POV Namira
Baru saja sebentar tangan mas Aidan ku letakkan di atas perut, ia malah langsung menariknya, aku terkejut. "Ada apa, Mas?" tanyaku. Dia lekas menggeleng. "Tidak, aku baru ingat jika masuk pagi," Ada apa ini, mengapa gelagatnya sangat aneh akhir-akhir ini? Apakah Mas Aidan ada masalah di kantor. Kenapa ia tak pernah bercerita? Sepertinya, aku harus segera menyelidikinya. Setelah mengantar Mas Aidan di pintu, aku mengulum senyum, berharap mendapatkan ciuman di kening seperti biasanya, Namun, setelah menunggu lama, lagi-lagi aku tidak mendapatkan itu. Mas Aidanku telah berubah. Dia tak seperti dulu, yang akan berputar arah pulang ke rumah lagi saat terlupa memberiku kecupan. Aku masuk ke dalam rumah saat mobil Mas Aidan sudah tak terlihat lagi, kuhempaskan tubuh ini di sofa, rasanya semenjak hamil tubuhku terasa sangat lelah. Bukan hanya tubuh, tapi juga hatiku. _ [Sore hari] Tok tok tok! Terdengar suara ketukan di pintu saat aku dengan membaca buku ibu hamil di ruang tengah. "Assalamualaikum...." Aku segera beranjak dari sofa, saat mendengar suara ayah di luar rumah. Aku segera membuka pintu, kemudian tersenyum saat melihatnya. "Walaikumsslaam, ayo masuk, Yah." Aku mempersilahkan Ayah untuk masuk. Pria paruh baya yang sangat menyayangiku itu mengangguk. "Saras, Saras! Tolong buatkan minuman untuk ayahnya Mas Aidan." Aku berteriak, memanggil nama Saras--keponakan Bi Rima, dia juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di sini. Setelah Ayah duduk, tak lama kemudian Saras datang membawa dua minuman di atas nampan. Aku tersenyum, lalu menyuruhnya untuk meletakan di meja. Wajah Saras terlihat berbeda hari ini. Dia seperti sedang senang. Terus tersenyum seperti tengah kasmasaran. Ah, dasar anak muda! Namun tak berselang lama air yang Saras bawah jatuh ke lantai. Sepertinya dia melamun. Entah apa yang ada dalam pikirannya. PRAKK! "Ah! Maaf, Nyonya, aku tidak sengaja." Pekiknya terkejut, saat gelas di tangannya jatuh dan pecah di lantai. "A--aku, akan segera membersihkannya." ucapnya merasa bersalah. "Em, tidak apa-apa, kau buatkan saja lagi." Saras menurut, ia berjongkok mengambil beberapa pecahan gelas itu. Kemudian membawanya menuju dapur kembali. "Hmm, maafkan asisten rumah tangga kami, Ayah." "Tidak apa-apa, Mira. Sepertinya dia tidak sengaja." "Oh, iya, ada apa Ayah datang kemari? Tumben, tanpa mengabari dulu seperti biasanya." Ayah mertuaku itu tersenyum. "Ayah ingin membicarakan sesuatu dengan Aidan. Apa Dia sudah pulang?" Aku menggeleng. "Akhir-akhir ini Mas Aidan selalu pulang larut malam, kurasa malam ini pun dia pulang larut lagi. Sepertinya, ayah harus datang di hari weekend. Mas Aidan tak kemana-mana saat libur." Aku menggigit bibir. Itu dulu, sekarang mana tau, bisa saja Mas Aidan pergi juga saat weekend--tanpa mengajakku. Kudengar Ayah mendesah pelan. "Memangnya ada apa, Yah?" tanyaku. "Jadi begini, Ayah ingin memberitahu Aidan bahwa minggu depan ayah akan menikah. Sebenarnya, ayah takut kalau Aidan tak setuju." HAH? "A-apa?" Apa aku tak salah dengar? Aku mengulum senyum, tidak menyangka bahwa akhirnya Ayah memutuskan untuk menikah lagi setelah bertahun-tahun. "Dengan siapa? Apa Namira mengenal calon Ibu sambung Mas Aidan?" tanyaku memastikan. "Tidak, ayah juga baru mengatakannya padamu. Setelah sekian lama ... rencananya, ingin mengatakan hal ini juga pada Aidan. Tapi anak itu malah tak ada di rumah." Ayah terkekeh. "Baiklah, nanti biar Namira saja yang mengatakannya pada Mas Aidan." Jawabku. Aku memperhatikan sekitar. Kenapa Saras lama sekali? Bukankah aku menyuruhnya untuk mengambil minuman lagi? Baiklah, biar aku saja. Lagipula tak ada camilan di sini. Aku segera bangun, hendak mengambil