“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”
Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.
“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.
Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.
Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.
“Argh!” Jemari Aryan meremas pegangan kursi hingga kukunya memutih. Kepalanya masih menengadah, diikuti gelenyar hangat yang perlahan keluar. Aryan menggeram seraya membuang napas kasar. Ia membuka mata lalu menoleh pada pribadi yang sedari tadi sudah bekerja keras memuaskan miliknya.
“Kamu yang terbaik, Aryan,” ucap Sarah sambil mengusap bibirnya yang basah dengan sensual.
“I know,” jawab Aryan sambil menyeringai. Namun, pujian itu tidak terlalu menghibur hati Aryan. Ia ingin Vanilla yang mengucapkan kalimat itu dengan raut wajah mengiba. Menggantikan posisi jalang yang sedang bersimpuh di bawahnya.
Sempat Aryan memiliki fantasi kepada Vanilla. Meminta wanita itu untuk memuaskan miliknya yang sudah dilumuri cokelat atau saus stroberi. Sayang, Aryan belum bisa mewujudkan fantasi liar itu bersama Vanilla. Membayangkan bibir dan lidah wanita itu menari-nari saja sudah membuat jantung Aryan berdesir.
Menarik tisu untuk membersihkan miliknya lalu Aryan beranjak. Ia melewati Sarah begitu saja, tanpa terima kasih. Well, lagipula untuk apa berterima kasih? Wanita itu yang selalu mendatangi Aryan dan menggoda. Tentu saja Aryan tahu jika permainannya selalu membuat wanita ketagihan. Tetapi tidak akan ada kegiatan bercinta dengan wanita yang sama. Begitulah Aryan memperlakukan para jalang itu. Seperti sarung tangan sekali pakai.
“Aryan, apa kamu tidak mau melakukan hal lain bersamaku?” tanya Sarah sambil mengenakan celananya.
Aryan terkekeh mendengarkan pertanyaan itu. “Jalang tidak boleh banyak menuntut, Sarah. Lagipula kamu tahu bagaimana prinsipku.”
“Aku akan mematahkan prinsip itu, Aryan,” ujar Sarah yang sudah berulang kali berusaha melakukannya, dan selalu gagal. Semua usaha Sarah berakhir dengan permainan mulut di bawah sana. Bahkan ia tidak akan mendapatkan kecupan dengan permainan lidah yang ahli dari Aryan. Well, Aryan tidak pernah mencium jalang yang dipesan.
Aryan membalikkan tubuh setelah mengancingkan celana. Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Selamat berjuang, Sarah. Sekarang keluarlah, aku bosan melihat wajahmu lama-lama.”
Raut kecewa muncul di wajah Sarah, seolah harapan untuk menjadi kekasih Aryan Aditama kembali patah. Ia memungut tasnya di lantai dan keluar dari kamar tamu Blue Sapphire, villa keluarga yang biasa digunakan ketujuh putra Aditama untuk berkumpul.
Aryan mengayunkan kaki keluar dari kamar dan berjalan ke pantry untuk menghilangkan dahaga.
“Ah!” Pegangan tangan pada gelas semakin mengerat kala ucapan Vanilla kembali meracau pikiran. “Vanilla, aku akan membuatmu bertekuk lutut di bawahku!”
“Astaga, Aryan! Kenapa Leona galak sekali hari ini? Aku dipelototin terus pas lewat kandangnya,” cerocos Jival yang baru saja datang dan melemparkan tubuh di sofa panjang ruang tengah. “Kamu harus beri makan Leona yang banyak, biar dia nggak pengen makan satu per satu penghuni villa ini.”
“Leona hanya makan daging berkualitas tinggi, dan tentu itu bukan kamu,” jawab Aryan sambil berlalu. Ia sedang malas menanggapi ocehan saudara tirinya.
“Hei! Dagingku sangat berharga! Apalagi yang ini, nakal tetapi sangat berharga. Ya kan junior?” Jival menunduk ke bawah sambil mengelus miliknya dengan bangga. Ia baru saja berhasil meniduri seorang putri konglomerat dan menang taruhan dari Jai.
Sementara itu, Aryan merebahkan tubuhnya di kursi malas pinggir kolam renang. Bayangan Vanilla dan Zayn kembali datang meracau benak.
“Ck! Vanilla itu sangat menyebalkan! Apalagi anaknya. Dia harus diajarkan sopan santun! Aku yakin pasti ayahnya berandalan yang menyebalkan.” Aryan terus berbicara sendiri.
“Seperti kamu?”
