Share

2. Aldrich Tama Wicaksana

Aldrich menatap seorang wanita cantik yang tertidur di atas ranjang kamar hotelnya dengan begitu nyenyak sampai tidak tega untuk ia bangunkan. Al menarik nafas panjang lalu menekan remot kecil dalam genggamannya, gorden pun terbuka secara otomatis.

Cahaya matahari menerobos masuk dan menyinari hampir seluruh ruangan, sorotannya mulai mengusik mimpi indah si gadis, tapi kehangatan yang dipancarkan membuat matanya enggan untuk terbuka dan lebih memilih mengubah posisi jadi membelakangi sinaran mentari.

Aldrich hanya meliriknya sekilas dan kembali menatap pemandangan diluar dari ketinggian lantai 10, pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Tentu saja, sejak usia 15 tahun ia tinggal di London, Inggris dan baru kembali ke Indonesia setelah berulang tahun yang ke 29. Perpisahan kedua orang tua membuat Al harus pindah dan ikut sang Ibu, lalu kembali karena Ayahnya ingin dia mulai belajar mengurus perusahaan pusat dengan alasan usia beliau yang dirasa sudah tidak akan lama lagi. Al tidak bisa menolak permintaan sang Ayah dan akhirnya pulang ke tempat kelahiran setelah menjalankan anak perusahaan di Ibu kota Inggris itu.

"Ya Tuhan!!!"

Aldrich tersentak kaget, matanya terpejam beberapa saat untuk menstabilkan detak jantungnya kembali. Setelah itu ia berbalik dan mendapati gadis yang diselamatkannya sudah bangun dengan ekspresi terkejut dan terlihat panik.

Langkah kaki Al berjalan mendekat ke arah tempat tidur, keningnya berkerut heran melihat si gadis sibuk menyibakan selimut dan meraba tubuhnya sendiri.

"Tidak terjadi apa-apa." Aldrich paham dengan apa yang sedang si gadis khawatirkan, bagaimanapun mereka berada dalam satu kamar semalaman bahkan tidur di atas ranjang yang sama karena kamar di hotel tersebut sudah penuh. Semua karena liburan tahun baru.

Gadis yang belum Aldrich ketahui namanya itu langsung melayangkan tatapan tajam sambil menjauhkan diri. Namun, sepertinya dia membuat kesalahan karena dengan posisinya saat ini justru memberikan gambaran sempurna seorang Aldrich.

Kemeja kusut dengan dua kancing terbuka membuat dada Al yang begitu bidang terekspos nyata di depan mata. Gadis itu langsung saja memalingkan wajah dan beringsut turun dari atas tempat tidur secepat mungkin. Ia tampak celingukan mencari tas miliknya.

"Di meja sudut." Ucap Aldrich dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam tas.

Gadis itu menatap Al, kurang mengerti.

"Your bag." Kata Al menambahkan.

Barulah gadis itu mengangguk dan mau tidak mau ia harus melewati Aldrich untuk mengambil tasnya di kursi dekat kaca.

"Permisi ...." Ucapnya pelan saat lewat.

Aldrich hanya mengamati sampai si gadis kembali.

Sret.

Tubuh gadis itu menegang saat tasnya tertahan. Kepalanya menengok ke belakang dengan perlahan, lalu tersenyum kikuk saat mendapati Aldrich memegangi gantungan tasnya.

"Apa kau akan pergi dengan pakaian seperti itu?" Ucap Al.

Mata gadis itu membulat sempurna dan langsung terdiam, dirinya baru sadar. Pikiran-pikiran aneh mulai mendatangi kepalanya dan memenuhi otaknya. Dengan cepat tangan mungil itu menarik kemeja lebih ke bawah, berusaha menutupi kaki jenjangnya yang cantik, meskipun percuma saja.

Aldrich berdecak kesal. "Tolong berhenti memikirkan hal yang kotor."

"Tu--tuan ... Siapa yang mengganti baju saya?" Tanya si gadis dengan harap-harap cemas.

"Staff hotel, perempuan." Aldrich melihat gadis itu menghela nafas lega dan otot-otot dikedua bahunya mengendur. "Kamu muntah cukup banyak jadi saya meminta seseorang untuk mencuci your dress, bajunya ada di dalam lemari."

Muntah? Benar. Gadis itu terlihat sangat malu dan merasa bersalah.

"Tidak perlu pura-pura pingsan, lagi."

Uhuk.

Aldrich tahu jika gadis yang ditolongnya pura-pura pingsan sampai benar-benar tertidur dengan sangat pulas karena efek mabuknya juga.

"Pergilah mandi, kalau mau, kamu bisa sarapan dulu." Ucap Al.

"Tidak per--"

Krieuk ...

"Sarapannya akan diantar kemari." Ucap Al sembari merogoh ponselnya dari dalam saku celana bahan, lalu menjauh untuk mengangkat panggilan telpon.

"Tunggu!" Al kembali menahan kepergian si gadis.

Gadis itu tampak menelan ludah dengan susah payah. "I--iya?"

"What is your name?" Tanya Al.

"Na--nama saya, Lyra."

Al kembali fokus pada sambungan telpon, sedangkan si gadis yang masih kebingungan memutuskan untuk mandi agar tubuhnya terasa jauh lebih segar.

Setelah cukup lama berbincang lewat telpon, Aldrich mendudukan tubuhnya di kursi dengan helaan nafas yang terdengar cukup berat. Selang beberapa saat, seseorang menekan bel kamar, Al langsung menghampirinya karena itu pasti staff hotel yang membawakan sarapan. Memang menyenangkan menginap di hotel dengan kamar termahal apalagi pemiliknya adalah orang yang dikenal, semua terasa jauh lebih mudah.

Ceklek.

