Share

Bertemu Masa Lalu

❤️❤️❤️

Aku ragu untuk menanyakan apa yang terjadi terhadap Farid. Aku dapat membayangkan jawaban apa yang akan dia berikan. Selama ini, dia hanya berusaha menyalahkan wanita yang tidak diharapkan ini. Mungkin sebaiknya aku tidak perlu bertanya tentang goresan yang ada di lehernya.

“Kenapa lihatin aku? Merasa bersalah?” Ternyata Farid menyadari lirikanku.

“Merasa bersalah? Maksudnya apa?” Aku tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.

“Kamu nggak ingat dengan apa yang kamu lakukan padaku?” Aku makin bingung.

“Apa yang kulakukan padamu?”

“Kamu benar-benar nggak ingat?”

Aku berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ya, aku menyelesaikan pekerjaan yang diinginkan Farid. Setelah itu aku tidak mengingat apa-apa lagi. Namun, satu hal yang paling membingungkan adalah ketika aku terbangun, kenapa di tempat tidur Farid?

“Aku nggak ingat. Ada apa sebenarnya?” Aku makin penasaran.

Farid tiba-tiba menghentikan kendaraan roda empat miliknya di tepi jalan. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. “Kamu lihat ini?” Dia menunjuk ke arah lehernya.

“Ada apa dengan leher kamu? Seperti bekas cakaran.” Akhirnya aku pun menanyakan apa yang kupikirkan.

“Akhirnya kamu sadar juga. Ini memang bekas cakaran.” Farid menatapku.

“Siapa yang cakar kamu?”

“Tanya pada dirimu sendiri.”

“Kenapa kamu selalu membuatku untuk berpikir?”

“Karena aku tidak menginginkan kehadiranmu dalam hidupku!” Farid kembali menghardikku seperti biasa.

“Jika kamu tidak bersedia menikahiku, kenapa kamu nggak menolak?”

“Karena aku tidak ingin mengecewakan Mami.”

Hari ini, aku mendengar jawaban dari semua sikap yang ditunjukkan Farid sejak awal kami menikah. Ternyata benar kalau dia tidak menginginkan hubungan yang sudah terjalin selama dua bulan ini. Apakah aku harus bertahan dengan ikatan ini?

“Jadi, ini alasan kamu selalu menyalahkanku? Sekarang aku mengerti dengan apa yang terjadi selama ini. Jika kamu begitu membenciku, aku akan turun di sini.” Tiba-tiba aku merasa kesal melihat Farid.

“Jangan! Aku nggak mau dianggap tidak bertanggung jawab.” Dia tidak menyetujui keinginanku.

“Kamu nggak perlu bertanggung jawab padaku, aku bisa menjalani hidupku sendiri.” Aku pun sudah yakin untuk keluar dari mobilnya. Namun, sebelum pintu terbuka, dia mencegahku.

Entah kenapa Farid langsung meraih tanganku. “Kalau kamu keluar, itu artinya kamu lari dari tanggung jawab.” Aku tidak mengerti apa maksud laki-laki itu.

“Tanggung jawab apa?”

“Tanggung jawab dengan cakaran di leherku.” Aku sangat terkejut mendengarkan penuturan yang keluar dari bibirnya.

“Apa hubungannya denganku?”

“Cakaran di leherku ini adalah perbuatanmu! Dengan seenaknya kamu lari dari tanggung jawab. Kamu harus menyembuhkan luka ini. Ngerti!” Dia makin mendekatkan wajahnya kepadaku. Entah kenapa gerakan jantungku makin tidak beraturan.

“Aku? Itu nggak mungkin.” Aku tidak percaya dengan apa yang Farid katakan.

Akhirnya, dia menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Saat aku telah selesai mengerjakan apa yang diinginkan laki-laki itu, aku pun tertidur. Sementara itu, dia terbangun lalu mengangkatku ke tempat tidur. Namun, dalam keadaam tidak sadar, aku meronta hingga menggoreskan luka di lehernya.

Aku hanya mampu menunduk setelah mendengar cerita Farid. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya meminta maaf kepada laki-laki itu, tetapi entah kenapa aku tidak kuasa menatap wajahnya.

❤❤❤

Aku dan Farid akhirnya tiba di kantor, dan kami langsung menuju ruang rapat. Setelah menunggu beberapa menit, klien yang Farid maksud pun memasuki ruangan. Orang tersebut melihat ke arahku, dan sosok itu tidak asing bagiku. 

“Selamat datang, Pak Kenzo.” Farid berjabatan dengan laki-laki yang ternyata merupakan sahabat masa laluku. 

