“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.
“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”
Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.
“Di mana?”
Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”
Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.
Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik toko itu tahu dia tidak bersalah, tapi tidak mampu melawan suaminya.
“Malam, Bu,” sapa Momo saat masuk ke toko itu.
Senyum pemilik toko itu mengembang saat melihat Momo.
“Momo!!” Dia memeluk Momo dengan eratnya. Dia sangat sayang pada Momo dan dia sangat berharap Momo jadi menantunya. Tapi suaminya tidak setuju dan Momo pun tidak mau.
“Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Saya baik-baik saja, Bu. Ohya, ini Bos saya, Bu. Pak, Ibu ini pemilik toko.”
Harry menyalami ibu itu.
“Bu, Bapak sedang mencari puzzle yang susah buat kemenakannya yang berumur 7 tahun. Anaknya pintar. Cowok. Bisa rekomendasikan?”
“Tentu saja. Ada yang baru. Yang ini! Sebenarnya ini untuk anak berumur 10 tahun. Kalau anaknya suka tantangan, saya rekomendasikan puzzle ini.”
Harry melihat puzzle itu dengan seksama. Sebenarnya gambarnya sangat sederhana, seorang ksatria dan membawa daya tarik tersendiri. Harry melihat potongan puzzle-nya juga agak unik. Seakan-akan banyak jebakan.
“Yang ini juga bagus. Tapi lebih kecewekan sedikit gambarnya. Potongannya sangat berbeda dengan yang gambar ksatria itu. Masing-masing mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Sebenarnya ini untuk anak yang berumur 10 sampai 11 tahun.”
Harry memandang gambar puzzle kedua. Memang terlihat potongannya lebih aneh. Dan gambarnya walau sama-sama ksatria, tapi ini wanita dan puzzle yang satunya pria.
“Kelihatannya Ibu mengetahui banyak puzzle,” kata Harry sambil tersenyum mendengar penjelasan ibu itu.
Momo dan ibu itu tertawa.
“Hehehe, Pak, Ibu Lastri jagonya main puzzle. Sekali-sekali bawa kemenakan Bapak dan bertanding kecepatan dengan Ibu Lastri.”
“Sungguh. Wah, kalau begitu rekomendasi Ibu Lastri pasti mantap. Saya ambil dua-duanya.”
“Hah?! Serius, Pak?” sahut Lastri tidak percaya dan senang.
“Dua rius, Bu,” kata Harry sambil tersenyum manis. Untuk kedua kalinya, Momo terlena dengan senyuman Harry.
Setelah membawa berpamitan dengan pemilik toko, mereka keluar.
“Momo!!” Terdengar suara pria memanggilnya.
Momo memandang ke asal suara itu dan tertegun. Dia sangat tidak ingin bertemu dengan pria itu.
“Kak Boni, apa kabar?” tanya Momo basa-basi.
“Baik. Kamu sendiri? Kenapa kamu tidak masuk kerja hari ini?”
“Saya sudah tidak bekerja di minimarket, Kak.”
“Boni!! Masuk!! Dan kamu, untuk apa datang lagi ke sini?! Mau minta uang sama Boni?!” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari samping toko itu.
“Pa, kenapa marah Momo? Justru dia yang bawa pelanggan ke sini,” bentak Lastri yang berlari keluar saat mendengar bentakan suaminya. Tangannya membuat gestur melambai-lambai ke arah Momo.
Momo mengeerti maksud Lastri yang menyuruhnya cepat-cepat pergi.
“Pak, ayo,” bisik Momo sambil menarik tangan Harry dan berlalu dari sana. Serasa dia ingin berlari sekencang-kencangnya, tapi dia tahu, jika dia melakukan itu, pasti Harry menuntut penjelasan dan dia tidak ingin menceritakan apa-apa.
“Hei, Momo! Kamu belum bilang! Kamu kerja di mana sekarang?!” teriak Boni. Tapi Momo mengabaikan teriakan itu. Di belakangnya terdengar sumpah serapah dari mulut suaminya Lastri.