"Masuklah," ucap Al sembari membuka pintu lebar-lebar.

Bersamaan dengan itu, pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sosok perempuan dengan rambut yang masih sedikit basah. Mata mereka tak sengaja bertemu membuat si gadis bernama Lyra tampak malu hingga memalingkan wajah.

Al bahkan tidak terlalu peduli dan kembali fokus pada makanan yang dihidangkan, dari makanan utama sampai penutup, semuanya ada. Tadinya ia akan meminta makanan lain, tapi sepertinya makanan yang dibawakan sekarang ini cukup untuk berdua, kecuali gadis yang ditolongnya itu rakus.

"Tuan, jika memerlukan hal yang lain bisa langsung beritahu pihak kami. Kalau begitu, kami permisi." Ucap salah satu staf.

Al mengangguk. "Terima kasih."

Al mendudukan diri di sofa, lalu melihat ke arah Lyra yang masih berdiri di tempat sambil memutar-mutar tali tas slempangnya.

"Kemarilah," ajak Al. Sikap dingin, acuh tak acuh sudah sangat melekat dengan pribadi seorang Aldrich. Tapi, meskipun terlihat cuek, galak dan tidak peduli, ia termasuk orang baik. Buktinya adalah Lyra.

Sebenarnya Lyra merasa tidak enak karena sudah sangat merepotkan, tapi perutnya tidak bisa menolak makanan. Apalagi setelah mabuk semalam, semua isi perutnya jadi keluar. Setiap kali mengingat itu ia merasa sangat malu.

"Duduk dan makanlah,"

Lyra duduk tepat di sebelah kanan Al. "Yang mana yang bo--boleh aku makan?"

"Terserah." Jawab Al sembari meminum kopi.

Lyra terlihat senang dan langsung saja mengambil lauk yang terlihat pedas dengan harapan bisa menghilangkan rasa pengar sisa mabuk semalam.

"Terima kasih, Tuan. Saya tidak tahu akan berakhir seperti apa kalau anda tidak datang membantu. Maaf karena sudah sangat merepotkan, padahal kita tidak saling mengenal." Ucap Lyra disela kunyahannya.

"Heem." Jawab Al dengan deheman sambil mengambil roti isi selai strawberry, sesuai keinginannya.

"Semalam itu, dia mantan kekasih saya. Dia sangat ... brengsek!!"

Al tersentak ketika Lyra mengumpat dengan begitu semangat.

"Dia menghamili sahabat saya padahal kami akan menikah satu bulan lagi. Dia sangat menyebalkan. Lalu, setelah dia bercerai, dia ingin kembali. Yang benar saja, memangnya aku apa. Dia kira aku tidak bisa hidup tanpanya, walaupun sebelumnya memang benar, tapi aku sudah terbiasa sendiri. Aku tidak membutuhkannya lagi." Cerocosan Lyra membuat Al takut gadis itu akan tersedak, ia pun memintanya untuk diam dan makan dengan tenang.

"Ssst ... makanlah." Kata Al.

Lyra pun mengangguk sambil terkekeh pelan, dia suka curhat sembarangan. Menurutnya, bercerita pada orang asing terasa lebih nyaman. Beban di hati kita berkurang dan citra diri kita tetap aman karena tidak saling mengenal.

"Maaf, aku terlalu banyak bicara." Lyra kembali memilih lauk untuk menemani sisa nasi di atas piringnya. Sedangkan Al terlihat sibuk dengan ponsel.

***

Lyra dan Al berdiri saling berhadapan dengan posisi Aldrich tepat di ambang pintu.

Lyra menunduk dengan postur hampir 90 derajat dan menahannya untuk beberapa saat, setelah itu ia kembali berdiri tegak.

"Tuan, terima kasih banyak. Terima kasih karena sudah menolong saya, terima kasih karena sudah memberikan tempat tidur dan sarapan dan saya mohon maaf karena sudah sangat merepotkan. Juga ... maaf untuk kejadian semalam, perut saya benar-benar mual dan kepala saya sangat pusing--"

"Sudahlah, itu tidak akan terjadi lagi." Ucap Al.

Lyra mengangguk pelan, benar juga. Mereka hanya orang asing yang tak sengaja bertemu, kesempatan untuk bertemu lagi sangat sedikit, pikirnya.

"Tuan," Lyra menyodorkan selembar sticky note yang bertuliskan nomor ponselnya. "Kalau anda membutuhkan bantuan saya, hubungi saja nomor di sana. Saya pasti akan membantu anda, apapun itu." Ucapnya.

Karena merasa tidak enak kalau harus menolak, Aldrich pun menerima catatan kecil tersebut.

"Baiklah, saya permisi. Sekali lagi, terima kaaaasih banyak!" Ucap Lyra dengan senyumannya, kemudian berlalu dari hadapan Al ke arah lift yang berada di ujung lorong.

Al kembali menarik diri ke dalam kamar, kertas dalam genggamannya sudah tidak berbentuk karena remasan. Lalu, ia melempar catatan berisi nomor ponsel Lyra ke sembarang tempat.

"I need more alone time." Gumamnya sambil berjalan ke arah tempat tidur. Al sendiri tidak tahu akan sesibuk apa dirinya saat mulai bekerja esok hari. Entah kekacauan apa yang terjadi di perusahaan setelah Ayahnya berhenti menangani secara langsung karena masalah kesehatan.

Al kembali menyibukan diri dengan ponsel, menikmati beberapa video di youtube. Siapapun akan merasa terkejut dan menolak percaya jika seseorang mengatakan bahwa seorang Aldrich masih menonton film animasi, wibawa serta kharisma yang ditunjukan sangat bertolak belakang. Lucu sekali. Video yang sedang dilihatnya saat ini merupakan film the Willoughbys, entah sudah berapa kali ia menonton film tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status