Arga mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sementara itu, Alinta masih terbujur kaku dan kejang. Air liurnya keluar dari mulut akibat ayan. Epilepsi yang diderita Alinta belum juga berhenti, sehingga ia harus dipasang oksigen sambil menunggu ambulans datang.
"Del, kamu sudah dapat nomor telepon keluarganya Alinta?" tanya Pak Arga.
Delia tersenyum. Dengan sopan, ia menjawab pertanyaan dari bosnya.
"Pak, saya hanya teman baik Mbak Alinta. Sampai sekarang, saya tidak diberi tahu apakah Mbak Alinta punya nomor ponsel keluarganya. Dia hanya bercerita bahwa kakak kandungnya juga mengidap ayan dan sudah bercerai dengan suaminya."
"Alin, kamu bertahan, ya. Ambulans sebentar lagi sampai."
Arga memakaikan oksigen dengan perlahan. Ia mengelap liur yang keluar dari mulut Alinta. Dalam hati, Arga merasa bahwa ia telah memilih calon yang tepat. Dilihat dari cara kerjanya, pegawai perempuannya ini memang jarang mengeluh meskipun sedang sakit.
"Pak Arga, saya tidak apa-apa. Kemarin dan kemarinnya lagi saya juga begini," ucap Alinta terbata-bata.
Namun, tubuhnya masih kaku karena kejang. Matanya terbuka, otot lengan dan kakinya berkedut tak terkendali, dan ia mengompol.
"Pak Arga, biar saya yang merawat Mbak Alinta. Bapak kerja saja dulu."
Delia yang tengah merawat Alinta sambil menunggu ambulans mengeluarkan minyak angin. Ia menuangkannya ke tangan, lalu mengoleskannya ke perut Alinta yang tampak membengkak. Namun, meskipun sudah diberi minyak angin, kejang-kejang Alinta belum juga berhenti. Beberapa menit kemudian, barulah ia mulai sadar.
"Del, maaf aku merepotkan kamu. Jangan beri tahu kakakku kalau penyakitku kambuh. Kasihan dia, nanti penyakit epilepsinya ikut kambuh juga."
"Mbak Alinta masih sakit?" tanya Delia.
Alinta mengangguk. "Masih, Del. Perutku rasanya seperti ditusuk, dan aku susah bernapas. Dadaku juga sesak."
Pak Arga masuk membawa kursi roda. Petugas medis segera membantu Alinta dan mengantarnya ke ambulans. Namun, tiba-tiba kejangnya kembali datang. Mulutnya mulai mengunyah tanpa sadar, napasnya tersengal-sengal. Epilepsi yang diderita Alinta tidak kunjung mereda.
Petugas medis dengan sigap menaruh Alinta di atas tandu, lalu memasangkan kabel untuk mendeteksi jantung dan aliran listrik di otaknya.
"Kondisi ibu ini menurun. Apakah sudah diberi obat epilepsi?" tanya salah seorang staf.
"Del, saya ikut ke rumah sakit. Kalau ada orang yang ingin bertemu, bilang saya ada urusan mendadak."
Pak Arga naik ke dalam ambulans. Ia melihat Alinta yang masih belum sadar akibat kejangnya.
"Alin, kamu harus kuat. Jangan kalah dengan penyakitmu!"
Tuhan, jangan biarkan calon istriku seperti ini. Aku tidak sanggup melihat dia menderita, batin Arga.
Dadanya terasa sesak. Baginya, Alinta adalah wanita idaman. Meski memiliki keterbatasan fisik, hatinya begitu baik. Arga rela merawatnya, asalkan Alinta tidak terus-menerus merasakan kesakitan seperti sekarang.
Tak lama, Alinta akhirnya berhenti kejang. Perlahan, ia membuka matanya.
"Pak Arga, makasih sudah mau menemani saya ke rumah sakit. Saya merasa bersalah... Saya banyak berutang budi ke Pak Arga."