Mereka kembali ke pusat perbelanjaan. Momo masih tidak sadar dia memegang erat tangannya Harry. Tapi saat tiba di dalam pusat perbelanjaan, Momo malah bingung harus melakukan apa.
Harry meraih tangan Momo dan menggenggamnya dengan erat. Dia membawa Momo ke tempat parkir. Tempat untuk menenangkan diri adalah di tempat yang sepi.
Harry membukakan pintu mobil dan mendorong Momo masuk. Dia pun masuk ke dalam mobil tapi hanya menyalakan mesin. Dia menunggu Momo merasa tenang baru dia mengantar Momo pulang.
“Pak, sesudah ini mau ke mana lagi?” tanya Momo lirih.
“Aku akan mengantar kamu pulang,” jawab Harry sambil memandang Momo yang masih menunduk.
“Bapak masih ada acara?” tanya Momo. Dia tidak ingin pulang. Dia bisa gila kalau saat ini sendirian.
“Aku hanya mau mengantar kado itu pada kemenakanku.” Harry mengerutkan keningnya. Dia bingung apa tujuan Momo bertanya begitu.
“Bolehkah saya ikut?” tanya Momo lirih dan hampir berbisik.
“Awalnya memang aku ingin membawamu ke sana. Tapi … apa kamu tidak apa-apa kalau ikut denganku?” tanya Harry. ‘Sebenarnya aku ingin memperkenalkan kamu pada orang tuaku, supaya mereka tahu kalau kamu hanya asistennya Gina. Tidak lebih,’ batin Harry.
Orang tuanya sudah lama menyuruhnya menikah, minimal bawa calon menantu ke rumah. Tapi dia tidak tahu kenapa dia tidak berminat sedikit pun pada wanita, malah terasa ingin muntah setiap melihat wanita. Hanya 2 orang wanita yang dia sukai, Mama dan Gina.
Hanya mereka yang membuatnya merasakan yang namanya bercanda dengan wanita. Hal ini sudah lama. Bahkan Mama siap-siap membawanya ke psikiater. Tapi dia menolaknya.
Selama ini dia merasa nyaman dengan keadaannya yang sekarang. Sendiri dan tidak perlu memikirkan perasaan wanita.
Sesampai di rumah, Harry melirik ke Momo. Selama perjalanan Momo menunduk terus, bahkan dia samar-samar mendengar ada isak. Tapi setelah sampai di depan rumah, Momo mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Harry.
Ada terlihat bekas air mata di sudut mata Momo. Tapi dengan tenang, dia mengambil alat make up-nya dan merias diri dengan sangat sederhana.
“Pak, bisa minta tolong?”
“Apa?” Harry menatap Momo.
“Apa kelihatan ada sesuatu pada wajahku? Aku tidak mungkin terlihat sedih di depan anak yang ulang tahun, kan?”
Harry tersenyum. “Tidak. Kamu hebat menutupinya dengan make up. Ayo, kita turun sebelum dia tidur.”
“Eh, jam segini sudah tidur?”
“Jangan salah, dia sangat disiplin menjaga kesehatan dirinya. Aku harus sering belajar padanya,” kata Harry tersenyum lebar. Melihat senyuman Harry, hati Momo terasa tenang. Seolah-olah senyum itu berteriak padanya, semangat!! Fighting!!
Momo mengekor langkah Harry sambil melihat sekelilingnya. Dia tidak berani terlalu dekat dengan Harry, takut kejadian di pusat perbelanjaan terjadi lagi.
“Malam!!” teriak Harry saat membuka pintu depan.
Di ruang tamu tidak terdengar suara apa pun. Dengan keheranan, Harry menuju ke ruang makan. Di sana dia melihat semua berkumpul, tapi tidak ada yang bersuara.
Sambil melangkah masuk, dia memandang satu per satu. Mereka pun memandang Harry dengan tatapan meminta tolong. ‘Hhmmm, dia berulah lagi,’ batin Harry.
