Raditya masih memandangi layar ponselnya setelah menutup telepon dari pengacara keluarga. Wajahnya tegang, seolah sedang mempertimbangkan bagaimana harus menyampaikan berita ini pada Alya.
Alya menelan ludah, merasakan kegelisahan yang mulai merayap di dadanya. "Radit... Apa maksudmu? Kenapa pengacara keluargamu ingin membicarakan sesuatu tentangku?"
Raditya menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. "Dia meminta kita datang ke kantornya besok. Ada sesuatu yang perlu kita bahas, dan itu penting."
Bunda Liliana menyipitkan matanya, jelas merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Raditya, kamu tahu kan kalau Bunda tidak suka setengah-setengah. Katakan saja apa yang mereka bicarakan."
Raditya menatap Alya, lalu kembali ke Bundanya. "Mereka tidak menjelaskan secara detail di telepon. Tapi katanya ini berkaitan dengan keluarga Darel."
Alya terkejut. "Keluarga Darel? Apa yang mereka inginkan dariku? Aku bahkan sudah tidak ada hubungan dengan mereka."
Ruangan terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Alya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan debaran jantung yang tak beraturan. Raditya di sisinya tampak berusaha keras mengendalikan amarahnya, sementara Bunda Liliana menatap pengacara itu dengan sorot tajam."Pak, bukankah ini jelas-jelas tindakan yang mengada-ada?" Raditya akhirnya bersuara, nadanya dingin dan penuh ketegasan. "Keluarga Darel hanya ingin mencari cara untuk menekan Alya. Mereka ingin membalas dendam atas kejatuhan anak mereka."Pengacara itu mengangguk pelan. "Benar. Ini bukan sekadar gugatan biasa. Dari informasi yang kami dapatkan, mereka sudah menyiapkan bukti-bukti yang akan digunakan untuk menyerang reputasi Alya. Mereka ingin membuat seolah-olah Alya memiliki motif tertentu saat memberikan kesaksian terhadap Darel."Alya menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Tapi semua yang aku katakan adalah kebenaran! Aku tidak punya niat lain selain mencari keadilan
Setelah pertemuan itu, Raditya kembali ke kantor NW Tech dan langsung masuk ke ruang server.Di dalam ruang server PT. NW Tech, suasana sunyi mencekam hanya diisi suara kipas pendingin yang berdengung rendah. Cahaya redup dari layar monitor memantulkan bayangan tajam di wajah Raditya. Ia menatap layar laptopnya dengan intens, matanya tak berkedip sedikit pun. Barisan kode bergerak cepat, berpacu dengan pikirannya yang tak kalah gesit.Dengan keahliannya sebagai hacker nomor satu di dunia, ia mulai menelusuri jejak digital yang mengarah pada siapa pun yang telah mencoba menghapus rekaman CCTV PT. NW Tech. Dadanya sedikit berdebar, bukan karena takut, tapi karena gairah menghadapi tantangan. Ini lebih dari sekadar pelanggaran keamanan, ini adalah tantangan personal.Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, membuka berbagai sistem keamanan yang hanya bisa ditembus oleh orang dengan kemampuannya. Ia menyusup ke server cadangan yang tersembunyi di dalam jaringa
Malam itu Alya yang dalam kebimbangan, ia akhirnya menyusul Raditya ke perusahaannya.Setelah beberapa menit, Raditya akhirnya berhasil menghentikan serangan cyber crime, ia juga berhasil memutuskan semua akses jaringan luar yang masuk ke NW Tech.Di ruang rapat PT NW Tech, suasana terasa lega namun masih menyisakan ketegangan yang menggantung. Ruangan besar itu dipenuhi dengan cahaya redup dari lampu LED, menyoroti wajah-wajah lelah tapi puas setelah perjuangan panjang. Raditya bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar meskipun ada kemenangan besar di tangannya. Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, ritme pelan yang mencerminkan pikirannya yang masih berputar.Di seberangnya, Alya menatapnya sambil tersenyum tipis. Ia mencoba menikmati momen ini, tapi jauh di dalam hatinya masih ada sisa ketakutan. Bayangan Darel yang selalu menghantui hidupnya selama ini kini akhirnya terhempas, namun luka yang ditinggalkan masih terasa nyata.Aldo berdiri di samp
Alya membuka pintu rumahnya dengan ekspresi datar saat melihat dua orang yang sudah lama tak ingin ia temui berdiri di hadapannya. Darius Alexander dan Salsabillah Carina Darwin. Orang tua Darel.Udara di luar terasa panas, tetapi hawa yang Alya rasakan lebih panas lagi karena kedatangan mereka. Mata Salsabillah menatapnya dengan penuh kebencian, sementara ekspresi Darius seperti seorang raja yang merasa bisa mengendalikan segalanya.“Alya! Akhirnya kau mau juga membuka pintu!” seru Salsabillah dengan suara tinggi. Wajahnya penuh emosi, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.“Ada apa kalian datang kemari?” tanya Alya, tetap tenang meskipun jantungnya sedikit berdegup cepat. Ia tahu pertemuan ini tidak akan menyenangkan.“Kami ingin berbicara denganmu!” Darius menjawab, suaranya dalam dan berwibawa, namun ada ketegangan yang jelas terasa di balik nada dinginnya.“Silakan bicara, tapi jangan terlalu lama.