Arga memegang tangan Alinta. "Alinta, waktu kamu diceraikan suamimu dulu, bukankah aku sudah bilang? Aku akan merawatmu dan meminangmu."
"Saya juga terima kasih, Pak. Sudah merahasiakan penyakit saya. Saya tidak mau Delia sedih. Selama saya bekerja dengan Pak Arga, Bapak selalu ada saat saya sakit maupun sehat."
"Alin, aku tahu kamu kerja keras untuk membiayai yayasan yang kamu dirikan. Tapi, kamu harus jaga kesehatanmu juga."
Arga mulai memijat kaki Alinta. Ia begitu perhatian terhadap pegawainya itu.
Sejak dulu, pekerjaan membuat Arga semakin simpati dan jatuh hati pada Alinta. Namun, takdir justru membuatnya menangis, karena wanita yang ia cintai harus menanggung begitu banyak beban hidup, di saat kesehatannya pun semakin menurun.
Arga menatap tubuh Alinta yang terbaring dengan alat-alat medis di sekitarnya. Hatinya semakin sakit. Alinta yang dulu disiplin dan cekatan dalam bekerja, kini hanya bisa terbaring lemah, berjuang melawan penyakitnya.
"Pak Arga, maaf... merepotkan Bapak," ucap Alinta dengan terbata-bata. "Aku sudah biasa seperti ini."
Perjalanan menuju rumah sakit masih panjang. Arga kembali memijat kaki Alinta dengan perlahan, sembari mengingat saat pertama kali wanita itu masuk kerja.
"Ayo, kita kumpul. Saya akan memperkenalkan pengganti Bu Firsa. Ini adalah Alinta. Mulai sekarang, dia bekerja di perusahaan kita sebagai staf keuangan," ucap Arga kala itu.
Sebagai wanita karier, Alinta sangat rajin dan disiplin. Ia tak pernah telat datang, tugasnya selalu cepat selesai, dan tidak pernah ada kesalahan data. Tapi sekarang... kelelahan sedikit saja sudah bisa membuat tubuhnya kejang-kejang.
"Alinta, kamu tidak apa-apa?" tanya Arga saat melihat wanita itu kembali kejang.
Saat itu, Arga meneteskan air mata. Ia tak sanggup melihat orang yang dicintainya menderita seperti ini.
"Alinta, kamu harus kuat! Aku akan membahagiakanmu. Kumohon, bertahanlah dan sembuhlah untuk meraih cita-citamu!"
Staf medis segera melakukan pemeriksaan. Namun tiba-tiba, jantung Alinta berhenti berdetak.
Mereka dengan sigap memasang defibrillator untuk memompa jantungnya. Beberapa kali kejutan listrik diberikan, hingga akhirnya Alinta kembali sadar. Saat itu juga, ambulans sampai di rumah sakit.
Alinta segera dibawa ke ICU. Sementara itu, Arga menerima telepon dari kantor.
"Halo? Iya, Delia, ada apa?"
"Pak, saya bisa minta tolong? Bisa kirimkan berkas yang ada di flash disk ke email Bapak? Oh iya, Pak... Mbak Alinta masih belum sadar. Saya dengar Bapak yang akan menjadi walinya?"
"Iya, Del. Saya belum dapat nomor telepon keluarganya. Saya akan jadi walinya sementara."
Setelah telepon ditutup, Arga segera menemui dokter.
"Dok, bagaimana kondisi karyawan saya? Saya yang akan jadi walinya."
"Pak, mari ke ruangan saya. Ada hal yang perlu saya jelaskan."
Arga mengikuti dokter menuju poli penyakit epilepsi.
"Pak, kemungkinan besar karyawan Bapak akan mengalami kelumpuhan. Untuk penyakit tumornya, nanti rekan saya yang akan menjelaskan lebih lanjut."
Arga hanya bisa menahan napas. Sesak. Cincin tunangan sudah ia siapkan, tetapi Alinta masih harus berjuang melawan penyakitnya.