Suara Narendra membuat Aryan menoleh dan mendapati pribadi sang kakak ikut merebahkan tubuh di sampingnya.
“Apanya yang seperti aku?”
“Berandalan menyebalkan,” tukas Narendra sambil terkekeh. “Kamu masih memikirkan wanita yang meninggalkanmu itu?”
“Ternyata dia tinggal di Bali. Aku baru saja bertemu dengannya.” Helaan napas terlontar dari bibir Aryan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya sangat tidak sopan dan berani mengataiku. Dasar berandalan kecil.”
Narendra masih menikmati paparan sinar matahari yang membakar kulitnya. Dengan mata terpejam ia berceletuk, “kamu menyukai Vanilla?”
Mendengar ucapan sang kakak, sontak Aryan menoleh. “Suka? Tidak mungkin! Hubungan kami tidak sejauh itu. Hanya sekedar teman tidur, tidak lebih. Aku cuma penasaran aja sama alasan dia pergi.”
“Mencampakkanmu lebih tepatnya,” timpal Narendra.
Aryan paling benci kata itu. Meskipun sangat tepat untuk menggambarkan kondisinya bersama Vanilla.
Jemari Aryan lantas berselancar di layar ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan respon dari nomor yang dituju.
“Cari informasi tentang wanita yang bernama Vanilla prastika. Aku kirim fotonya. Cari tahu semua hal tentang dia. Semua tanpa kecuali. Secepatnya.” Setelah memberikan perintah, Aryan langsung mematikan panggilan.
“Bahkan kamu masih ingat nama lengkapnya. Apa lagi yang kamu ingat tentang wanita itu, Aryan? Apa kamu juga masih ingat lingerie yang dia pakai saat bercinta denganmu?” Narendra menoleh pada Aryan dengan nada meledek.
Merah dan hitam, dua warna yang pernah digunakan Vanilla untuk menyatukan gairah bersama Aryan dulu. Bahkan ia masih mengingat model lingerienya. Gaun pendek transparan dengan lace di pinggiran dada. Ada beberapa tali yang harus dilepaskan Aryan sebelum melakukan penyatuan. Kadang Aryan menggunakan tali tersebut untuk mengikat tangan Vanilla dengan kepala ranjang. Sial! Pikiran Aryan semakin tidak terkendali.
Apapun yang terjadi, ia harus mendapatkan Vanilla. Ia akan membuat wanita itu kembali bertekuk lutut seperti empat tahun yang lalu.
***
“Sayang, Vanilla. Kamu ngelamunin apa?” Suara Gavin membuat Vanilla berjingkat kaget.
“Ya, aku setuju sama pilihan kamu,” ucap Vanilla sekenanya. Bahkan ia tidak ingat topik apa yang sedang menjadi pembahasan mereka.
Gavin menoleh kepada wanita dengan setelan warna abu-abu yang sedari tadi duduk berhadapan dengan mereka.
“Nanti saya hubungi lagi setelah berdiskusi dengan calon istri saya,” ucap Gavin diikuti senyuman simpul.
“Baik kalau begitu, saya permisi dulu Mas Gavin, Mbak Vanilla.”
“Makasih banyak Mbak Hana,” tukas Vanilla sambil menyambut uluran salam wanita itu.
Setelah memastikan wanita yang merupakan salah satu tim wedding Organizer itu pergi, Gavin melemparkan tatapan pada Vanilla. Ia menyadari jika ada hal lain yang dipikirkan oleh sang kekasih.
“Kamu baik-baik aja? Apa ada masalah?” tanya Gavin seraya meraih tangan Vanilla dan menggenggamnya erat.
“Nggak ada kok,” jawab Vanilla sambil tersenyum.
“Kamu yakin nggak ada yang mau diceritakan sama aku? Sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Gavin terus mendesak.
“Yah, aku yakin.” Vanilla menganggukkan kepala untuk meyakinkan Gavin.
Tangan Gavin menyelipkan helaian rambut Vanilla yang terbang karena tiupan angin. “Jangan sungkan buat berbagi rasa sama aku, ya? Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri.”
Vanilla hanya menjawabnya dengan anggukan kepala diikuti senyuman. Pertemuannya dengan Aryan seolah menghancurkan rencana hidup yang sudah disusun sedemikian rupa. Ia hanya ingin menikmati sisa hidup dengan bahagia bersama Zayn. Jika ada Aryan, Vanilla tidak yakin bisa hidup dengan tenang.
“Kamu udah yakin ‘kan buat nikah sama aku?” tanya Gavin yang membuat Vanilla mendongakkan kepalanya.
TO BE CONTINUED….
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka