Share

SAKITKU, DIA YANG SELALU ADA UNTUKKU

Sebuah lengan kokoh menyusup masuk ke pinggang Sinta yang tertidur pulas. Sinta tiba-tiba membuka matanya saat merasakan betapa kuat lengan itu menarik tubuhnya. Hemburan nafas seorang pria terasa begitu nyata di tengkuknya. Tiba-tiba Sinta merasa begitu murahan sebab tidur bersama dengan lelaki yang baru dikenalnya. Meski itu hanya sekedar tidur tidak lebih dan tidak kurang. Sinta berbalik dan menatap wajah Nino yang tenang. Kali ini Nino tidak memadamkan lampu kamar Sinta. Membuat Sinta tahu siapa yang selama beberapa ini selalu menemani malam-malamnya tanpa keluhan.

“Nino?” bisik Sinta. Nino hanya tersenyum tanpa membuka matanya. Sinta sendiri makin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Nino sehingga dekapan Nino semakin erat. Dalam keadaan rapuh seperti ini, Sinta sangat membutuhkan sandaran dan Nino tidak pernah keberatan jika Sinta menjadikannya tempat berlabuh setelah mengarungi kerasnya kehidupan.

“Apakah perusahaan terlalu rapuh jika bangkrut hanya karena tingkah seorang ceo?” tanya Sinta dalam dekapan Nino.

“Iya, naik dan turunnya saham dipengaruhi oleh Ceo karena itu terkadang seorang CEO merasa tertekan dan terpenjara,” jelas Nino. Sinta merungut. Kini pilihan ada ditangannya. Jika Sinta benar-benar mencintai Mario maka melepaskan Mario adalah pilihan terbaik. Sinta meneteskan air mata. Nino tanpa membuka matanya menghapus lembut air mata Sinta.

***###***

Sinta kaget saat Nino mengangkat tubuh Sinta ke kamar mandi. Sinta meronta namun tubuh Nino terlalu kuat memeluknya.

“Mandi sana, setelah mandi barulah kita pergi.” kata Nino meninggalkan Sinta yang terlihat frustasi dengan sikap Nino.

Nino masuk ke kamar Sinta saat Sinta sedang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sinta kini selesai mandu dan sudah berpakaian lengkap. Nino mengambil alih handuk dari tangan Sinta. Nino mengeringkan rambut Sinta.

“Jangan memperlakukanku seperti ini. Aku bisa salah paham,” ujar Sinta yang disambut dengan senyum manis oleh Nino.

“Kau boleh salah paham,” bisik Nino di telinga Sinta. Membuat Sinta merinding dan kembali merasakan denyut jantungnya yang berpacu begitu cepat.

“Kita mau kemana?” tanya Sinta penasaran.

“Jalan-jalan,” jawab Nino.

“Lagi malas,” jawab Sinta.

Nino kembali mengangkat tubuh Sinta kemudian meletakkannya diatas tempat tidur. Sinta heran dengan tingkah Nino yang sangat suka mengendongnya.

“Kalau begitu, kita bermalas-malasan diatas tempat tidur saja,” kata Nino kemudian berbaring di samping Sinta. Sinta merasa aneh. Dia menarik tubuhnya seditki lebih jauh dari Nino dan membuat Nino merasa heran.

“Kenapa?” tanya Nino.

“Risih,” jawab Sinta. Bukannya tersinggung, Nino malah mendekatkan tubuhnya ke tubuh Sinta. Sinta berbalik memunggungi Nino. Sinta sibuk menenangkan jatungnya yang kini berpacu lebih kuat lagi. Sinta yakin dia tidak sedang jatuh cinta. Tidak mungkin cinta selama sepuluh tahun bisa hilang tanpa jejak hanya dengan hitungan hari. Namun perlahan Sinta sadar, rasa sakit yang pernah dia rasakan kini berangsur pulih. Kerinduan yang mendalam tidak begitu kuat dia rasakan kini. Namun Sinta selalu menyangkal bahwa itu semua terjadi karena kehadiran Nino.

Sinta merasa sesuatu yang aneh. Tiba-tiba Nino tidak bertingkah dan diam saja. Sinta berbalik dan menatap Nino yang sedang tidur terlentang dan sibuk memainkan handphonenya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Sinta. Nino terlonjak kaget namun tiba-tiba saja Nino mengubah posisi tidurnya. Nino telengkup sambil memainkan hpnya. Sinta penasaran dan ikut telungkup. Nino mengalungkan kedua lengannya ke leher Sinta membuat Sinta dengan mudahnya menatap layar hp yang sedang Nino mainkan.

“Kau memang masih kecil,” kata Sinta sambil tersenyum. Sinta ingin melepaskan lehernya namun Nino menekan leher Sinta agar tidak bergerak dan tetap pada posisi awal.

“Nino,” bentak Sinta.

