Share

Apa Yang Dicari Oleh Ayah?

Bab 4

Entah kenapa, ketika melihat cincin itu ada keanehan yang kurasa. Mulai dari jantung berdebar hingga darah di dada berdesir. Entah apa yang terjadi padaku. Sungguh semua ini murni tanpa kuduga.

Andai saja cincin ini punya nilai yang tinggi mungkin aku bisa menjualnya untuk membeli keperluan. Namun, merasa tidak berhak melakukannya karena bukan milikku.

Lama kupandangi benda yang bisa disematkan di jari. Memerhatikan bentuknya, di jaman begini masih ada saja cincin aneh seperti itu terlihat.

'Pasti ini bukan cincin sembarangan,' gumamku, sembari memakaikannya di jari manisku.

Indah sekali, tepat di jari manis yang begitu terlihat elegan. Tak ingin melepasnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Ayah dan Mak berpesan, "Jangan pernah menikmati benda yang bukan milikmu, Nak. Tidak baik." Itulah sebabnya mengapa aku tidak mengambilnya. Hanya saja disimpan, mana tahu ada yang mencarinya.

Vespa tua yang berwarna hijau tepat berada di sampingku, dibersihkan dengan sehelai kain. Berniat untuk pergi menikmati pagi hari sambil berbelanja ke pasar. Jiwa ini kupaksakan tenang, agar tidak ada yang mengganjal di hati.

Pagi ini sangat cerah, dedaunan terlihat hijau melambai terkena angin. Sungguh suasana yang sangat indah, terlihat beberapa jenis hewan hinggap di pohon. Kupu-kupu pun tak kalah cantik dengan sayapnya. Mereka hinggap  pada bunga-bunga yang sedang mekar. Saling berlomba menikmati sari pada kuntum tersebut. Sungguh indah melihat pemandangan itu. Suasana kota seolah masih saja terlihat asri.

Kumasukkan kunci Vespa tua itu ke lubangnya. Lalu pergi ke rumah Naya, setelah membersihkan rumah dan memasak lauk bila Ayah pulang nantinya.

Sudah hampir sebulan tidak bertemu. Biasanya ada canda dan tawa yang sering kami lakukan. Kebahagiaan bila bersama sungguh membuat hati nyaman dan tenang. Persahabatan yang dimulai sejak kecil, kala itu masih menduduki bangku sekolah TK. Lucu, comel, dan banyak hal lain yang tak bisa dilupakan.

Naya telah menjadi gadis yang paling cantik dan beruntung. Orang tuanya sangat kaya raya dan baik hati. Tentunya semua keinginannya akan terpenuhi tanpa menunggu waktu. Keluarga yang baik dan ramah. Tidak pernah sekali pun menyinggung perasaan ekonomi rendah seperti aku.

Persahabatan terjalin begitu erat. Saling mengerti karakter antara aku dan dia. Banyak yang ingin dekat dan bersahabat dengannya, tetapi itu tak mudah. Sebab, beberapa dari mereka sekedar habis manfaat karena Naya gadis yang royal.

Suka memberikan sesuatu pada orang yang dia sukai, termasuk aku. Benda mahal yang kupunya adalah pemberian darinya. Jika bukan dari dia, dari mana aku mendapatkannya. Itu jauh dari kemungkinan bila dibeli sendiri.

Vespa tua itu berhasil membawaku untuk sampai ke tempat tujuan. Rumah yang lumayan besar dan 'wow' menurutku. Seolah aku juga terkesan mewah bila sudah berada di dalam. Benda mahal dan mewah sudah tentu menjadi penghias tempat tinggal itu.

Seketika berandai-andai, menjadi seorang Naya yang sangat beruntung menurut pemikiranku. Namun, teringat dengan rumah yang hendak dijual tempo hari. Ucapan Pak Maman masih terngiang di telinga. "Rumah itu bertuah. Siapa pun yang membeli rumah itu, pasti hidupnya bahagia." Sungguh aku tergoda dengan kalimat Beliau.

Vespa tua berwarna hijau akhirnya bisa membawaku ke rumah Naya, sahabatku baikku. Kuparkirkan benda itu tepat di halaman rumahnya. Kuketuk daun pintu dengan menggunakan besi pengetuk yang melekat di dinding pintu tersebut. Namun, tak ada sahutan. Lupa kalau bel ada di dinding, lalu kutekan.

"Assalamualaikum," sapaku melalui salam.

"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam.

Pintu dibuka dengan berlahan. Aku tak mengenal siapa pria itu. Berkulit putih, warna rambut sedikit pirang, tinggi berisi, pokoknya tampan. Mataku sungguh terpesona melihat wajah dan tubuh itu. Wow menurutku.

"Nyari siapa, Kak?" tanyanya, dengan senyuman mengembang.

"Mmm ... ada Naya, Bang?" Entah kenapa aku sedikit malu dan gugup.

"Dari siapa, ya?" Dia kembali bertanya.

"Owh, mmm ... bilang aja Zeyn. Ya, Zeyndra." Terpaksa menyebutkan nama lengkapku.

Tanpa pamit, dia berlalu pergi dan masuk kembali ke dalam rumah. Tak berapa lama, Naya keluar dan kegirangan dengan kehadiranku. Sungguh membuat senang hati ini.

"Zeyn .... Aku kangen banget sama kamu tau. Ehh, apa kabar? Sudah punya pacar, ya? Masuk, yuk," ledeknya sembari mempersilakan masuk.

