Menu sarapan sudah berjejer di meja. Sementara penghuni rumah satu per satu mulai turun setelah beberapa saat lalu Quen memanggil mereka semua. Rutinitas pagi yang perlahan mulai terbiasa bagi keenam orang tersebut.
Kini, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Menyantap sarapan dengan khidmat.
"Owen," panggil Quen, mengangkat garpunya di depan wajah, membuat Levin yang berada di depannya agak ngeri. Takut-takut garpu itu tiba-tiba melayang ke arahnya. "Hari ini adalah giliranmu menemani Ayah. Aku akan mengirimkan alamat rumah Ayah padamu nanti."
Owen seketika melebarkan mata. "Benarkah? Aku tidak bisa melewatkan hal itu?" tanya lelaki itu, yang seketika tersenyum meringis begitu mendapati tatapan maut yang dilayangkan oleh Quen.
Semua orang mengulum tawa karena Owen tidak bisa berkutik hari ini. Mau tak mau, lelaki itu harus menuruti jadwal yang telah Quen tentukan.
Ponsel Quen yang berada di sisi piringnya tiba-tiba berdering. Melihat nam
"Aku harus segera berangkat," pamit Ace pada penghuni rumah yang tersisa begitu dia mendengar suara mobil Chris yang berhenti di depan."Baiklah. Semoga harimu menyenangkan," balas Quen lugas.Pria itu lekas berdiri dari duduknya dan keluar dari rumah. Benar saja dugaannya, bahwa mobil yang datang tersebut adalah mobil Chris. Tanpa menunggu lama lagi, Ace masuk ke dalam mobil tersebut."Kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Chris, menyambut kedatangan artisnya tersebut."Jika kamu berharap aku tidak bisa tidur setelah apa yang terjadi kemarin, maaf, kamu salah. Aku tidur dengan nyenyak, Bung," balas Ace jenaka.Chris menggelengkan kepalanya pelan. "Apakah kamu berpikir bahwa aku berharap demikian? Itu hanyalah basa-basi," tandas Chris, menanggapi lelucon yang dilemparkan Ace. Pria itu lantas menyodorkan sebuah kotak pada Ace. Ace langsung tahu bahwa isi di dalam kotak tersebut adalah sebuah ponsel."Aku sudah memasukkan nomorku, nomor member Blade Storm, dan juga nomor Quen. Kamu hanya ti
Napas Ace mulai berat dan tak beraturan. Dadanya naik turun dengan keras usai latihan dance-nya yang intens beberapa saat lalu. Pria itu menyerah, tidak bisa lagi melanjutkan tariannya. Dengan embusan napas panjang, pria itu duduk sambil menselonjorkan kaki di lantai.Ace menoleh pada yang lain. Semuanya sudah beristirahat sejak beberapa saat lalu sebelum dirinya. Hanya tersisa Jimmy yang kini memutar lagu ke sekian dan kembali latihan. Pria itu memang dance machine. Selain jago berbagai koreo, energinya juga melebihi yang lain."Kamu tidak lelah, Jim?" tanya Ace sambil menyibak rambutnya yang basah oleh keringat. Pendingin ruangan hampir tidak terasa karena suhu tubuhnya meningkat setelah latihan. Ace bahkan seperti mandi keringat sekarang.Jimmy masih fokus pada ritme dan ketukan lagu. Menari dengan begitu luwesnya, bahkan sesekali dia bernyanyi mengikuti lagu Namun dia tetap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. "Aku masih bisa menari untuk satu atau dua lagi," balas lel
Sesuai apa yang diperintahkan oleh ratunya, Quen, hari ini Owen akan mampir ke rumah Brandon dan menemani pria yang sudah berusia senja itu untuk menghabiskan waktu, entah dengan melakukan apa. Dia sendiri belum tahu dan hanya mengikuti perintah untuk datang.Bermodalkan alamat yang dikirim Quen lewat pesan singkat, akhirnya Owen tiba di halaman depan rumah Brandon. Pria itu bergegas turun dari mobil dan berjalan ke teras setelah mengamati rumah yang menjadi kediaman Brandon tersebut. Saat dirinya baru saja hendak menekan bel, pintu tinggi di depannya justru tiba-tiba terbuka.Seketika terlihat Brandon dengan pakaian pantai yang sudah lengkap. Bahkan, pria itu memakai topi dengan pinggiran lebar dan juga membawa tas berisi peralatan memantai. Ralat, bukan peralatan, lebih tepatnya mirip seperti mainan anak-anak yang terbuat dari plastik."Akhirnya, menantuku datang juga," tandas Brandon, tersenyum semringah menatap Owen yang menjulang tinggi di depannys. M
Bab 22Senyum lebar Brandon seolah tak pernah luruh sejak dia tiba di pantai dan mulai duduk di atas pesisir pantai sambil membangun istana pasir raksasa miliknya, yang dalam prosesnya ia dibantu juga oleh Owen. Dengan sangat telaten, seolah dia tengah mengerjakan proyek sungguhan, Brandon mengukir setiap sudut istana pasir itu."Akhirnya!" seru Brandon lega setelah semua bagian yang harus dia buat selesai.Brandon lantas menatap ke depannya. Di mana Owen mengerjakan bagian benteng belakang. "Owen, apakah sudah selesai?" tanya pria itu agak berteriak.Kepala Owen tampak menyembul di sisi istana pasir raksasa itu, untuk menatap Brandon. Pria itu mengacungkan sebelah jempol sambil tersenyum lebar. "Aman. Aku sudah menyelesaikannya, Pa!" jawab lelaki itu.Brandon seketika tersenyum lebar mendengar jawaban Owen. Pria itu berdiri dari posisi duduknya sejak tadi. Punggung tuanya terasa begitu sakit karena terlalu lama duduk. Otot-ototnya bahkan menegang."Uwaaah! Akhjrnya, istana kita telah