Harry melangkah mendekati kemenakannya yang menuduk merajuk. Harry jongkok di sampingnya dan memegang tangannya dengan lembut. Dia tidak menolak, bahkan memegang tangan Harry dengan erat seolah-olah takut Harry akan pergi.
“Clark, Paman belikan hadiah khusus buatmu. Sesudah makan, kita bermain. Jadi kamu makan dulu ya,” bujuk Harry.
Clark mengangkat wajahnya dan memandang Harry kemudian melengos.
“Tidak mau! Clark marah sama Papa!”
Harry memandang pada Mamanya Clark dan mengedarkan pandangannya pada wajah-wajah di meja makan. Harry menghela napas. Sudah 2 tahun berturut-turut, Kakaknya tidak pernah mau menghadiri ulang tahun anaknya. Tidak tahu kenapa.
“Clark, bisa bantu Paman? Paman bawa teman. Kan kasihan, nanti dia lapar. Kamu ajak dia makan, oke?”
“Teman?”
“Iya, teman yang cantik. Oke?” Terpaksa tujuan Harry berubah. ‘Nanti aku harus menjelaskan pada Papa dan Mama, siapa Monita itu,’ batin Harry pasrah.
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan.
Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran.
Momo dan Harry langsung berlari membantu Mira untuk bangun kembali. Mereka tidak memedulikan tawaan dan cibiran orang-orang. Mira sangat marah saat Momo menyentuhnya. Dengan kasar dia menepis tangan Momo, tetapi menyambut dengan senyum manis pada tangan Harry. Sambil menatap Harry dengan intens, Mira mengelus tangan Harry. Harry merasa serba salah. Dia sangat ingin menarik kembali tangannya, tetapi Momo menatapnya dengan tatapan melarang. Akhirnya Harry melayani Mira yang terus menerus menatapnya dengan tatapan menggoda. Dengan izin dari Chu, Mira diperbolehkan tinggal di daerah itu. Namun tidak ada yang memedulikannya. Walau ada rasa enggan, Harry tetap menjenguk Mira. Dia sadar akan tanggung jawabnya. Melihat kebaikan hati Harry, semua penduduk dunia cermin mendukung Harry menggantikan posisi Mira. Namun Harry belum memberi mereka jawaban. “Harry, mengapa kamu tidak segera melakukan pelantikan dirimu jadi penguasa? Apa yang kamu tunggu?” tanya Chu saat sedang menggantikan perban
Mira yang memiliki kecantikan seorang gadis, sekarang berubah menjadi seorang nenek-nenek sesuai dengan usianya. Keriput merajalela di seluruh tubuhya.“Apa yang kamu lakukan, Harry?! Kenapa aku menjadi seperti ini? Tenaga apa yang kamu pakai?! Kembalikan aku pada kecantikan dan kemudaaanku!!” teriak Mira histeris. Namun suara yang awalnya begitu kencang dan tegas, berubah menjadi suara cempreng, suara nenek-nenek yang lemah.Saat Harry melongo melihat keadaan Mira, muncul Devan dan Mischa. Pasukan mereka telah disuruh meninggalkan pos yang sudah diatur sejak awal, karena perubahan rencana. Mereka diminta bersiaga menjaga rumah sakit. Sedangkan Devan dan Mischa yang menawarkan diri untuk mengawasi Harry dari jauh.Saat melihat Mira mengikuti Harry dan Momo, dengan tetap waspada Devan dan Mischa mengikuti dari kejauhan. Namun apa yang mereka takutkan tidak terjadi. Malah Mira kalah dengan keadaan yang sangat aneh.“Harry, kamu pergilah me