Aku hanya tersenyum. Sedikit pun tak menjawab pertanyaan Naya karena ada pria itu bersama kami duduk di atas sofa, sambil menonton televisi. Merasa canggung dengan keadaan. Padahal belum mengenalnya dan tak penting sebenarnya.

"Hei, Zeyn! Kok, melongo, sih? Tumben diem aja," tegur Naya.

"O--owh, iya, Nay. Apa tadi?" Aku benar-benar konyol. Pertanyaan yang baru didengar saja bisa lupa.

"Huh! Udahlah. Owh, iya. Pergi, yuk. Kebetulan aku punya calon tunangan. Kita mau ke taman bawa ponakan juga. Mau, ya, Zeyn?" ajaknya sedikit memaksa.

'Apa? Tunangan? Mana mungkin aku bisa pergi dengan sahabat yang akan bersama pria idamannya. Bisa-bisa aku mengganggu kenyamanan mereka,' batinku. Aku tak menjawab.

"Zeyn! Ikutan, yuk," ajaknya sekali lagi.

"Mmm ... enggak, deh. Keknya aku ganggu, ya, Nay?" tanyaku, sembari mengerutkan kening.

"Apaan ganggu, aneh, deh," tukas Naya.

Sebuah pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau masuk melalui ponsel. Pesan itu dari Ayah.

[Zeyn, kamu di mana, Nak?]

[Ayah sudah di rumah.]

[Aku di rumah Naya, Ayah.]

[Ya, udah. Aku pulang sekarang.]

Aku berpamitan pada Naya. Syukur Ayah mengirim pesan singkat padaku. Ada alasan untuk tidak ikut bersama mereka. Naya dan pria itu mengiyakan. Aku pulang dengan kendaraan yang tak layak dipakai untuk wanita muda seperti aku. Untung saja masih kinclong. Jadi masih bisa diandalkan.

***

Sudah dua bulan menunggu panggilan kerja. Entah kapan bisa menikmati jerih payah sendiri. Apa-apa mesti meminta dari Ayah. Malu dan segan sebenarnya.

Ada kalanya kejenuhan dibiarkan berkuasa. Hati gelisah sudah saatnya merajalela. Rasa pilu menyelimuti bahagia. Tangisan dan air mata selalu menemani perjalanan menuju yang tak tak tahu arah tujuan.

Kupandangi beberapa pohon yang ada disekitar. Di antaranya ada dihinggapi oleh burung-burung kecil berwarna hijau. "Cit-cit-cit" bunyi khas darinya. Indah dan mampu melupakan masalah. Namun, itu hanya sementara. lumayanlah masih ada saja hiburan yang sesuai kodrat alam. Tentunya, banyak hal harus disyukuri.

Indahnya kebersamaan membuat nyaman. hewan, tumbuhan, dan benda lainnya. Saling berbagi, itulah kebaikan. Sesungguhnya bagi setiap yang hidup di dunia harus ikut menikmati segala ciptaan Tuhan.

Alam akan segera berakhir bila Tuhan menghendaki-Nya. Pastinya akan datang bencana untuk mengusir semua makhluk. Perbanyaklah ibadah, aku juga bertekad untuk menjadi hamba yang beriman. Setiap doa dan usaha bagiku adalah kebaikan.

Kulihat Ayah terlalu sibuk mencari sesuatu dengan membuka laci dan beberapa lemari yang ada di kamar dan ruang tamu. Sepertinya beliau sedang mencari benda yang sangat penting, terlihat dari mimik wajahnya dan terlalu tergesa-gesa.

Inginku tegur Ayah, tetapi segan karena begitu serius dengan yang dilakukan. Bukan hanya lemari saja yang Ayah bongkar, tetapi juga ruangan yang tidak lagi digunakan. Kucoba untuk memberanikan diri bertanya.

"Ayah mencari apa?" tanyaku, sembari ikut mencari di ruangan yang sedang ayah lakukan.

Sungguh Ayah terkejut dengan pertanyaanku. Beliau berhenti melakukannya seketika. Memandangi sekitar, sembari duduk di atas kursi kayu yang hampir reot.

"Ehh, kamu, Nay? Kok, ngagetin aja?" Ayah kelihatan seperti orang bingung.

Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Ayah pergi meninggalkanku. Terdengar suara Vespa dikendarai olehnya.

Hari ini terasa panas. Cuaca begitu gerah, tak tahan dengan keringat bercucuran. Belum lagi sedang mati listrik. Kipas angin sepertinya tiada guna. Kubersandar pada sebuah tembok. Sambil mengoceh tak hentinya mengeluh. Sesekali angin berembus sepoi-sepoi. Namun, tetap tak tahan.

***

Terkenang ketika malam hari tiba. Kuambil ponsel dari atas nakas. Ingin rasanya mendengar suara seseorang yang teramat aku rindukan. Saat ini dia jauh dan tak tahu di mana rimbanya.

"Assalamualaikum," sapaku melalui salam di balik ponsel.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya dengan suara lembut dan halus.

"Lagi apa?" Pertanyaan itu membuat aku gemetaran. Belum pernah kulakukan sebelumnya. Biasanya dia yang memulai.

"Lagi nyantai aja," jawabnya.

Tiba-tiba sebuah paket datang dibawa oleh kurir ekspedisi. Panggilan terputus dan pembicaraan terhenti. Ada apa malam-malam begini masih ada kurir yang bekerja?

Aneh menurutku, tetapi tidak kutanya kenapa sampai malam begini masih sibuk melaksanakan tugas. Bingkisan kecil berukuran kotak sepatu anak-anak. Kuterima dan bertuliskan nama yang sama sekali tidak pernah kukenal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status