya terhenti tepat saat dia melihat wanita pendatang baru itu tengah berdiri menghadap kulkasnya. Wanita itu kemudian berbalik dan menatap matanya, dia menyunggingkan senyum seolah mengolok kedatangannya.

Karen mengepalkan tangannya kuat, membuka luka yang baru saja sembuh. Isi kontrak yang ditandatanganinya membuat Karen bersabar, dia dengan cepat mengambil buah-buahan dan air minum, lalu mulai meninggalkan dapur.

“Ku dengar kau mau menjadi madu, suamiku?” kalimat yang lebih seperti pernyataan itu menarik kaki Karen untuk berhenti melangkah. Karen menarik napas dalam dan lambat.

“Hati-hati dengan perkataanmu, suamiku tidak menyukai perempuan bermulut kotor!” ucapnya langsung pergi ke atas, sesampainya di atas Karen mengunci pintu dan menaruh makanannya di samping kanannya. Dia menyandarkan punggungnya di belakang pintu dan menatap air minum yang tenang di dalam gelas kacanya.

Gelas kaca yang berbeda dari biasanya, gelas yang biasa dia pakai sudah digunakan oleh wanita itu, kemarin. Tentu saja dia tidak akan sudi memakainya. Mengingat bagaimana wanita itu memanggil Jones dengan sebutan suami membuatnya merasa jijik. Mereka bahkan belum menikah, beraninya wanita itu memanggil suaminya seperti itu.

***

Karen mengembalikan piring dan gelas yang dia gunakan tadi, saat kembali dia memperhatikan dari kejauhan bagaimana Ibu mertuanya datang dengan baju-baju bayi yang begitu cantik. Ada rasa sesak yang tak tertahankan di hatinya saat itu. Jika! Jika dia menjadi wanita itu, pasti dia sudah sangat bahagia sekarang.

"Besok-kan kalian menikah, setidaknya Ibu harus memberikan hadiah untuk si kecil dulu," kata Ibu mertuanya, sembari menyibak rambut super pendek dan ikalnya dengan gembira.

Mendengar itu Karen mencoba menenangkan diri dan terus meraih pegangan tangga untuk membantunya sampai ke kamar, hatinya bahkan ikut terdiam seperti pikirannya yang menolak menyerap perkataan itu.

Setelah mengunci pintu dua kali, Karen berjalan lambat menuju balkon nya yang dihiasi tanaman rambat, dia berdiri dalam diam yang begitu lama. Matanya coklat terangnya terpaku lurus pada bebatuan tajam di bawahnya.

“Jika aku pergi, apa dia akan membawaku pulang?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status