Share

Bab 6 Salah Tebak

“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”

“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”

“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.

Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.

“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.

“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.

Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereskan meja kerja, Pak.”

Tanpa menunggu jawaban dari Harry, Momo keluar dan menuju ke toilet. Dia mengambil tisu lap tangan dan melipatnya tebal-tebal. Kemudian dia mendekap tisu itu di mulutnya dan berteriak sekencang-kencangnya dengan kesal. 

Seandainya dia disuruh kerja, dia masih mau lembur sampai jam berapa saja. Tapi disuruh makan dan pergi belanja? Sejak kapan dia jadi asisten pribadi?

Momo sangat ingin bertanya pada Gina, tapi dia takut mengganggu Gina yang sedang merawat suaminya. Setelah menenangkan diri di toilet, Momo menuju ke mejanya.

Dia sempat syok melihat Harry berdiri di depan mejanya dan membawa makanan itu. Harry melihat Momo hanya berdiri melongo menatapnya.

“Makanlah. Mungkin kamu sungkan makan denganku. Jadi aku membawanya keluar. Setengah jam lagi, kita keluar dan kabari orang rumahmu, karena kemungkinan akan agak malam baru pulang.” Tanpa menunggu jawaban dari Momo, Harry langsung masuk ke ruangannya.

Setelah Harry menghilang dari pandangannya, Momo langsung melepas napas lega. ‘Kenapa juga aku selalu tegang di hadapannya? Dan mengapa semalaman aku dengannya? Oh, Tuhan, hari pertama yang melelahkan,’ batin Momo dengan kesal.

Pas setengah jam kemudian, Harry keluar dari ruangannya. Momo yang tipe disiplin dengan waktu, sudah menunggunya. Harry tersenyum, dia sangat senang dengan orang yang tepat waktu.

Momo kaget dengan penampilan Harry yang kasual. Dengan kaus v neck yang ketat sehingga memperlihat otot bisep lengannya. Momo hanya bisa menelan salivanya. ‘Apakah di bagian perutnya six pack?’ pikir Momo yang sudah melenceng jauh.

Harry memberi kode jentikan jari di depan wajahnya Momo untuk mengikutinya, membuat Momo jatuh kembali ke ruang kantornya. Momo cepat-cepat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sembunyi-sembunyi. Dia harus menghentikan pikiran kotornya.

Harry melangkah keluar dan Momo mengekor di belakangnya. Momo sempat melirik ke ruangan rekan kerjanya dan terlihat mereka mengikutinya dengan netra mereka. Telinga Momo sempat menangkap sedikit pembicaraan mereka.

“Hei, mau dibawa ke mana itu si Monita? Pasti Monita sakit kepala melihat Pangeran Tampan di depan matanya tapi tidak bisa menyentuhnya.”

“Hahaha, kamu saja yang pikiran begitu, Rina. Tapi kenapa ya Monita terlihat ketakutan begitu? Kasihan.”

“Iya, Ibu Gina juga kaget saat aku memberi tahu padanya.”

“Untung bukan kita yang jadi asisten. Lama-lama aku jadi kurus nih.”

“Sudah saatnya kamu diet, hahaha.”

“….”

Momo tidak mendengar lagi pembicaraan mereka. Dia melirik pada Harry. Entah harry mendengarnya atau tidak. Karena dia terus berjalan menuju lift tanpa komentar.

Aku mendengarnya ibu-ibu. Emangnya aku bikin apa sama Monita ini, sampai kalian mengasihaninya? Untung juga bukan kalian yang jadi asisten. Karena aku sudah pasti tidak ada semangat kerja lagi,’ batin Harry sambil melirik Momo yang menunduk.

“Kamu sudah memberi tahu orang tuamu?” tanya Harry basa-basi.

“Tidak,” jawab Momo singkat. Dia asyik memperhatikan kakinya.

“Kenapa? Tidak takut mereka cemas?”

“Tidak akan. Karena aku tinggal sendiri.”

“Oh.” Harry menjawab dengan cuek, tapi dalam hatinya dia kaget. ‘Pantes saja dia begitu bebas.’

Harry dan Momo berdiam diri sampai tiba di pusat perbelanjaan. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan.

