Home / Romansa / CEO adalah Maut / BAB 6 - Wanita yang penuh dengan rahasia

Share

BAB 6 - Wanita yang penuh dengan rahasia

Author: LoVelly09
last update Last Updated: 2024-10-25 06:00:00

 

Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.

Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.

Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit melupakan Bastard itu.

Nada pengingat pesan menyita atensi Vanilla. Ia menghentikan gerakan menyimpul pada makrame dan mengambil ponsel di atas meja. Beberapa kali nama Vanilla disebut dalam grup orang tua murid kelas Zayn. Mereka mengajak Vanilla ikut serta dalam arisan.

Jemari Vanilla mengetuk papan keyboard. Meskipun malas, tetapi Vanilla tetap mengiyakan ajakan tersebut. Ia tidak ingin Zayn mendapatkan perlakuan yang berbeda karena dirinya tidak mau berbaur dengan orang tua murid yang lain. Menjadi pembicaraan karena hamil dan melahirkan tanpa suami aja sudah cukup mengusik hati. Vanilla tidak ingin menambah topik pembicaraan orang lain dengan julukan anti sosial.

“Mommy!” Suara nyaring Zayn membuat Vanilla meletakkan ponsel di meja dan beranjak.

Bocah itu baru saja turun dari mobil dengan kepayahan. Tangannya berulang kali menahan tas gendong yang terasa begitu berat.

“Terima kasih, Bli Nyoman,” seru Vanilla kepada pria yang menjadi sopir antar jemput sekolah Zayn.

“Sama-sama. Dah Zayn!” Pria berkulit cokelat itu melambaikan tangan kepada Zayn sambil memberikan senyuman lebar.

“Bye!” seru Zayn ikut melambaikan tangannya penuh semangat.

Bye, Zayn!”

Bye William, Henry!” Zayn tersenyum menampilkan deretan gigi yang belum lengkap kepada sepasang anak kembar dengan rambut pirang. Mereka merupakan teman dekat Zayn di sekolah. Tidak jarang orang tuanya menitipkan mereka kepada Vanilla untuk berangkat sekolah bersama.

Melihat sang putra yang kepayahan dengan tas gendong ya, Vanilla berinisiatif melepaskan.

“Astaga Zayn! Ini berat sekali, apa yang kamu bawa?” tanya Vanilla.

Zayn menghela napas berat. “Biasa Mommy. Anak-anak di sekolah selalu mengisi mejaku dengan banyak cokelat dan permen.”

Vanilla melongo sebentar. Sebenarnya ia tidak begitu terkejut dengan hal itu. Sejak masuk pre kindergarten, Zayn sudah menjadi idola murid satu kelas maupun kindergarten. Sifatnya yang ramah di awal dan cuek kemudian menarik perhatian anak-anak cewek di sana.

Tidak jarang Vanilla menggelengkan kepala saat melihat beberapa anak perempuan mencari perhatian kepada Zayn. Astaga mereka baru menginjak usia 4 tahun. Pun tidak jarang orang tua murid memuji ketampanan Zayn. Tentu sudah bisa ditebak, dari mana Zayn mendapatkan gen dominan itu.

“Aku sudah membagikannya untuk Will, Henry, Joey, Kaz, dan Keiran.” Zayn menjeda ucapannya sebentar sambil menghitung dengan jari. “Tetapi cokelat itu masih saja nggak habis-habis, Mom.”

“Zayn, bagiin cokelatnya?” tanya Vanilla yang kini duduk bersebelahan dengan Zayn. Ia memberikan fokus penuh kepada sang putra yang sedang berceloteh.

Kepala Zayn mengangguk. “Aku tidak mungkin menghabiskan semua cokelat dan permen itu, Mom. Aku ‘kan boleh makan itu pas hari minggu aja. Ah!”

“Kenapa?” Vanilla menaikkan salah satu alisnya dengan perilaku Zayn yang seperti orang dewasa. Astaga! Anak siapa ini?

“Aku lelah menjadi populer, Mom,” celetuk Zayn sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dalam kios makrame.

Vanilla terkekeh. Usia Zayn baru akan menginjak 4 tahun lusa, tetapi tingkahnya sudah seperti anak remaja yang kewalahan karena dikejar banyak gadis. Well, lingkungan sekolah Zayn yang kebanyakan dari luar negeri, menjadikannya tumbuh sedikit lebih dewasa.

“Ganti baju dulu, yuk!” ajak Vanilla yang langsung mendapatkan persetujuan dari sang putra.

Bangkit dari tidurnya, lalu Zayn mengayunkan kaki ke lantai dua. “Aku bisa ganti baju sendiri, Mom.”

“Baiklah, hati-hati ambil bajunya,” seru Vanilla sambil memanjangkan leher. Ia memastikan agar sang putra mengambil langkah tepat dan tidak terjatuh di tangga.

Suara lonceng yang berbunyi karena pintu toko terbuka, membuat Vanilla menoleh sambil berucap, “selamat datang.”

Kelopak matanya melebar ketika mendapati pribadi Aryan masuk ke dalam toko sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Kemeja warna hitam melekuk tubuh pria itu dengan lengan terlipat sampai siku. Tato yang tercetak memenuhi lengan tampak sama seperti 4 tahun yang lalu.

“Ngapain kamu kesini?” tanya Vanilla dengan nada ketus.

“Come on, Vanilla. Aku datang sebagai pelanggan. Bukankah kamu harus menyambutnya dengan ramah?” Aryan berjalan beberapa langkah dengan salah satu tangan masuk ke saku celana.