Alya menoleh, dan di sana berdiri Raditya. Matanya tajam, rahangnya mengeras, dan sorot matanya penuh kemarahan yang tertahan. Tatapan dinginnya seperti pisau tajam yang siap menusuk siapa saja yang berani menyentuh Alya.Raditya tidak melepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Darius. Dengan suara rendah namun penuh ancaman, ia berkata, "Aku peringatkan kau, Darius Alexander. Jika kau atau keluargamu masih berani mengganggu Alya, maka keluarga Alexander akan berhadapan dengan keluarga Wijaya."Mata Darius seketika melebar. Tangan yang tadi mengepal kini sedikit gemetar. Ia tahu siapa keluarga Wijaya. Bukan sekadar keluarga kaya biasa, tapi salah satu yang paling berpengaruh di Asia. Kekuasaan mereka mencakup berbagai sektor bisnis, politik, dan hukum. Menghadapi mereka sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri.Salsabillah yang masih dipenuhi amarah tidak menyadari perubahan ekspresi suaminya. "Kau pikir kami takut pada ancaman seperti itu?!" seruny
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga ketika Raditya berdiri di depan rumah Alya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena gugup, tapi karena antusiasme yang tak terbendung. Di sampingnya, Bunda Liliana tersenyum penuh arti, sementara Pak Darian berdiri tegap, seperti tameng yang selalu siap melindunginya.Raditya menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Alya yang sedikit terkejut melihat kedatangan mereka."Radit? Bunda Liliana? Pak Darian?" Mata Alya membulat. "Ada apa? Kok mendadak?"Bunda Liliana meraih tangan Alya dengan lembut. "Boleh kami masuk dulu, Nak? Ada yang ingin kami bicarakan."Alya mengangguk, meski jantungnya mulai berdegup tak menentu. Setelah mereka duduk di ruang tamu, suasana sejenak hening. Hanya suara detik jam yang terdengar, seolah mengiringi ketegangan di antara mereka.“Sebentar akan saya buatkan minum,” ujar Alya.Alya pun melangkahk
Malam itu, setelah panggilan misterius yang diterimanya, Raditya segera menghubungi Arman, detektif pribadinya. Meski dirinya sendiri seorang hacker ulung, ia tetap membutuhkan bantuan Arman untuk menghemat waktu dalam melacak nomor tersebut."Arman, aku butuh informasi tentang nomor ini," kata Raditya tegas, mengirimkan detail panggilan yang ia terima sebelumnya.Di seberang telepon, suara berat Arman terdengar santai. "Berikan aku beberapa jam, aku akan cari tahu siapa dalangnya."Raditya menutup telepon dan menghela napas. Tangannya segera bergerak cepat di atas keyboard, meretas ke dalam sistem komunikasi untuk menelusuri jejak digital yang ditinggalkan nomor misterius itu. Matanya menyipit tajam saat melihat pola enkripsi yang digunakan. Tidak cukup canggih untuk menipu seorang Raditya, namun cukup untuk membuatnya mendecak.Beberapa jam kemudian, ponselnya kembali bergetar."Aku punya jawabannya," suara Arman terdengar serius. "Pelakunya buka
Malam sebelum pernikahan, suasana di Mansion keluarga Wijaya begitu hidup. Lampu-lampu kristal berpendar indah, meja-meja panjang dipenuhi bunga segar dan hidangan mewah. Setiap sudut rumah dipenuhi suara tawa dan obrolan hangat. Semua orang terlihat berbahagia, terutama Bunda Liliana yang tak henti-hentinya mengarahkan para staf agar segalanya sempurna."Pastikan bunga mawar putih ini ditempatkan di dekat altar, aku ingin suasana sakral tetap terjaga," ucap Bunda Liliana sambil tersenyum puas melihat persiapan berjalan lancar."Tentu, Bunda. Aku sudah mengaturnya," jawab seorang staf dengan sigap.Di sudut ruangan, Raditya sedang berbicara dengan Pak Darian. Meskipun pria itu adalah suami ibunya, hubungan mereka tidak pernah benar-benar akrab. Ada jarak yang sulit dijembatani di antara mereka. Pak Darian menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu."Besok adalah hari besar dalam hidupmu," ucapnya akhirnya, de
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, “Pelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.”Alya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. “Aku hamil, bukan patah tulang,” celetuknya.“Tetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.” Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.“Aku kangen tempat ini,” gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.“Jangan gugup, Elros,” ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. “Hari ini hari yang baik.”Elros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. “Tapi... kalau dia tidak mau aku?” bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. “Dia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.”Sebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem