Share

7. Kiss Me!

Kecanggungan yang terjadi di restoran tadi masih dapat Lyra rasakan, apalagi saat ini ia hanya berdua di dalam mobil dengan Aldrich yang fokus menyetir. Tanpa Lyra pungkiri bahwa saat ini Aldrich terlihat berkali-kali lipat jauh lebih tampan, rahang tegasnya terpampang nyata di depan mata. Sungguh indah, gumam Lyra terhanyut.

Jarak antara restoran dan kantor yang dekat membuat Lyra tidak bisa berlama-lama di dalam mobil berdua bersama Bosnya yang tampan serta harum, ya, Aldrich memiliki aroma yang berbeda entah itu dari parfum atau apapun, yang pasti Lyra sangat menyukai wanginya.

"Kita sudah sampai." Ucapan Aldrich menyadarkan Lyra dari lamunannya.

Lyra mengangguk, "Terima kasih, Pak." Ucapnya sembari melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

Barulah Aldrich menyusul keluar, ditatapnya punggung Lyra yang perlahan semakin jauh dari pandangan. Tatapan pria itu masih setia dengan ketajaman, tapi tersirat kehangatan di dalam sana. Mungkin tidak akan ada orang yang menyadari hal itu dan memang jauh lebih baik bagi tetap seperti itu.

Aldrich menghela nafas berat sebelum akhirnya melangkahkan kakinya kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan. Jujur saja, Al benci waktu kosong, karena pada saat-saat itulah pikiran-pikiran yang tidak ingin dirinya ingat datang mengepung hingga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa lari ataupun menyuruh pikiran itu pergi.

Bekerja adalah jalan terbaik untuk mengalihkan pikiran. Aldrich merasa bahwa hanya pekerjaanlah yang paling pandai ia lakukan, sisanya nol besar.

Tatapan Al tetap lurus ke depan, ia bahkan tidak menanggapi sapaan-sapaan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengan dirinya.

Nafasnya tiba-tiba terasa berat, pandangannya mengabur tapi Al tetap berusaha melangkahkan kakinya menuju lift yang terdapat Lyra di dalamnya. Lyra tidak tahu kalau atasannya akan kembali ke kantor, jadilah ia menyesal karena tidak masuk bersamaan.

Lyra tersenyum. Senyuman itu tidak bertahan lama saat ia menyadari wajah pucat serta sorot mata sayu atasannya yang sebelumnya tidak pernah terlihat seperti itu. Seketika kepanikan memenuhi kepala Lyra, ia berlari keluar lift dan dihampirinya Aldrich yang berjalan meskipun terhuyung-huyung.

"Pak CEO!" Pekiknya panik saat tubuh Aldrich ambruk menimpa dirinya yang gagal menahan bobot pria itu. Tubuh Aldrich terlalu besar untuk bisa Lyra tahan. Setidaknya Aldrich tidak menyentuh lantai berkat tubuh Lyra yang dengan senang hati ia korbankan sebagai bantalan.

"Pak, Pak bangun ...." Lyra tampak berusaha menyadarkan Al sedangkan yang lain langsung memanggil sopir serta asisten pribadi CEO mereka agar bisa segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Perlahan-lahan mata Aldrich kembali terbuka.

"Pak, syukurlah ... Bertahanlah, sebentar lagi ke rumah sakit." Kata Lyra sembari mengusap keringat yang membasahi wajah atasannya itu.

Aldrich menggeleng. "Ta-- take me home,"

"Nggak, Pak. Bapak harus--"

"No, minta saja Farrel untuk mengantarku pulang." Ucap Aldrich sembari berusaha beranjak dari dekapan Lyra yang terlihat jelas sekali sedang merasa khawatir.

Lyra tidak memiliki pilihan lain pun akhirnya mengangguk. Hingga datanglah Farrel, sang asisten pribadi Aldrich yang segera mengambil alih tubuh Al dari dekapan Lyra dengan bantuan yang lainnya.

Lyra terdiam untuk beberapa saat sambil menatap kedua tangannya yang masih bergetar karena rasa takut. Degub jantungnya masih berdetak dua kali lebih cepat. Tadi itu terlalu tiba-tiba, lututnya terasa sangat lemas saat ini.

