Raditya melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu yang berada tepat di dekat ruangan CEO-nya. Karena siapapun tak mendapatkan akses masuk ruangan CEO tanpa persetujuan darinya. Raditya memasuki ruangan dan dilihatnya di sana sudah duduk Pak Arya, sahabat sang ayah yang selama ini dikenalnya.
Mengetahui Raditya memasuki ruangan, Pak Arya tersenyum hangat. “Kerja bagus, Radit. Aku yakin berkat kepemimpinanmu, perusahaan ini bisa melewati masalah IT tadi dengan baik.”
Raditya hanya menanggapinya dengan anggukan ringan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya yakin kedatangan Bapak bukan hanya untuk memuji saya.”
Pak Arya tersenyum tipis. “Kamu benar. Aku ingin menanyakan tentang warisan teknologi dari ayahmu. Aku berharap kamu mau mempertimbangkan untuk melanjutkannya, Radit. Teknologi itu adalah peninggalan besar yang bisa membawa perubahan besar.”
Raditya menghela napas. “Saya belum memikirkannya, Pak. Saat ini perusahaan masih menjadi fokus utama saya.”
Pak A
Weekend pun tiba. Seperti rencana kemarin, Raditya sudah bersiap untuk menjemput Alya di rumahnya. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar rumah Alya. Ia mengetuk pintu dan tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok Alya yang sudah siap dengan penampilannya yang begitu menawan.Raditya terpaku sejenak. Alya mengenakan dress selutut berwarna biru muda dengan potongan sederhana namun elegan, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan anggun. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, sebagian diikat ke belakang dengan pita kecil berwarna senada dengan bajunya. Wajahnya berseri di bawah sinar matahari pagi, dan bibirnya yang dihiasi lipstik natural tampak begitu sempurna.“Kamu…” Raditya kehilangan kata-kata. Matanya menelusuri wajah Alya dengan takjub. “Kamu sangat cantik.”Alya tersenyum kecil, namun rona merah langsung menjalari pipinya. “Terima kasih.”Raditya masih menatapnya deng
Raditya masih menggenggam tangan Alya, seakan enggan melepaskannya. Keheningan di antara mereka terasa begitu dalam, seolah ada banyak hal yang ingin mereka katakan, namun tak satu pun dari mereka yang berani memulai.Alya menarik napas dalam dan berusaha mengendalikan debaran jantungnya. “Radit, tadi kamu mau bilang apa?”Raditya menatapnya sejenak, lalu menggeleng dengan senyum tipis. “Nanti saja. Aku tidak ingin mengatakannya di saat seperti ini.”Alya mengernyit. “Kenapa?”Raditya menatap laut yang membentang luas di hadapan mereka. “Karena aku ingin momen itu spesial.”Alya terdiam. Kata-kata Raditya membuatnya semakin penasaran. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, seorang staf mendekati mereka dengan sopan.“Tuan Raditya, makan siang sudah disiapkan.”Raditya mengangguk. “Baik. Ayo, kita makan dulu.”Mereka berjalan menuju ruang makan kapal
Raditya menutup telepon dengan ekspresi berpikir. Ia menatap Alya yang masih menikmati hembusan angin di tepi pantai, senyum kecil tersungging di bibirnya. Sejujurnya, ia tak ingin buru-buru kembali. Hari ini terasa begitu sempurna, dan ia ingin menikmati setiap momennya bersama Alya.“Ada apa?” tanya Alya, menyadari Raditya yang masih terdiam.“Cuaca katanya akan memburuk dalam beberapa jam ke depan,” ujar Raditya pelan. “Asistenku menyarankan kita kembali ke kapal lebih awal.”Alya menoleh ke langit yang mulai tertutup awan tipis. “Tapi masih terlihat baik-baik saja.”Raditya mengangguk. “Itulah yang membuatku ragu. Aku ingin kita tetap di sini sedikit lebih lama, menikmati tempat ini. Tapi kalau situasinya berubah tiba-tiba, aku tidak ingin mengambil risiko.”Alya terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin kita bisa tetap di sini, tapi jangan terlalu lama. Aku ingin menikmati
Raditya berdiri di depan pintu rumah Alya, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin elegan. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Malam ini adalah malam yang penting, malam di mana ia akan mendengar jawaban Alya.Pintu terbuka perlahan, dan saat itu juga Raditya merasa dunianya berhenti berputar. Di hadapannya, Alya berdiri dengan anggun dalam balutan gaun putih panjang yang jatuh dengan sempurna di tubuhnya. Rambutnya disanggul sederhana dengan beberapa helai rambut yang dibiarkan tergerai, membuatnya terlihat semakin mempesona.Raditya menghela napas takjub. "Alya... kamu... luar biasa malam ini."Alya tersipu, jemarinya meremas clutch kecil yang dipegangnya. "Terima kasih, Radit. Kamu juga terlihat sangat tampan malam ini."Raditya tersenyum, lalu mengulurkan tangan. "Kita berangkat?"Alya mengangguk dan menggenggam tangan Raditya, merasakan kehangatan yang begitu nyata di sana. Raditya menuntunnya ke