“Sebentar saja,” kata Nino dan tetap serius memainkan game dihpnya. Sinta menatap jengkel ke arah Nino tetapi dengan sigap Nino mengecup rambut Sinta membuat Sinta jengkel dan hanya sekali hentakan Sinta bisa melepaskan diri dari Nino. Nino terbahak. Sinta melangkah pergi meninggalkan Nino.

“Mau kemana?” teriak Nino yang diabaikan oleh Sinta. Nino akhirnya bangkit dari tempat tidur kemudian mengikuti langkah Sinta.

****####****

Sinta sedang memilih makanan bersama Nino di sebuah supermarket. Tiba-tiba seorang gadis cantik dengan postur tubuh yang sama tinggi dengan Nino, terlihat muda, cantik dan trendi.

“Nino,” sapa Melinda. Tanpa banyak bicara Melinda langsung mencium lembut bibir Nino sebagai bentuk sapaan dan tentu saja disambut oleh Nino, membuat Sinta harus tahu diri dan sedikit menjauh dari Nino dan Melinda.

Sinta melirik ke arah Nino yang mengelus lembut pipi Melinda. Sinta sadar bahwa Nino memang selalu memperlakukan perempuan dengan lembut termasuk dirinya. Sinta mengutuk jantungnya yang berpacu lebih cepat saat bersama Nino sedangkan Nino, dia tentu saja tidak merasakan hal yang sama dengan Sinta. Bocah playboy itu pasti terbiasa dengan adegan-adegan romantis yang tidak pernah Sinta rasakan. Sinta menarik nafas berat kemudian menghembuskannya lewat mulut. Sinta lalu memutuskan untuk ke kasih membayar semua belanjaannya.

Baru saja Sinta memindahkan semua barang dalam keranjang belanjaannya keatas meja kasir tiba-tiba Nino muncul kemudian menyodorkan kartu ATM miliknya pada kasir.

“Tidak perlu,” kata Sinta jutek.

“Bukahkah aku sudah bilang akan menikahimu? Kita belajar dulu sekarang, belajar jadi pasangan suami istri,” kata Nino yang membuat kasir yang kebetulan perempuan itu menatap heran ke arah Sinta.

Sinta tahu jalan pikiran kasir tersebut. Sinta sadar dia tidak sebanding dengan Melinda.

“Dia hanya bercanda,” kata Sinta pada sang kasir hanya diam namun menatap Sinta dengan tatapan sinis.

Melinda datang kemudian merangkul manja lengan Nino dan Nino tidak berusaha untuk melepas rangkulan Melinda. Nino tetap saja santai.

“Pacarmu?” tanya kasir ke arah Melinda. Melinda tersenyum penuh arti membuat sang kasir ikut tersenyum dan menatap meremehkan ke arah Sinta. Nino tidak menyadari itu semua sebab sibuk memperhatikan hasil belanjaan Sinta.

“Hanya ini saja?” tanya Nino.

“Iya,” jawab Sinta mengendus kesal.

“Kau tidak membeli kebutuhan pribadimu?” tanya Nino lagi. Sinta menggeleng. Tiba-tiba Nino berbalik dan melepaskan dengan kasar rangkulan tangan Melinda. Nino kembali membeli barang-barang kebutuhan Sinta seperti sampho bahkan sampai ke pembalut. Sinta tidak peduli dan langsung mengambil belanjaannya yang sudah dibayar oleh Nino sedangkan Melinda dengan senyum kemenangan mengambil kartu ATM nino. Sinta melangkah meninggalkan supermaket, sedangkan Nino masih ribet dengan belanjaan.

“Bilang saja ingin ditinggal dan mau bermesraan dengan kekasihmu,” gerutu Sinta sambil melangkah meninggalkan supermarket yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Sinta sangat jengkel. Dia bahkan menganti sandi pintu apartemennya hanya untuk mencegah Nino kembali masuk ke apartemennya. Sinta ingin hidup tenang tanpa harus terganggu oleh Nino. Sinta menganggap Nino hanyalah orang asing yang sekedar lewat dari kehidupannya. Nino bukan siapa-siapa. Meski Sinta merasakan kekosongan karena Nino tidak ada.

“Aku bisa tanpa Mario. Kenapa tidak tanpa bocah tengik yang baru aku kenal itu?” bisik Sinta pada diri sendiri.

Argggh..

Teriak Sinta untuk menenangkan hatinya yang hampa. Sinta yakin apa yang dirasakannya hanya rasa kesepian karena ketidakhadiran Mario dalam hidupnya. Tiba-tiba Sinta mengingat Mario. Sinta menangis sejadi-jadinya. Dia sadar bahwa Mario menghilang dari kehidupannya. Sinta yakin bahwa hubungannya dengan Mario tidak bisa diselamatkan lagi terbukti Mario memilih keluar negeri, menganti nomornya dan seperti ditelan bumi menghilang dari kehidupan Sinta. Dan Sinta tidak pernah tahu alasan Mario melakukan itu semua terhadapnya. Sinta lelah menangis hingga akhirnya tertidur di sofa apartemennya.

****####****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status