"Lyra! Hey, lo kenapa?" Syukurlah Adnan datang, ia langsung mendekap kedua sisi lengan Lyra dan membawanya berdiri.

Lyra mengerjap-erjapkan matanya. "Pak CEO, dia tiba-tiba pingsan."

Adnan mengangguk paham.

"Kamu baru kembali dari makan siang bersama di luar, gi-- gimana kalau Pak CEO keracunan makanan? Haa? Masalahnya itu gue yang pilih menunya." Ujar Lyra tak tenang, ia takut disalahkan atas kejadian ini.

"Kalau keracunan, lo juga harusnya udah di rumah sakit, bukan di sini." Kata Adnan.

Lyra menggeleng, "Gimana kalau dia ternyata ada alergi sama makanan yang tadi kami makan? Anand, gimana dong ini? ...."

Adnan langsung saja menarik tangan Lyra pergi dari sana, temannya itu butuh minum dan duduk tenang agar pikirannya bisa kembali normal.

"Pak Al mungkin cuma kecapean, tenang." Ucap Adnan sembari mendudukan Lyra di kursi. "Gue ambilin dulu minum," lanjutnya kemudian berlalu.

Lyra tidak menjawab, dia sibuk mengatur nafas dan berdoa agar CEO favoritnya itu tidak kenapa-napa atau selamanya ia akan merasa bersalah.

Kemudian Lyra menyadari bahwa beberapa karyawati sedang memandangi dirinya dengan tatapan yang bermacam-macam, dari sinis sampai merasa kasihan dia dapatkan. Tapi, terserahlah, Lyra juga tidak bisa melarang mereka satu persatu, tenaganya tidak akan cukup untuk hal semacam itu.

***

Aldrich melirik jam di dinding kamarnya yang ternyata sudah menunjukan pukul 5 sore, seharusnya para karyawan sudah pulang, kecuali mereka yang memiliki lemburan.

Memalukan, Al tidak menyangka jika dirinya akan ambruk di depan karyawannya sendiri. Untung saja keadaannya tidak begitu buruk, Dokter hanya meminta ia untuk istirahat dan tidur yang cukup serta makan dengan teratur. Dan semua anjuran itu memang tepat, Aldrich sering melewatkan jam makan serta memangkas jam tidur habis-habisan dan alhasil tubuhnya terlalu lemah untuk dikendalikan oleh otak yang berusaha tetap terjaga.

Aldrich benci memimpikan hal yang sama, dia benci harus hilang kontrol diri setiap kali mengingat kejadian buruk yang bahkan sudah hampir 5 tahun berlalu.

Alasannya meninggalkan London pun untuk hal yang sama, Al ingin memulai awal baru dengan nuansa yang berbeda. Tapi, kehadiran Lyra, kemiripan gadis itu tidak membiarkannya lupa. Hanya saja, ingatan kali ini tidak terlalu menakutkan, gadis itu justru mengingatkan Aldrich mengenai beberapa kenangan indah nan baik.

Raut wajah panik yang Lyra pancarkan tiba-tiba melintas.

"Haruskan aku menghubunginya?" Gumamnya bertanya pada diri sendiri. Entah untuk apa, tapi Aldrich hanya ingin meyakinkan Lyra bahwa dirinya baik-baik saja.

Namun, selang beberapa saat kemudian seseorang menekan bel apartemennya. Satu, dua kali Aldrich masih membiarkannya, hingga yang ketiga kali belnya tidak berbunyi lagi dan giliran ponselnya yang berdering.

Aldrich meraih ponsel yang ia simpan di atas nakas samping tempat tidur.

"Lyra ..." Gumamnya membaca nama kontak pemanggil.

Klik.

"Hal--"

"Pak! Tolong biarkan saya masuk, saya takut. Di lorong ini sepi." Aldrich tersenyum lucu mendengar suara Lyra yang terdengar panik sendiri.

Ternyata gadis itu yang mengetuk pintu apartemennya, baguslah. Seperti tahu bahwa Aldrich baru saja berpikir untuk menghubungi dirinya, sekarang Lyra benar-benar datang.

Aldrich pun beringsut turun dari atas tempat tidur dan pergi keluar.