“Banyak toko makrame yang lebih lengkap. Aku bisa memberikan rekomendasi kepadamu,” ucap Vanilla seraya mengalihkan tatapan dari Aryan. Ia tidak sudi menatap wajah pria itu.

“Aku ingin beli di sini.” Langkah Aryan semakin merapat. “Kenapa kamu tiba-tiba membatalkan kerja sama dengan hotelku?”

“Aku tidak sanggup memenuhi permintaan yang terlalu banyak dari sana,” jawab Vanilla asal.

Langkah Aryan berhenti lalu memindai penampilan Vanilla yang cantik dengan rambut terurai bebas. Dress warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang putih membungkus tubuh sintal itu. Terlihat jika Vanilla sangat memperhatikan penampilan setelah melahirkan. Lemak tumbuh di bagian yang tepat dengan ukuran pas.

“Kamu tidak perlu memenuhi jumlahnya. Justru itu akan menjadikan produksi lebih eksklusif. Hanya bisa didapatkan dengan pre order,” terang Aryan.

“Tetap saja aku tidak bisa. Apa yang kamu inginkan, cepat katakan dan pergi,” ujar Vanilla.

Sorot mata Aryan menukik tajam. Wanita itu semakin dingin dan ketus. Ia semakin penasaran dengan alasan Vanilla yang terlihat sangat membencinya.

“Kenapa kamu seperti ini, Vanilla?”

Pertanyaan bodoh itu membuat Vanilla mendongakkan kepala dan membuat mereka saling bertatapan. “Memangnya kamu berharap aku bersikap seperti apa, Aryan?”

“Ya, biasa saja. Jangan terlalu ketus, seperti aku punya salah saja,” ucap Aryan enteng.

Aryan masih sama seperti dulu. Tidak pernah menyadari kesalahan yang sudah diperbuat. Bahkan ia tidak sadar jika menjadikan Vanilla taruhan itu adalah kesalahan yang besar.

Kaki Aryan semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Tubuh Vanilla terdorong hingga menempel pada tembok.

“Aryan, apa yang kamu lakukan!” Vanilla merendahkan suaranya sambil berulang kali menoleh ke arah tangga untuk memastikan Zayn tidak melihatnya.

“Kamu sekarang galak sekali, Vanilla. Semakin membuatku penasaran,” bisik Aryan yang membuat bulu kuduk Vanilla meremang seketika.

“Buang pikiran gila kamu, Aryan!”

“Kenapa? Karena kamu sudah punya anak dan suami?” Aryan terkekeh. “Bukan masalah besar.”

Vanilla mendorong tubuh Aryan. “Keluar dari sini, Aryan!”

“Baiklah baiklah. Kamu ini galak sekali, persis seperti anak kamu. Tidak punya sopan santun, dasar berandalan kecil.”

Melipatkan tangan di depan dada sambil mendesah jengah. Berandalan yang disebut oleh Aryan itu tidak lain adalah anaknya sendiri. Seorang putra yang mewarisi sebagian besar sifat berandalan dari Aryan.

“Jangan mengatai anakku. Cepat pergi!”

“Aku akan datang besok, dan besoknya lagi,” ucap Aryan sambil tersenyum.

“Kamu nggak punya pekerjaan apa?”

“Punya. Aku baru saja selesai meeting di The Heights hotel. Aku sebenarnya sibuk Vanilla, tetapi tetap ada waktu untuk kamu,” tutur Aryan sambil mengedipkan salah satu matanya. Lantas ia berjalan keluar dari toko.

Vanilla mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambut frustrasi. Kenapa Aryan justru semakin mengusik hidupnya? Di saat pernikahan dengan Gavin tinggal menghitung bulan saja.

“Hah!” Vanilla mendesah sambil mengamati mobil sport Aryan yang melaju pergi.

Hidup Vanilla yang awalnya tenang kini kembali rumit dengan kedatangan Aryan.

“Ngapain bedebah itu datang kesini?” Suara Tante Lina terdengar bersamaan dengan lonceng pintu toko.

Vanilla terdiam. Ia duduk di sofa sambil menyugar rambutnya frustrasi.

“Dia tinggal di sini? Katakan Vanilla!” tanya Tante Lina.

Kepala Vanilla mengangguk sebagai jawaban. “Dia sekarang pemilik The Heights hotel.”

Tante Lina langsung duduk di samping Vanilla. Suara Zayn yang bernyanyi di lantai dua membuat Tante Lina mengusap pundak Vanilla. Ia sangat membenci sikap Aryan kepada Vanilla. Namun setiap melihat Zayn, maka pikiran lain muncul di benaknya.

“Kamu memberitahu Aryan mengenai Zayn?” tanya Tante Lina dengan suara lirih.

“Tentu saja nggak, Tante. Nggak akan pernah!” jawab Vanilla dengan nada penuh penekanan.

TO BE CONTINUED…. 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO adalah Maut    Bab 51- Akhir cerita

    Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti

  • CEO adalah Maut    Bab 50- Menjelang Final

    Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga

  • CEO adalah Maut    Bab 49 - Mencintainya

    Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr

  • CEO adalah Maut    Bab 48 - Aryan pergi

    BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&

  • CEO adalah Maut    Bab 47-Sebaiknya pergi

    BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput

  • CEO adalah Maut    Bab 46 - Pencarian Zayn

    Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status