Ia masuk ke ruang ICU dengan pakaian APD lengkap. Air matanya tak lagi bisa ditahan.
"Alinta, maaf... Aku belum bisa membahagiakanmu. Aku mohon, setelah sembuh, izinkan aku melamarmu."
Arga menggenggam tangan Alinta dengan erat.
"Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjadi suamimu, menemanimu dalam suka maupun duka."
Suasana di kamar ICU terasa begitu haru. Arga menangis, menggenggam tangan Alinta yang lemah, berharap ia segera bangun.
Alinta tiba-tiba kejang, di saat langit gelap dan semua orang tertidur. Arga yang mendengar Alarm dari monitor ECG langsung bangun, dia meneteskan air mata. Di jam tidur, sang istri tiba-tiba jantungnya melemah dan pernapasannya tidak normal. Dua hari yang lalu, Alinta masih tersenyum dan mendengar Arga berbicara. Lelaki yang memakai baju tidur dan rambut acak, segera menggosok gigi. Namun Alinta semakin memburuk, dia yang berkumur-kumur kemudian meletakkan sikat gigi dan pergi ke kamar Alinta. Lelaki itu terkejut melihat sang istri kejang-kejang dan tubunya membiru.“Alinta, kamu kenapa tiba-tiba seperti ini?”Arga kemudian mencari ponsel di meja, dia membeli tiga ponsel. Satu buat memanggil dokter, satu buat menghubungi keluarga dan satunya lagi untuk kepentingan kantor. Ponsel yang ditaruh di kamar Alinta ketemu, dia kemudian menghubungi dokter. Bunyi telepon masih menandakan bahwa belum ada yang mengangkat panggilan darurat. Ibu kandung Alinta tidak ada, hanya Arga yang menjadi w
Sudah dua bulan, Alinta kehilangan semangat untuk jalan. Dia di diagnosis tidak bisa jalan, Auranti sudah di Jakarta, dia yang mendapat informasi dari Arga tiba-tiba meneteskan air mata dan lemas. Auranti berada jauh, dia tidak mungkin pergi ke Jepang.“Arga, apakah tidak bisa disembuhkan Alinta?” tanya Auranti di telepon. Arga yang memegang telepon, hanya bisa menangis dan tidak bisa berbicara lagi. “Tante, aku sedih sekali. Aku harus apa saat seperti ini?” tanya balik Arga dengan suara gemetar.Amanah dari sahabat Auranti berat sekali, Auranti tidak tega melihat Alinta setiap hari sakit. Arga yang menelepon Auranti, menahan tangis untuk membuat Alinta kuat.“Kamu harus tabah, Alinta tidak mau kamu seperti anak yang kehilangan ibunya.”Alinta mengalami edema di paru-paru karena penyakit keras. Penyakit Alinta sudah tidak bisa disembuhkan dan dia harus menerima keadaan. Alinta harus di kursi roda, karena mengalami kerapuhan di bagian tulang belakang.Indra penglihatan Alinta juga sud
Arga membaca pesan di emailnya—undangan makan malam di rumah klien, seorang investor yang telah menanamkan saham.Sementara itu, kondisi Alinta sudah mulai membaik. Selama dua hari terakhir, dia masih terbaring sakit.Namun, hari ini ada kemajuan—epilepsi yang dideritanya tidak kambuh. Meski begitu, Alinta memilih untuk tidak ikut. Dia khawatir akan merepotkan Arga saat bertamu ke rumah klien."Pak Arga, kenapa istri Anda tidak ikut?" tanya seorang teman.Arga menoleh dan mendapati seorang dosen sastra dari Indonesia yang dikenalnya. Dengan ramah, dia menghampiri dan menjabat tangan pria itu. Senyum Arga mengembang di tengah suasana jamuan."Istri saya baru saja sembuh dari sakit. Dia memilih untuk tidak ikut karena khawatir merepotkan saya," ujar Arga."Wah, Anda memang suami yang setia dan perhatian," kata lelaki itu dengan senyum.Lelaki yang bersama Arga itu adalah Setiawan. Dia selalu mendampingi Arga sejak awal, terutama saat Arga membuka cabang kantor di Jepang. Bahkan, undanga
