Share

RASA YANG SINTA SANGKAL

Sinta tersentak. Hampir saja dia jatuh dari sofa tempatnya tidur. Sinta menarik nafas berat kemudian menghembuskannya lewat mulut. Dia kemudian duduk menenangkan hatinya. Sinta memeriksa hpnya ternyata tidak aktif. Sinta mengaktifkan hpnya dan melihat jam di hpnya. Ternyata sudah jam 11 malam. Sinta ingin menghirup udara segar. Seperti biasa Sinta memutuskan untuk ke taman dekat apartemennya.

Sinta terkesima menyaksikan Nino yang sedang jongkok di depan pintu apartemen Sinta. Nino menatap sendu ke arah Sinta. Wajah Nino terlihat pucat membuat Sinta kwatir. Langsung saja Sinta jongkok sejajarkan wajahnya dengan wajah Nino. Sinta dengan sigap memeriksa kening Nino.

“Tidak demam. Syukurlah,” gumam Sinta. “ayo masuk,” ajak Sinta. Nino menggeleng. Sinta mengernyitkan dahinya.

“Kakiku kebas,” kata Nino.

“Sejak kapan kau disini?” tanya Sinta.

“Sejak kau masuk ke apartemen ini, aku menghubungi nomormu tetapi tidak aktif. Aku memencet bel tetapi tidak ada respon,” ujar Nino.

“Kenapa tidak langsung masuk saja? Kau tahukan sandinya?” tanya Sinta jengkel.

“Sandinya selalu gagal,” jawab Nino dengan wajah memelas. Sinta tersenyum tipis kembudian membantu Nino bangkit. Tetapi Nino terlalu berat bukannya berhasil berdiri malah Nino jatuh terlentang ke lantai dan naasnya tubuh Sinta ikut jatuh dan menimpa tubuh Nino. Sinta gelagapan dan langsung bangkit. Nino sendiri meringis kesakitan. Sinta memijit kaki Nino bermaksud untuk mengurangi rasa kebas di kaki Nino.

“Jangan lakukan itu, itu malah membuat kakiku geli dan makin kebas,” kata Nino.

“Lalu apa yang bisa aku lakukan?” tanya Sinta dengan wajah cemas.

“Mendekatlah,” kata Nino. Sinta menatap heran.

“Aku tidak akan memakanmu, mendekatlah,” kata Nino. Sinta kemudian mendekat, duduk di samping Nino. Nino menggeser tubuhnya sedikit lalu meletakkan kepalanya di paha Sinta. Sinta tersentak dan berusaha menggeser tubuhnya namun Nino menahannya.

“Tetap seperti ini, sebentar saja. Sampai aku merasa nyaman,” kata Nino.

***####****

Sinta memijit lembut pahanya, sedangkan Nino sudah beberapa menit yang lalu terlelap. Sinta heran, bisa-bisanya Nino terlelap di depan apartemen Sinta. Membuat mereka menjadi tontonan orang yang lalu lalang. Untung saja Sinta dan para tetangganya tidak begitu dekat sehingga Sinta bisa mengabaikan tatapan aneh dari semua orang.

“Nino.. bangun,” bisik Sinta lembut. Nino menggeliat.

“Nino.. kakiku mulai kebas,” kata Sinta, refleks Nino membuka mata dan menatap kasihan ke arah Sinta yang sedang meringis menahan kebas di pahanya. Nino tersenyum, menarik hidung Sinta kemudian duduk berhadapan dengan Sinta membuat Sinta mampu menghirup hembusan nafas Nino yang segar dan bau mint.

“Ini ucapan terima kasihku,” kata Nino kemudian mengangkat tubuh Sinta. Awalnya Sinta terkejut namun lama-kelamaan Sinta terbiasa dengan sikap Nino yang selalu mengendongnya tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Nino meletakkan tubuh Sinta diatas tempat tidur dengan lembut. Sinta merasa nyaman dan melupakan kekesalannya tadi. Nino tidur di samping Sinta. Menghadap ke tubuh Sinta yang sedang tidur terlentang menatap langit-langit kamarnya. Nino meraih tubuh Sinta, menariknya sehingga lebih dekat dengan Nino.

“Tidurlah,” kata Nino kemudian memeluk erat tubuh Sinta. Sinta menghirup aroma tubuhu Nino yang begitu menyegarkan. Sinta kemudian menutup matanya dan tidak butuh waktu lama untuk Sinta tertidur nyenyak dalam dekapan Nino.