"Halo, Pak? Pak? Bapak kok diem aja? Ada yang ingin saya sampaikan." Lyra semakin mengeratkan pelukannya pada sebuah map coklat sembari melirik kanan dan kiri.

Lyra hendak menekan bel kembali dan bersamaan dengan itu pintu terbuka.

Ceklek.

Mata Lyra membola saat mendapati Aldrich sendiri yang membukakan pintu. Melihat Bos tampan favoritnya ada di depan mata tentu saja Lyra langsung tersenyum sambil menyudahi panggilan dan menyimpan ponselnya ke dalam tas.

Aldrich melebarkan pintunya, "Silakan,"

Dengan senang hati Lyra melenggang masuk ke dalam.

"P--Pak, kenapa anda sendiri yang membukakan saya pintu?" Tanya Lyra sembari mengedarkan pandangannya kesetiap sudut ruangan.

Lyra takjub dengan apartemen mewah milik Aldrich, sangat berbeda dari apartemen sewaannya yang mungkin hanya seluas ruang tamu unit ini.

"Duduklah, aku akan membawakanmu minum--"

"Jangan!" Lyra langsung menghadang langkah Aldrich yang hendak pergi. "Gak usah, Pak. Bapak masih kurang sehat, muka Bapak masih terlihat pucat. Lebih baik kita duduk saja, jadi saya bisa segera pergi." Katanya.

Aldrich mengangguk, "Baik, duduklah."

Merekapun duduk. Lyra menyodorkan sebuah map di atas meja.

"Apa ini?" Diraihnya map tersebut oleh Aldrich kemudian ia baca dengan mata elangnya yang indah.

"Itu catatan-catatan asli pengeluarkan kita untuk biaya produksi dari tahun lalu dan beberapa bulan belakang, Pak. Saya membandingkan dengan catatan yang Pak Darmawan berikan pada saya dan jumlahnya memang berbeda." Jawab Lyra menjelaskan. "Saya mengintip Pak Darmawan waktu dia lagi ngobrol sama Manajer keuangan. Setelah mereka pergi, saya langsung masuk dan mendapati berkas di laci Pak Darmawan. Karena takut dia kembali, saya langsung saja membawanya dan pergi kemari."

Lyra tampak gugup, saat ini ia hanya bisa memainkan kedua tangan sambil menanti tanggapan Aldrich yang masih fokus membaca berkas tersebut tepat di samping kirinya.

Aldrich meletakan berkas tersebut di atas meja, lalu tiba-tiba saja ia menggenggam kedua tangan Lyra dengan eskpresi bahagia.

"Terima kasih." Ucapnya. "Terima kasih banyak, bukti ini bisa memperkuat bukti temuan kita sebelumnya. Dengan ini, dengan ini Kakek tidak akan bisa menghentikanku untuk memecat kerabat jauhnya yang korup itu."

Lyra terbawa rasa bahagia, untuk pertama kalinya ia melihat Aldrich tersenyum lebar hingga gigi rapihnya terlihat.

~chup ...

Aldrich mengecup punggung tangan Lyra hingga membuat gadis itu terpaku, diam mematung dengan mulut sedikit terbuka. Rahangnya hampir terlepas saking terkejutnya.

Sedangkan Aldrich tidak menyadari apapun, rasa lega sedang memenuhi dirinya. Lain dengan Lyra yang sibuk mengatur detak jantung, ciuman Aldrich pada punggung tangannya terasa seperti sengatan listrik yang menjalari seluruh tubuh.

"Pak CEO ..." Panggilnya pelan.

Aldrich langsung menengok. "Ya?"

Lyra terlihat menelan ludah dengan susah payah.

"Ada apa?"

~chup ...

Kini giliran Lyra yang mencium pipi Aldrich secepat kilat. Setelah itu ia tidak berani mengangkat kepala dan sebisa mungkin menghindar dari tatapan mata pria yang entah sejak kapan dirinya sukai. Apakah sejak malam tahun baru? Atau justru semenjak mereka sering berinteraksi saat mencari bukti korupsi? Entahlah, Lyra selalu berusaha untuk mengabaikan perasaan anehnya, tapi kali ini tidak. Lyra sudah tidak bisa menahannya lagi.

Tentang patah hati. Lyra sudah mengalami hal buruk sebelumnya, tidak ada alasan untuk merasa takut.