Saat kecemasan Momo meningkat, dia merasakan ada tangan yang menggenggam erat tangannya. Dia tidak tahu kalau Harry sudah berada di sisinya sebelum digenggam. Momo bernapas lega saat melihat bola mata Harry.“Wah … wah, kalian telah menyakitiku,” seru Mira sambil tertawa sinis. Mira turun dari mobil serta menghampiri Harry dan Momo dengan tatapan yang tajam, karena sakit hati. Matanya tidak bisa teralihkan dari genggaman tangan Harry pada Momo.“Harry, kamu berbohong ya. Katamu sudah memecat Monita, kenyataannya kamu membawanya ke sini!” bentak Toni dengan marah.“Saya sudah dipecat sebagai sekretaris, Pak Toni. Tapi saya melamar kerja sebagai belahan jiwanya Pak Harry. Apakah itu mengecewakanmu?” kata Momo dengan tenang. Tawa Harry hampir saja pecah saat mendengar Momo mengatakan melamar sebagai belahan jiwanya. Namun melihat kemarahan Mira dan Toni, Harry memilih menyimpannya dalam hati.“Apa-apaan kamu,
“Ada apa?” tanya Tico pada Momo. Tiba-tiba dia disergap rasa khawatir.“Pasukan Mira sedang menuju ke arah sini. Entah dia tahu tempat ini atau hanya mengira-ngira,” timpal Chu.“Dia tidak mengira-ngira! Kemungkinan besar dia tahu tempat ini. Kita harus evakuasi yang tidak bisa bertarung!” perintah Harry. Entah kenapa dia mengeluarkan perintah itu, seolah-olah dia adalah penguasa. Sebagian orang yang mendengarnya langsung bergerak.“Momo, mereka sudah dekat ataukah masih jauh?” tanya sina.“Paling cepat tiba di sini setengah jam lagi,” kata Momo.“Master, kita harus memasang pelindung kita,” pinta Ken.“Kalau kita memasang pelindung, berarti tidak ada yang bisa keluar ataupun masuk,” protes Sina. “Bagaimana caranya kita mengeluarkan yang tidak bisa bertarung? Mereka akan terjebak seperti kita.”“Tetapi kalau kita tidak pasang, mereka
Di belakangnya terlihat beberapa orang mengusung seseorang yang terluka parah. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali karena berlumur cairan merah.Terlihat Chu keluar dengan langkah tergopoh-gopoh. Dia segera menyuruh mereka membawa orang itu masuk ke dalam sebuah kamar. Semuanya mengikuti orang yang diusung itu.“Ada apa?” tanya Sina pada pengusung yang sudah meletakkan orang sakit itu di tempat tidur.“Dia dipukul sama anak buahnya Mira sampai babak belur beberapa hari yang lalu. Terus teman-teman membawa dan merawatnya. Saat masih dirawat, teman-teman lain beri tahu kalau adiknya ditangkap sama Mira, dia menuju ke sana dan merelakan dirinya yang dipukul untuk menggantikan adiknya. Tetapi Mira mengenalinya yang tempo hari dia pukul, sehingga dia dipukul berkali-kali lipat,” kata pengusung itu sambil menghela napas. “Padahal adiknya itu bukan adik kandungnya.”“Kenapa dia dan adiknya dipukul?” tanya Sina.
Momo tidak mampu menyelesaikan perkataannya. Hatinya sangat sesak. Tanpa mengharapkan jawaban, dia mengikuti Chu ke sebuah ruangan.Momo hampir pingsan melihat seseorang yang tergeletak dalam keadaan luka parah. Orang itu tidak bergerak, tetapi Momo masih melihat gerakan dadanya naik turun, walau tidak teratur. Dengan cepat, Momo menghampirinya.“Harry!! Harry!! Bangun!! Jangan tinggalkan aku sendiri,” tangis Momo meraung sambil mengguncang badan Harry.“Kalau kamu mau, kamu bisa menyembuhkannya,” kata Chu.Momo tersentak kaget mendengar perkataan Chu. Dia memandang Chu dengan tidak percaya. Air matanya masih mengalir tanpa henti.“Be…bbenarkah, Master? Saya bisa menyembuhkannya. Bagaimana caranya? Tolong beri tahu pada saya, Master, huhuhu….”“Hanya kamu sendiri yang tahu. Seperti kamu bisa melihat masa depan, begitulah kekuatanmu itu akan muncul jika kamu inginkan.”&ldqu