***###***

Mata Sinta tiba-tiba terbelalak saat sadar bahwa bibirnya sedang dicium lembut oleh Nino. Sontak Sinta mendorong tubuh Nino untuk menjauh dari tubuhnya.

“Selamat pagi,” bisik Nino kemudian berlari masuk ke kamar mandi. Tidak berapa lama terdengar suara percikan air dalam kamar mandi. Sinta jengkel setengah mati. Bisa-bisanya bocah ingusan seperti Nino mempermainkan hatinya.

“Jangan bersikap berlebihan,” bentak Sinta saat Nino keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit tubuhnya. Sinta lalu mengalihkan pandangannya.

“Jangan berkeliaran seperti itu,” bentak Sinta. Nino hanya tersenyum licik.

“Kau beranggapan aku bocah, tapi masih saja protes dengan tingkahku,” kata Nino melenggang meninggalkan Sinta yang masih cemberut.

“Nino kau sudah kelewatan. Dikasih hati tapi mau jantung,” cecar Sinta melangkah mengikuti Nino yang meninggalkannya. Dengan santainya Nino duduk di sofa sambil menyalakan TV lewat remote.

“Sudahlah.. jangan menanggapinya heboh seperti itu,” kata Nino cuek. Sinta berbalik dan meninggalkan Nino yang seperti tidak peduli dengan kata-katanya.

***####****

Nino menyantap sarapannya dengan lahap. Kini Nino mengenakan celana santai sepanjang lututnya, memakai baju kaos, terkesan santai namun sangat mempesona. Sinta menatap Nino dari balik susu yang diteguknya.

“Nino,” tegur Sinta saat Sinta berhasil meneguk susu buatannya tanpa sisa. Nino hanya mengalihkan pandangannya sebentar dari makanannya, menatap Sinta sesaat kemudian melanjutkan makannya.

“Kau tidak punya tempat tinggal?” tanya Sinta penasaran.

“Tidak,” jawab Nino singkat.

“orang tuamu dimana?” tanya Sinta.

“Entahlah,” jawab Nino sekenanya.

“Jawab yang sebenarnya Nino,” bentak Sinta. Nino langsung meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar kemudian menatap Sinta dengan tajam.

“aku tidak suka bicara saat sedang makan,” ketus Nino.

“Alasan kamu saja,” bentak Sinta.

“Kalau aku mati tersendak makanan gara-gara bicara gimana?” teriak Nino.

“Tidak mungkin,” kata Sinta kemudian bangkit meninggalkan Nino. Sinta mengendus kesal, Sinta yakin kalau Nino melakukan itu semua hanya untuk menghindar dari pertanyaan Sinta.

***%%%***

Sinta masih cemberut duduk di depan TV. Nino dengan wajah menyeringai mendekati Sinta. Yang disambut tatapan tajam oleh Sinta.

“Kau marah?” kata Nino manja. Nino duduk dekat Sinta, tetapi Sinta menggeser duduknya agar menjauh dari Nino. Nino tidak peduli dan terus memepet Sinta hingga akhirnya tubuh Sinta nyaris jatuh dari sofa. Nino menarik tubuh Sinta kemudian mendekapnya. Nino kemudian menarik kaki sinta sehingga terduduk diatas pangkuannya. Wajah Sinta memerah, nafasnya memburu dan getak jantungnya berpacu dengan cepat. Untung saja Sinta mampu menguasai keadaan dan dengan sekali dorongan Sinta bisa lepas dari pelukan Nino yang tidak menyangka tindakan Sinta. Sinta berbalik meninggalkan Nino yang tersenyum kemenangan. Sinta masuk ke kamar dan menguncinya. Sinta terduduk di pinggiran tempat tidur. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sinta meneteskan air mata.

“Apa aku sangat haus dengan kasih sayang, sampai melakukan semua itu dengan Nino?” tanya Sinta pada dirinya sendiri.

“Dia masih kecil. Bahkan hidupnya hanya untuk bersenang-senang. Kenapa aku harus terlibat dengannya?” gerutu Sinta. Air mata Sinta mengalir dipelupuk matanya.

“Apa kata Mario jika tahu apa yang sedang terjadi saat ini? Dia pasti memandangku jijik, atau menertawakanku sebagai perempuan yang haus belaian,” Sinta merutuku dirinya. Menganggap semua yang terjadi adalah sebuah kesalahan.

****&&&&*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status