Lutut Alinta masih kaku, karena kejang-kejang. Auranti mengobati Alinta, ini hari ke tiga Alinta kejang dan harus disuntikkan obat. Arga berniat mengajak Alinta rekreasi ke taman sakura, pariwisata di Jepang sungguh berbagai macam. Arga dan Alinta sudah imigrasi lama sekali demi membuat hidup baru.“Tante sudah mendapatkan tiket pesawat untuk pulang?” tanya Arga. Auranti menggeleng, dia masih sibuk memeriksa denyut nadi Alinta karena belum stabil. Bagaimana bisa Auranti tenang, sementara Alinta masih belum berhenti kejang-kejang. Penyakit Alinta sebelumnya tidak parah, sekarang Alinta tidak bisa berhenti.Auranti sudah mengelola keuangan, jadi dia tinggal ambil di bank. Dia sudah mendaftarkan bank yang terletak di Jepang. Dosis obat yang diberikan Alinta tidak ada perubahan, Auranti harus segera membeli obat di apotek. Kepala Arga pusing, memikirkan polemik yang terjadi. Di media masa, dia dituduh membawa kabur Alinta, tulisan yang ditulis tidak sesuai dengan fakta. Arga tahu, pelak
“Alinta, aku akan pergi memancing. Karena hari ini, aku akan memasakkan makanan sehat buat kamu,” ucap Arga. Dia melihat Alinta di kamar, sambil duduk Arga kemudian memijit tangan istri yang dia cintai.“Mas ... tidak ... kerja ... masih ada tante ...,” ucap Alinta. Dia berkata tidak jelas, Auranti berjalan ke kamar Arga dan menemui ke dua keponakan yang dia cintai. “Hari ini, kamu dan tante di rumah. Karena tiket belum bisa tante dapat, mungkin masih lama.”Kehidupan nenek angkat Alinta semakin kacau balau, ketika dia mendapat surat dari kantor pajak. Arga yang mengetahui berita tersebut, berniat memancing karena dia telah berhasil membuat nenek tua itu menderita dan merasakan pahitnya hidup.Setelah pergi ke sungai dan laut, Arga ingin menghias rumah dengan pernak pernik. Lalu memasak makanan sehat yang di dapat dari sungai dan laut, supaya Alinta bisa makan dengan puas. Belakangan Alinta selalu tidak mau makan, Arga sampai menangis dan dia konsul ke tante Auranti.Auranti menyaran
Di apartemen, Arga sedang menyuapi Alinta bubur. Bubur itu dimasukkan ke slang yang terpasang dari trakea, karena tidak bisa menggerakkan bibir dan mulut akibat saraf yang sudah rusak. Wanita yang sedang duduk di kursi roda, perlahan-lahan menggerakkan tangan. Dia seperti ingin bergerak, namun raganya seperti terkunci karena penyakit saraf di otak yang membuat dia lumpuh.“Arga, tante sudah mendapat kabar. Yang mencelakai Alinta, seorang wanita yang muda.” Wanita muda yang memegang telepon genggam, berusaha mengepalkan tangan untuk mengendalikan amarah. Dia tidak bisa menunjukkan sifat brutal pada keponakan laki-laki, Auranti memang tidak bisa mengendalikan emosi tetapi dia berusaha membuat Arga dan Alinta menikmati ketenangan di apartemen. Empat hari, Alinta di rumah sakit. Saat Arga dan Auranti ke rumah sakit.“Alinta, kepokanakan tante. Kamu harus bisa mengedipkan mata, jangan mau kalah dengan penyakit.” Arga baru menyadari, bahwa wanita yang merawat Alinta di apartemen begitu k