Raditya merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi berat. Nama itu - Darian Pradipta - terdengar begitu asing, namun sekaligus sangat akrab dalam hidupnya. Ia menatap Alya yang masih menunggu jawaban darinya, ekspresi wanita itu penuh tanda tanya.“Ayahmu? Bukankah beliau sudah tiada?” ulang Alya dengan suara pelan.“Bukan ayah kandung,” jawab Raditya singkat.“Ayah tirimu?” tanya Alya kembali.Raditya mengangguk, lalu berbalik ke arah pelayan. “Bawa dia masuk.”Pelayan itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membungkuk dan keluar dari ruangan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka kembali, dan masuklah seorang pria dengan jas abu-abu yang rapi. Wajahnya tegas, dengan sorot mata tajam yang penuh wibawa. Pria itu tidak langsung berbicara. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap putranya dengan pandangan sulit ditebak.Raditya bangkit dari kursinya, berdiri tegap. “Apa yang Ayah la
Malam itu, Pak Darian pulang ke kediamannya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh pertemuannya dengan Raditya dan Alya. Ia tak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang menggelayuti hatinya - perasaan yang ia tahu berasal dari kekhawatiran dan ketidakmampuannya menerima kenyataan.Sesampainya di rumah, ia mendapati Bunda Liliana sedang duduk di ruang keluarga, menyeruput teh hangat sambil membaca buku. Wanita anggun itu menoleh begitu melihat suaminya masuk.“Kamu pulang lebih awal,” katanya dengan nada lembut.Pak Darian mengangguk dan melepaskan jasnya, lalu duduk di sofa berhadapan dengan istrinya. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, “Aku bertemu Raditya tadi malam,” ungkap Pak Darian.Bunda Liliana mengangkat alisnya. “Oh? Bagaimana kabarnya?”“Dia baik.” Pak Darian terdiam sesaat sebelum melanjutkan, “Dan dia bersama wanita itu, Aly
Pagi ini, embusan angin lembut menyapa wajah Alya saat ia melangkah keluar dari rumahnya. Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mengilap sudah menunggu dengan mesin menyala. Raditya, atasannya sekaligus pria yang semalam telah ia terima cintanya kini semakin dekat dengannya, turun dari mobil dan membuka pintu untuknya."Pagi, Sayang," sapanya dengan senyum hangat.Alya tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa canggung. "Pagi, Pak. Kamu nggak harus jemput aku setiap hari, tahu? Aku bisa naik taksi atau kendaraan umum."Raditya menghela napas dan menutup pintu setelah Alya masuk. Ia berjalan ke sisi lain mobil dan duduk di kursi pengemudi sebelum menatapnya dengan intens. "Di luar kantor, jangan panggil aku Pak. Aku nggak mau kamu capek di jalan, Alya. Aku ingin memastikan kamu aman dan nyaman. Apa itu salah?" tanya Raditya.Alya terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suar
Matahari mulai condong ke barat saat Raditya dan Alya berdiri di depan sebuah mansion megah dengan pilar-pilar tinggi dan ukiran klasik yang memperlihatkan kemewahan keluarga Wijaya. Alya menelan ludah, tangannya yang berada dalam genggaman Raditya terasa dingin."Kamu siap?" tanya Raditya, suaranya lembut namun penuh keyakinan.Alya menatap mata pria di sampingnya, mencari kekuatan. "Aku... tidak tahu. Aku takut mereka tidak menyukaiku."Raditya tersenyum, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. "Bunda akan menyukaimu. Aku yakin itu. Pak Darian... itu cerita lain. Tapi aku tidak peduli tentang dia. Yang penting kita di sini untuk Bunda."Alya mengangguk pelan, menarik napas dalam sebelum Raditya mendorong pintu besar di hadapan mereka. Aroma ruangan yang dipenuhi wangi mawar segar langsung menyambut mereka, sementara marmer putih mengkilap berpendar di bawah cahaya lampu kristal.Di tengah ruangan, seorang wanita elegan berdiri dengan seny
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla