Part 3 : Tewasnya Panglima Pujaan
Sudah sebulan lebih sepekan sejak kedatangan kurir dari negeri Hajjaz. Para panglima lebih intens berlatih bersama pasukannya. Persiapan perang di bukit Magindu dilakukan tiga pekan lagi.
Mereka akan berangkat, tidak semua ... sejumlah 20.000 pasukan yang diutus dengan beberapa panglima perang. Biasanya hanya belasan ribu orang saja yang dikerahkan, berhubung Al Hajjaz negeri yang terkenal besar, makanya disiapkan lebih. Masih ada lagi sekitar 15.000 pasukan yang tinggal untuk berjaga di sekitar istana. Kakakku berangkat belakangan bersama beberapa pasukan nanti.
Perjalanan ke perbatasan negeri Konstin dengan Al Hajjaz di bukit Magindu memakan waktu sepuluh hari berjalan kaki. Sisa waktu sekitar dua hari tentu untuk mereka beristirahat dan membangun tenda di sana.
Hari ini kami mengadakan upacara meminta keberkahan dari ruh-ruh nenek moyang. Kami menyembelih dua puluh ekor unta, menampung darahnya, kemudian memajang kepala-kepala unta itu di bawah pohon besar di ujung kebun istana. Di sana biasa kami membawa berbagai sesajian untuk mengharap doa kami terkabulkan. Semoga para ruh suci menyampaikan kepada Dewa Dewi semesta agar apa yang kami cita-citakan yaitu kemenangan dalam pertempuran dapat tercapai.
***
"Putri Zara, doakan aku, ya .... " Furka Hajm salah seorang panglima perang terbaik kerajaan Konstin menggenggam jemariku. Ia calon suamiku. Ya, hari ini mereka—pasukan kerajaan Konstin—akan berangkat berperang ke bukit Magindu.
"Pasti ... pasti doaku akan selalu menyertaimu juga pasukan kerajaan kita," ucapku sembari tersenyum, ada desiran hangat di dalam sini.
"Kita akan memenangkan pertempuran seperti biasa," ujar Furka dengan sorot mata yang cerah, penuh percaya diri.
Aku mengangguk mantap. Aku yakin dengan kekuatan pasukan kerajaan Konstin, wilayah kami akan bertambah luas.
Pemuda gagah dan rupawan itu kemudian mengecup pucuk kepalaku lama, lalu ia mengecup punggung tanganku. Hemm, perutku serasa tergelitik. Aku yakin wajah ini sudah memerah seperti tomat masak. Debaran di dada seakan menyesakkan, tapi aku menyukai sensasinya. Dua bulan ke depan kami akan menikah. Telah kubayangkan hidup bahagia bersamanya, kekasih hatiku. Kemudian lelakiku itu berbalik, menuju barisan penunggang kuda, lalu menaiki kudanya. Hemm, betapa gagahnya. Ia melambaikan tangan kepadaku. Kemudian aku pun membalasnya seraya menyunggingkan senyuman kepada sang pujaan hati.
Tiba-tiba ada lengan kekar yang merangkul pundakku.
"Sudaaah, jangan dipandangi teruus. Nanti matamu kering kalau tidak berkedip seperti itu .... "
Huuft, rupanya kakakku. Bibirku manyun, wajah semakin terasa panas ... kupukul bahunya. "Aah, Tuan Raja!" menyebalkan.
"Hahahahaaa ...!" Ia tertawa terbahak, lalu berkata lagi, "Yang lagi kasmaran ... haduuuuh." Ia mengaduh dan memegang bagian bawah dadanya karena aku cubit keras.
"Rasain!"
Kakak terkekeh sambil meringis.
Para budak lelaki dan wanita yang berbaris setelah membantu para prajurit menyiapkan perlengkapannya pun ikut tersenyum simpul melihat aku dan Kakak. Huhuuu ... aku maluuu. Dasar Kakaaaak!
***
Kakak berangkat sehari setelah keberangkatan pasukan inti. Ini sudah hari ke sebelas setelah mereka berangkat. Pastinya pertempuran sudah dimulai. Aku kembali menyiapkan sesajian berupa buah-buahan sebagai persembahan kepada ruh suci. Semoga Dewa Dewi mengabulkan doaku, agar kemenangan tetap bersama kerajaan Konstin.
Aku mengajak Razi ikut bersamaku ke pohon besar di pojok kebun istana. Diiringi beberapa dayang dan budak kami membawa lima buah nampan berisi buah-buahan segar. Setelah sampai di hadapan pohon besar keramat, kami semua duduk bersimpuh kemudian meletakkan sesajian dengan hati-hati. Namun, tanpa sengaja selendangku terselip di antara nampan buah dengan tanah yang tidak rata di bawah pohon tersebut. Nampan itu pun oleng dan menumpahkan semua sesajian yang kubawa.
"Astaga! " Aku kaget sekali dengan insiden ini. Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Perasaanku tak enak. "Apa yang tengah terjadi ...?" gumamku lirih.
Para budak wanita yang mengiringi kami segera memungut buah-buahan yang berserakan, lalu menyusunnya kembali di nampan, kemudian meletakkannya dengan lebih hati-hati. Aku menghela napas dan memegang dada berusaha meredakan debarannya.
"Kenapa, Putri?" Netra bening Razi menatapku heran. Kelopak mata dengan bulu panjang itu mengerjap indah.
Aku pun tersenyum. "Tidak apa-apa, Nak ...," jawabku sembari membelai pundak kecilnya, lalu kami kembali khusyuk dalam doa untuk beberapa saat. Setelah melakukan ritual doa dan sesajian kami pun kembali ke dalam istana.
***
Hari ke empat belas dari keberangkatan pasukan ke bukit Magindu. Tiba-tiba istana terdengar gaduh. Aku yang sedang bermain bersama Razi juga Numa di kebun terkejut. Para budak dan pekerja berlarian menuju depan istana. Kami pun menyusul ke luar.
"Segera tutup semua gerbang benteng istanaaaa!" teriak seseorang. Jantungku berdetak lebih cepat.
Itu ... itu suara Kakakku. Kenapa Kakak pulang lebih awal dari yang lain? Kulihat Kakak bersama beberapa prajurit berkuda sampai di depan pintu utama. Aku dan Razi berlari mendekat ke arahnya. Terlihat Kakak berjalan pincang setelah turun dari kuda. Pahanya terluka!
"A-ada apa, Tuan Raja? K-kau terluka?" Aku sangat panik melihat balutan di kaki Kakak yang sepertinya tidak rapi. Tampak bercak darah di kain pembalut luka itu.
"Ayaaaah!" Razi memeluk ayahnya.
Sembari mengusap pundak sang anak, Kakak menatapku dan berkata, "Pasukan kita kalah, kau dan Razi segera bersiap pergi dari istana. Mereka mengejar!"
Aku ternganga, tak mampu berkata apa-apa. Bagaimana bisa?
"Fu-Furka ...?" Bulir bening menggelantung di pelupuk mataku. Semoga calon suamiku baik-baik saja.
Kakak menundukkan pandangannya, lalu berkata, "Dia tewas .... "
Deg!
Bagai petir di siang bolong, berita apa ini? Air mata pun meluncur tak tertahan. Daging merah di dalam rongga dadaku terasa sakit sekali. Perih!
Tiba-tiba Kakak menoleh ke samping kananku. "Numa ... suruh ibu dan bapakmu menyiapkan kereta kuda dan perlengkapan Zara juga Razi. Kalian pergi dari istana ini. Pergilah ke hutan perbatasan Adora lewat gerbang belakang. Bersembunyilah di sana." Kemudian Kakak menatapku.
Numa yang sedari tadi bersamaku dan Razi pun berbalik, berlari kencang ke arah ruanganku.
"Kau harus selamat, Adikku ... jaga Razi. Aku akan menyusul." Kakak memelukku yang kini terisak dengan tubuh yang gemetar. Ia mengecup dahiku lekat.
Seorang prajurit menghampiri, dengan dada naik turun berusaha mengatur napas. Kemudian berkata, "Tuan Raja, mereka sudah tampak."
Kakak mengangguk, kemudian mendorong pelan tubuhku dan Razi. "Sana, bersiap dan pergi segera," titahnya.
Aku meraih pundak Razi yang saat itu terlihat ketakutan, berjalan mundur menjauh dari Kakakku.
"Aku akan menyusul ...,” ujar Kakak dengan lirih tak terdengar, tapi aku dapat melihat gerak bibirnya. Kemudian berbalik dengan terseok ia bergerak menuju ke arah gerbang istana.
Aku pun berlari menuju ruanganku seraya menggandeng erat lengan kecil keponakan tersayang. Wahai ruh suci, selamatkan kami ....
Terdengar dentuman yang keras membuat diriku dan Razi terperanjat, kemudian membalikkan badan. Kami menatap gerbang istana yang kini sudah terbongkar ... porak-poranda karena diserang dengan manjanik. Riuh teriakan dari pasukan musuh.
"Allaahu Akbaar! Allaahu Akbaar!!"
Seketika suara dentingan senjata beradu pun riuh terdengar. Suara erangan dan lenguhan mengiringi membuat siapa saja yang berada di sana akan bergidik ngeri.
Dengan deru napas memburu dan detak jantung yang bertalu aku mengangkat Razi dan menggendongnya, kemudian berlari kencang menuju ke bagian dalam istana. Walau rasanya kaki ini bergetar dan lemas, aku harus menyelamatkan putra Kakakku, ia penerus keturunan dinasti 'Arb. Aku terus berlari hendak menyusul Numa. Oh, Dewa ... apakah ini akhir dari kerajaan Konstin?
akah ini akhir dari kerajaan Konstin?
Bab 4 : Akhir dari Kerajaan KonstinSambil berlari aku melihat di hadapan, Numa dan kedua orang tuanya telah menunggu. Mereka sudah siap dengan kereta kuda. Ada beberapa kereta yang juga siap pergi, isinya mayoritas anak-anak dan wanita terutama keluarga pejabat kerajaan. Aku mempercepat langkah ini. Kereta-kereta yang sudah siap, langsung pergi menjauh dari istana."Tuan Putri, cepaat!" seru Banu, ayah Numa setengah berteriak.Akhirnya aku dan Razi sampai juga masuk ke kereta tersebut. Numa dan ibunya pun menyusul masuk dengan beberapa pekerja wanita. Banu duduk di depan dengan kusir."Putri Zara dan Pangeran Razi, lekas ganti pakaian kalian," ujar Mina, ibunya Numa.Aku segera menanggalkan perhiasan juga pakaianku, menggantinya dengan pakaian sederhana yang sudah disiapkan. Hal ini agar musuh tidak mengenal siapa kami. Razi dibantu oleh Numa mengganti pakaiannya. Kereta k
Bab 5 : Selamat Datang di Kesultanan Al HajjazHari ini aku dan Razi untuk yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar wilayah kekuasaan Konstin. Biasanya jika kerajaan kami berhasil menaklukkan suatu negeri, kami akan jalan-jalan ke sana dengan perasaan senang. Namun, kali ini kami meninggalkan istana dengan hati yang remuk redam. Akankah kami bisa kembali lagi ke tanah kelahiran kami atau tidak seperti biasanya? Entahlah ....Kami bukan lagi seorang bangsawan, kami hanyalah tawanan perang. Oh, alangkah takdir bagaikan roda yang berputar. Kali ini kami berada di bawah ... apakah dapat kembali ke atas? Sekali lagi, entah.Beberapa kali kami semua berhenti untuk mengistirahatkan orang-orang yang berjalan kaki. Entah berapa hari bisa sampai ke tujuan. Ke perbatasan di bukit Magindu saja butuh sepuluh hari. Sudah tengah hari, matahari begitu terik. Kami disuruh turun dari kereta, dan berteduh di bawah pepohonan di dekat sebuah sumur.&nb
Bab 6 : Apakah Aku Akan di ....Mereka lalu membawaku juga tiga wanita lainnya ke sebuah ruangan. Ada seorang lelaki paruh baya dengan janggut yang sudah memutih di sana."Ini, Tuan." Salah seorang prajurit yang membawa kami berbicara.Pak tua itu memperhatikan kami dengan saksama. Sebentar saja, tapi seolah cukup baginya untuk menilai."Ini untuk Tuan Ashim." Ia menunjuk seorang wanita di antara kami."Ini untuk Umar.""Ini untuk Tuan Rasyad." Ia menunjukku."Dan ini ... untuk Syafiq.""Baik, Tuan," sahut sang prajurit, lalu ia pun pamit.Kemudian kami digiring ke luar ruangan oleh tiga orang prajurit. Aku mendekati seorang prajurit paling depan."Tuan ...," panggilku.Dia melirik sebentar lalu berkata, "Ada apa lagi?""Tuan, aku mau bertemu anakku. Dia bersama kakeknya di sel pria," jawabku sambil berusaha menyamakan langkah
Bab 7 : Apakah Aku Akan di .... (Bagian 2)"Hei, bangun ... Shaki ... bangunlah." Seorang wanita paruh baya dengan tudung kepala membangunkan Zara.Zara mengerjapkan mata, hendak mengembalikan kesadarannya. Sejenak ia memandang wanita asing di depannya. Sontak ia membangunkan tubuhnya dan duduk di pinggir dipan."A-Anda siapa?" tanyanya."Aku Benazir. Aku budaknya Nyonya Marie ...," jawab wanita itu sembari tersenyum hangat."Marie ...?" Dahi Zara berkerut."Maksudku Ummu Rasyad," lanjut Benazir."Oh ...," lirih Zara."Nyonya menyuruhku membangunkanmu, ia menyuruhmu makan siang."Mendengar makan, Zara refleks memegang perutnya yang memang belum terisi. Ia makan tadi pagi sebelum dibawa ke rumah ini oleh prajurit Hajjaz. Benazir berdiri, kemudian membantu merapikan kudung yang dipakai oleh Zara. Ya, sejak ditawan oleh Hajjaz memang ia diwajibkan memakai penutup kepal