"Sa-- saya menyukai anda, Pak. Maaf karena sudah lancang, saya hanya ingin mengungkapkannya saja. Rasanya terlalu sesak untuk ditahan lebih lama lagi." Kata Lyra dengan masih tertunduk.

Aldrich masih berusaha untuk mencerna yang sedang terjadi.

"Tolong jangan pecat saya." Mohon ia setelahnya.

"Ya, tentu saja." Ucap Aldrich.

Lyra memberanikan diri untuk menatap wajah tampan atasannya itu. "Lalu, bagaimana dengan perasaan saya? Apa anda--"

"Terima kasih, tapi maaf karena aku tidak bisa membalasnya." Potong Aldrich tanpa pikir panjang.

Hati Lyra terasa diremas dengan kuat, dadanya seaakan ditikam benda berat hingga membuat nafasnya tercekat. Untuk pertama kalinya ia membuat langkah lebih dulu, dan ternyata dia telah keliru.

"Tapi Pak ... anda sudah bersikap sangat baik terhadap saya."

"Maaf karena sudah membuatmu salah paham." Kata Aldrich yang kembali memperjelas bahwa dia telah menolak ungkapan cinta dari karyawatinya sendiri.

Mata Lyra memanas, kedua telinganya pasti sudah mulai memerah karena menahan tangis.

"Apa anda tidak mau mempertimbanya terlebih dulu?" Tanya Lyra memastikan. Ia masih tidak terima dengan penolakan pria tersebut.

Aldrich menggeleng. "Sebaiknya kamu yang berpikir ulang. Semuanya terlalu cepat, bisa saja kamu salah mengartikan perasaan."

"Ya Tuhan ... aku bodoh sekali. Bisa-bisanya menyukai Bos sendiri, pimpinan perusahaan yang sudah pasti tidak akan tertarik pada karyawati biasa sepertiku ini." Lyra tampak menyesali kecerobohannya. Dan sekarang, Aldrich pasti membenci dirinya.

Aldrich pun sama bingungnya. Ia tampak menyugar rambut sambil mendesah lemah. "Bukan itu alasannya, ini hanya tidak masuk akal. Aku tidak bisa menyukaimu hanya dalam beberapa bulan."

Lihatlah, pria itu pasti sedang berpikiran bahwa Lyra adalah gadis yang mudah sekali jatuh cinta pada seorang pria. Aish, sial.

Lyra menggeleng. "It's almost 5 month since we talked."

"Obrolan serta pertemuan kita selalu formal, bagaimana mungkin kamu berpikir kalau aku menyukaimu dalam hal romantis." Kata Aldrich.

Lyra mengangguk paham. "Ya, maafkan saya ... lupakan saja, saya tidak ingin hubungan kita menjadi canggung."

"Tentu."

Selama ini Lyra mengira bahwa perlakuan Aldrich terhadap dirinya memiliki makna lain. Ternyata pria itu hanya berusaha bersikap baik saja.

"Kalau begitu, apa saya boleh meminta sesuatu?" Tanya Lyra.

Aldrich mengangguk. "Katakanlah, akan kuberikan. Apapun itu."

Lyra menegakan punggungnya. "Kiss me."

Darn.

Mata Aldrich membola, ia tidak menyangka bahwa Lyra akan meminta hal itu. Aldrich sudah berjanji akan mengabulkan keinginannya, sudah tidak ada jalan keluar lagi.

"Dimana tepat yang ingin kucium?" Aldrich bertanya.

"Bibir."

Aldrich mengangguk. Ia mulai bergeser lebih dekat, tangan kanannya bergerak, meraih tengkuk Lyra dan dengan perlahan tapi pasti hal itupun terjadi.

Lyra terpejam ketika sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya, bergerak pelan dan semakin dalam, semakin memabukan. Refleks kedua tangannya mengalung pada leher Aldrich berharap kejadian itu tidak cepat berakhir.

Begitupun dengan Aldrich, tangan besar pria itu menekan pinggang ramping Lyra sambil memperdalam ciumannya. Rasanya sangat nyaman dan melegakan. Entah apa yang terjadi tapi Aldrich pun terlihat tidak ingin cepat-cepat mengakhiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status