Ada apa ini? Kenapa Kenzo kembali muncul setelah aku sudah resmi menyandang status sebagai istri dari laki-laki lain? Ya, walaupun kenyataanya, Farid tidak mengharapkan pernikahan kami. Ini sungguh menyakitkan. Bagaimana aku harus bersikap di depan Kenzo? Apakah dia masih mengingat diriku?

Aku tidak tahu harus seperti apa menyadari Kenzo melihat ke arahku mulai dari dia memasuki ruangan hingga rapat selesai. Aku berharap semoga Farid tidak memperhatikan apa yang terjadi hari ini.

“Saya senang bekerja sama dengan Pak Farid. Ternyata pertemuan pertama kita sangat bermakna untuk saya.” Farid dan Kenzo kembali saling menjabat tangan. Aku tidak mengerti arah pembicaraan sahabat masa laluku tersebut.

“Saya terharu mendengar pengakuan Pak Kenzo. Saya juga berterima kasih untuk kerja sama ini.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Farid melihat ke arahku.

Kenzo pun akhirnya keluar dari ruangan, lalu aku menyusul laki-laki itu. Ternyata dia menyadari keberadaanku, dia menghentikan langkah, kemudian berbalik badan. Aku sangat bingung menghadapi situasi seperti ini. 

“Hai … apa kabar?” Kenzo tiba-tiba menyapaku. Padahal tadi di dalam ruangan, dia hanya melihat ke arahku.

“A-aku baik.” Aku merasa gugup memberikan jawaban kepadanya.

“Lama nggak ketemu. Ternyata kamu tetap cantik seperti dulu.” Dia mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dia katakan dulu. Kenzo tidak pernah memujiku saat kami masih sekolah.

“Makasih.” Begitu balasan yang kuberikan.

“Apa aku boleh meminta nomor kontakmu?”

“Maaf, aku buru-buru. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Aku berusaha menghindari permintaan Kenzo. Aku tidak ingin karyawan dan karyawati yang melihat kebersamaan kami menjadi salah paham.

“Kamu kenapa? Nggak merasa senang bertemu denganku?”

“Aku permisi.” Aku pun berlalu dari hadapan Kenzo, lalu melangkah memasuki ruanganku.

Aku menghempaskan tubuh di kursi empuk yang ada di depan meja kerjaku. Sungguh, hati ini belum mampu menerima kenyataan kalau aku akhirnya bertemu kembali dengan Kenzo. Ini benar-benar di luar dugaan.

“Jangan lupa makan. Besok pagi aku jemput lagi.” Dulu, setiap Kenzo mengantarkan aku ke rumah setelah pulang sekolah, kalimat itu tidak pernah dia lupakan.

“Kamu juga hati-hati. Hubungi aku setelah kamu sampai di rumah.” Aku pun memberikan perhatian dan peduli kepadanya.

Akan tetapi, hubungan kami saat itu hanya sebatas saling perhatian dan peduli. Aku tidak mengerti, kenapa kata cinta tidak mampu keluar dari bibir kami kala itu. Aku sebagai wanita merasa tidak pantas untuk mengungkapkan perasaan yang aku miliki kepada Kenzo.

Kriiing! Kriiing!

Nada telepon di meja kerjaku selalu berhasil membuatku terkejut. Kadang aku berpikir untuk menyembunyikan benda itu agar suara yang dikeluarkan tidak membuatku kesal. Benar-benar menyebalkan, selalu berbunyi di saat yang tidak tepat.

Aku pun menerima panggilan tersebut. “Halo.”

“Ke ruangan saya sekarang!” Bukan hanya telepon yang membuatku terkejut, ternyata suara yang menyapaku juga turut menyusul. Siapa lagi kalau bukan Farid.

“Baik, Pak.” Aku pun menutup telepon, lalu melangkah menuju ruangan Farid.

“Duduk!” titah laki-laki itu setelah aku berada di ruangannya.

“Terima kasih, Pak.” Aku pun menghempaskan tubuh di kursi yang ada di hadapannya.

“Apa kesan yang dapat kamu simpulkan dari meeting hari ini? Ini adalah pertemuan pertama kita dengan Pak Kenzo.” Dadaku berdebar mendengar pertanyaan dari Farid.

“Sama seperti meeting sebelumnya dengan klien lain, Pak.” Aku berusaha memberikan jawaban yang tidak mencurigakan.

“Entah kenapa, saya memikirkan hal lain.”

“Maksudnya hal lain apa?”

“Apa sebelumnya kamu dan Pak Kenzo sudah saling kenal?” Aku tidak mengerti kenapa Farid melontarkan pertanyaan sulit itu kepadaku.

“Kok, Bapak mikirnya gitu?” Aku berusaha bersikap tenang.

“Kamu nggak perlu membalas pertanyaan saya dengan pertanyaan juga. Cukup jawab saja.” Wajah Farid tampak mengalami perubahan menjadi memerah.

================

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status