camilan untuk Ayah, sebab sejak tadi Saras tak kunjung datang. Aku hendak berjalan menuju dapur, namun karena lantai yang licin kakiku tergelincir, aku tak seimbang, "Aaaaaaaaaaaa!" teriakku terkejut. Beruntung, Ayah segera menangkapku, jadi aku tidak terpeleset. Entah apa jadinya jika sampai aku benar-benar terpeleset. "Hati-hati Mira," ucap Ayah. Aku menghela napas. "terimakasih Ayah," balasku. Aku tersenyum kemudian melepaskan pelukan itu, takut jika ada yang melihatnya malah menjadi fitnah. *** [Malam hari] Aku menunggu Mas Aidan pulang malam ini, berharap ia pulang lebih cepat. Dan benar saja pintu terbuka menampakan Mas Aidan, namun ada seseorang di belakangnya yang membuatku tak suka, yaitu Hana. Mau apa dia kemari, aku memutar bola mata malas saat melihatnya. "Mas kau sudah pulang? Tumben pulang cepat?" tanyaku. Mas Aidan tak menjawab pertanyaanku. "Hana ayo duduk, nanti jika kau ingin pulang aku antar," ucap Mas Aidan. "Mas aku masak menu kesukaanmu hari ini, ayo kita makan bersama," aku melingkarkan tangan di lengannya. "Hana, kamu ingin makan?" Lagi-lagi Mas Aidan bertanya tentang Hana bukan tentangku, hatiku berdenyut menyaksikannya. “Iya, aku lapar. Ayok kita makan.” Hana tersenyum, Mas Aidan membalas senyumnya. Kami bertiga berada di meja makan, Bi Rima dan Saras mempersiapkan semuanya di meja makan. Kami bertiga mulai makan dengan tenang, sebelum Hana berbicara. "Aidan boleh aku minta punyamu, kelihatannya enak," ujar Hana, di sela makannya. Mataku membola, Apa-apaan ini? "Tentu," Mas Aidan menggeser piringnya ke arah Hana. "Ah tidak aku hanya minta sedikit, bisa kau suapi aku?" Mas Aidan mulai menyuapi Hana, mataku memanas melihatnya. "Enak, coba kau punya juga," "Tidak," Mas Aidan menggeleng. "Ayolah, ini masakan istrimu." Kemudian Mas Aidan menerima suapan Hana. PRAK! Aku meletakkan sendok di atas meja dengan kencang. Mereka menatapku kemudian melanjutkan menyantap makanan kembali. Aku mengangkat sudut bibir, kemudian menyendok makananku, kuarahkan sendok ini ke arah Hana. "Ayo Hana buka mulutmu, punyaku juga rasanya lebih enak," "Tidak, aku sudah kenyang," wanita dengan rambut sebahu itu menggeleng. "Ayolah, ini demi anakku, ia ingin melihat tantenya di suapi oleh ibunya." Aku tersenyum semanis mungkin. Akhirnya Hana menerima suapanku dengan terpaksa. Ia meringis setelah menerima beberapa suapan dariku, aku sengaja memberikan banyak sambal di setiap suapan untuknya. "Hah, pedas!" "Air, air, aku butuh air," ucapnya seraya mengibas-ibaskan tangan ke mulut. Aku tersenyum, merasa puas. Namun, tak lama. Senyumku lansgung pudar saat melihat Mas Aidan memberikan air minumnya pada Hana. Ah menyebalkan! Hana memegangi perutnya, mungkin sekarang terasa memanas dan perih, seperih hatiku. "Aidan aku ingin pulang...," ia meringis. Mas Aidan menghela napas. "Baiklah, mari aku antar." Aku memutar bola mata malas. "Bukankah kau sudah terbiasa pulang sendiri, Hana?!" sindirku. "Atau, kau memang sengaja, ingin berduaan dengan suami orang!" tandasku. "Jaga mulutmu, Namira!" Mas Aidan membentakku. Aku terkejut mendengar Mas Aidan membentak. "Lain kali jangan begitu, bagaimana jika kamu di posisi Hana?" timpalnya. Aku menatapnya dengan nyalang. "Kenapa kamu membelanya, Mas?!" tak terima, melihat suamiku lebih membela wanita yang jelas ingin merebutnya dariku. "Bagaimana jika Hana ada di posisiku, melihat suaminya suap-suapan dengan wanita lain?!" sambungku, aku menatap tajam ke arah Mas Aidan, Mas Aidan pun melakukan hal yang sama. Kami sama-sama menatap sengit seperti seorang musuh. Aku mengalihkan pandangan, dan segera pergi dari sana. Mengabaikannya, hatiku terlalu sakit.Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p