Bab 8 : Indah"Hemm, Shaki ...?" Pemuda berwajah tampan itu mengernyitkan dahi ketika melihat Zara yang terduduk memeluk kakinya sendiri dengan tubuh berguncang, karena menangis.Rasyad Najmudin, seorang pria muda dengan prestasi yang gemilang dalam jihad sehingga dipercaya oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima besar. Selain cerdas dan shalih ia juga dianugerahi oleh Allah dengan wajah yang rupawan. Ia berasal dari negeri Andusia, mewarisi mata indah ibunya yang berwarna biru gelap dan mempunyai sorot tajam dengan alis yang tebal, rambutnya gondrong kecokelatan, sedikit bergelombang.Sejak kecil ia sering mengikuti adik dari ibunya yang bolak balik membawa dagangan ke negeri Hajjaz. Sang paman sudah lama memeluk Islam, ketika usia Rasyad dua belas tahun ia pun masuk Islam mengikuti agama pamannya. Ibunya yang tadinya Nasrani sama sekali tidak melarangnya berpindah agama, karena putra satu-satunya itu merupaka
Bab 9 : Mulai Mengetahui"Oh, ya?" tanya Zara seakan tak percaya.Rasyad pun mengangguk-angguk sembari tetap tersenyum. "Aku kelihatan tua, ya?" tanya Rasyad."Bu-bukan begitu, akuu hanya tidak menyangka usia Anda masih sangat muda." Zara menunduk.Rasyad menyugar rambut gondrongnya dengan jemari. "Aku akan menjelaskan beberapa tugas yang harus kau lakukan," lanjut pemuda tampan itu.Zara menyimak."Tugasmu hanya melayani kebutuhanku, menyuci pakaian, membereskan kamar ini. Soal masak, Ibuku dan Benazir biasa melakukan berdua, kau boleh membantu mereka." Rasyad menjelaskan panjang lebar. "Sebenarnya kau harusnya melayaniku juga di atas ranjang, tapi aku akan menunggu sampai kau siap." Rasyad menatap Zara lekat.Semburat merah menghiasi pipi gadis cantik itu. Ia kembali menunduk. Budak cantik itu tak menyangka kalau ia tidak dipaksa untuk melayani tuannya dalam hal syahwat. Sebab mengin
Bab 10 : Mulai Mengetahui (Bagian 2)Zara mengerutkan dahi. "Maksudnya?""Ah, sudahlah jangan pura-pura tak mengerti, Shaki ... aku tahu yang kalian lakukan semalam. Tuan tadi mandi dan keramas." Benazir mengerlingkan matanya."Aku tak mengerti, kalau mandi dan keramas memangnya kenapa?" Zara benar-benar tak memahami apa yang dibicarakan Benazir."Haiih, kau ini, Shaki. Ya pasti Tuan mandi janabah, 'kan?" lanjut wanita paruh baya itu gemas."Mandi janabah itu apa?""Haduuh. Ya mandi karena sedang junub, pasti kalian sudah melakukan 'itu' semalam. Kau nanti mandilah. Belajar juga kau mandi janabah. Menurutku bagus ajaran Islam itu." Benazir terus saja mengatakan sesuatu yang tidak Zara pahami.Zara mengucek pakaian tuannya dengan melirik apa yang dilakukan Benazir pada pakaian nyonyanya. Zara tidak mengerti caranya mencuci, jadi dia meniru Benazir. Untung saja wanita tua itu tak memperhatikan
Bab 11 : Rasa Apa Ini?"Hai budak cantik!"Pria yang berada di hadapan Zara menyeringai. Tiba-tiba ada dua orang wanita muncul dari balik tubuh besar Henry yang asyik menatap wajah cantik Zara."Oh, ini budak baru Kak Rasyad?" cetus seorang wanita muda bercadar dengan salib yang menggantung di lehernya. Kemudian ia membuka cadarnya setelah masuk ke dalam. Wanita itu begitu cantik. Zara berjalan mundur dan tertunduk tak nyaman dengan tatapan para tamu."Ya, dia sangat cantik, kan, Kath?" Henry berkata kepada adiknya."Huh!" Sang adik mendengkus tak suka."Cantik juga budak satu ini." Wanita satu lagi mendekati Zara dan membelai pipi ranumnya. Sang budak semakin tertunduk. Wanita itu Jasmine, ipar dari Marie."Men-mencari siapa?" tanya Zara kepada tiga orang tamu itu."Siapa, Shaki?" Tiba-tiba dari belakang muncul Marie. "Ooh, kalian ... ayo masuk sini!" lanjutnya."Bibi ..