Setelah menyelesaikan berbagai jadwal seharian ini, Julian membawa kembali Ace untuk pulang. Pria itu menyetir dengan begitu serius, sementara di belakang, Ace tertidur. Tampaknya pria itu amat kelelahan. Wajar saja, jadwal mereka cukup padat hari ini. Belum lagi dengan sesi latihan yang berat.Begitu sampai di kediaman Ace, sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Chris, Julian mematikan mesin mobil. Pria itu menoleh ke belakang dan mendapati bahwa Ace masih tertidur dengan pulas."Ace, kita sudah sampai," ucap Julian, memberitahu lelaki itu.Dia pikir, Ace akan segera bangun. Namun, meski dia memanggil nama pria itu berkali-kali, Ace masih terlelap. Julian akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil dan menghampiri kursi belakang.Julian mengguncangkan tubuh Ace, sehingga akhirnya pria itu membuka matanya perlahan. Meski begitu, Ace tampak belum sadar seutuhnya."Kita sudah sampai di rumahmu," tandas Julian.Ace mengucek matanya sebentar, kemudian merenggangkan otot-ototnya yang tera
Quen turun dari mobil yang dikendarai Arthur lalu menutup pintu kendaraan tersebut dengan kasar. Wajahnya tampak tertekuk kesal. Wanita itu bahkan menghentakkan kakinya berkali-kali saat berjalan, sehingga saat heels-nya berada dengan ubin terdengar begitu nyaring. Arthur yang mengekor langkah Quen, hanya bisa menggeleng pelan sambil menghela napas panjang. Dia sudah bekerja dengan Quen selama beberapa waktu, tetapi tetap saja masih belum bisa membantu Quen untuk mengendalikan emosinya. Pria itu juga belum terbiasa dengan emosi atasannya yang selalu meledak-ledak itu. Rasanya, bekerja dengan Quen berkali-kali lipat lebih sulit daripada bekerja dengan Brandon.Sementara itu, Quen masih terlihat amat kesal saat memasuki rumah. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan tentang permasalahan di kantor."HEI! Ini semua tidak masuk akal!" teriak Quen, entah untuk ke berapa kalinya dalam beberapa jam terakhir. Meski tidak ada siapa pun yang ia ajak bicara, secara spontan dia terus berbicara dem
Ruangan yang biasa dipakai untuk tempat makan, kini dijadikan tempat rapat dadakan. Sangat niat, mereka bahkan menghadirkan papan tulis dan proyektor untuk memudahkan rapat yang mereka adakan. Otak dari itu semua adalah Levin dan Owen.Karena Levin yang paling pandai dalam hal bisnis dan paling sering melakukan meeting daripada suami-suami Quen yang lain, maka Levin ditunjuk untuk menjadi pemimpin rapat."Pemegang saham memiliki peranan besar untuk memutuskan setiap proyek bisa berjalan ataukah tidak. Itulah sebabnya, keberpihakan mereka sangatlah penting untuk Quen. Jika para pemegang saham tidak menyukainya, bisa-bisa istri kita tercinta akan didepak dari perusahaan," jelas Levin kepada para suami Quen yang duduk dengan anteng di kursi masing-masing. Mereka terlihat amat serius menyimak penjelasan Levin."Dan karena itulah," ujar Levin lagi dengan intonasi yang menyenangkan untuk didengar. "Aku sudah mendata para pemegang saham di Chevalier Inc." Pria itu mena
Quen baru saja selesai membersihkan dirinya. Wanita itu keluar dari kamar mandi usai mengenakan pakaian tifur dan mengeringkan rambut. Setelah seharian ini merasa kesal karena ulah Gwen yang membuatnya terpojok, berendam di dalam air hangat membuatnya merasa lebih rileks. Juga, meski masih kesal, tetapi mengingat kelima suaminya membantu dalam misi pembalasan dendam, dia juga merasa excited menantikan saat-saat dirinya akan menang.Perempuan itu mengerutkan kening saat dirinya melihat sebuah benda seperti astronot di atas nakas kamar Vinson. Sementara di sudut ranjang, Vinson duduk sambil memainkan ponsel. Begitu sadar bahwa Quen telah selesai mandi, Vinson tersenyum menatap istrinya, lantas meletakkan ponselnya di atas bantal. Malam ini memang giliran Quen untuk tidur dengan Vinson.Quen mengambil benda yang menurutnya aneh tersebut. Dengan alis mengerut, wanita itu menatap benda itu dengan saksama. "Apa ini?" tanya Quen, menyuarakan tanya yang ada di kepalanya.