Sesampai di pusat perbelanjaan, Momo mengekor Harry, tanpa berniat mau berjalan di sampingnya. Tiba-tiba bayangan kejadian semalam terbayang di pelupuk matanya. Dia memandang punggung Harry seolah-olah punggung itu adalah layar televisi dan dia sedang menonton cuplikan ciuman ter-hot.

Tiba-tiba Harry menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Momo yang netranya terus menonton adegan kemarin malam, menabrak dada Harry. Terukir bentuk bibir di baju kausnya Harry. Tapi Momo bersyukur, hari ini dia memakai lipstick berwarna peach, jadi tidak sejelas jika memakai lipstrik berwarna merah.

Netra Momo membesar dan ketakutan. “Pak … saya minta maaf,” bisik Momo panik sambil menatap Harry dengan wajah memelas. Dia tidak berani bersuara keras, takut menjadi bahan tontonan.

“Cih, sudah menabrak bikin kotor lagi,” gerutu Harry sambil memandang bajunya yang tertera bibir berlipstik.

“Ma … mmaaf, kenapa Bapak juga berhenti tiba-tiba?” keluh Momo mencoba cari alasan sambil menggosok hidungnya yang sakit juga. 'Tadi aku menabrak apa ya? Keras banget,' batin Momo penasaran.

“Aku berhenti karena kamu, tahu tidak!” bentak Harry sepelan mungkin sambil menjitak pelipis Momo.

“Aduh!! Sshhh, sakit!” jerit Momo pelan. Dia tidak ingin menarik perhatian pengunjung pusat perbelanjaan itu. “Pak, apa salah saya?”

“Aku ini orangnya sensitif. Jadi tahu kalau ada yang melotot memandangi punggungku. Mungkin seharusnya aku menyesal menerimamu. Kamu sama saja dengan dua ibu-ibu yang di kantor!” omel Harry. Kali ini dia benar-benar merasa sedikit menyesal menerima wanita ini hanya karena penasaran. ‘Cih, semua wanita sama saja,’ batin Harry kesal.

Momo menunduk. Kali ini memang salahnya. Berjalan sambil melamun, yang memalukan pula. “Maaf, Pak.”

“Yah, sudah, Kamu bantu aku mencari kaus baru dan hadiah!” kata Harry dingin.

Harry cepat-cepat melangkah. Dia mulai malu saat dua orang wanita perhatikan noda bajunya. Mereka cekikikan sambil menunjuk-nunjuk bajunya.

Setelah mendapat baju baru dan menggantinya, barulah Harry bisa benapas lega. Dia mulai menikmati setiap adegan salah tingkahnya Momo.

“Pak, mau beli hadiah untuk siapa? Mau hadiah apa?” tanya Momo takut-takut. Toko yang baru mereka tinggalkan merupakan toko ke-10. Dia tidak tahu apa yang dicari Bosnya.

“Kenapa baru tanya sekarang?” keluh Harry.

“Heh?! Maaf, Pak.”

Harry mulai bosan mendengar permintaan maaf sejak insiden bajunya.

“Kamu tidak bosan minta maaf ya. Dari tadi minta maaf melulu,” gerutu Harry. “Aku lagi mencari hadiah spesial untuk anak 7 tahun. Cowok.”

“Kesukaannya apa? Maksudku apa dia suka membaca, bermain mobil-mobilan?” tanya Momo lebih lanjut.

“Hhhmm, dia tidak suka mobil-mobilan. Dia juga tidak suka membaca. Anaknya pintar, tapi tidak bisa duduk tenang, kecuali saat belajar matematika.”

“Mau beli rubik kubus?” tanya Momo.

“Sudah pernah kubeli. Tapi sudah dia buang, karena bosan,” tawa harry saat melihat Momo terperanjat. Momo melihat tawa Harry yang mengemaskan sehingga hampir membuatnya terlena. Cepat-cepat dia mengalihkan matanya ke tempat lain seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.

“Dia suka puzzle?” tanya Momo.

“Suka sekali. Tapi belum dapat yang membuatnya puas.”

“Wow, anak Bapak jenius,” kagum Momo.

“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status