Katrina sudah cukup menyiapkan mental untuk melalui hari ini.
Setidaknya, istri Om Rudi, Tante Zahara sudah memberitahukan pada Katrina tentang bagaimana pandangan orang-orang Jakarta terhadap wanita bercadar. Meski tidak sepenuhnya mencela, tapi setidaknya Katrina harus tetap belajar terbiasa dengan pandangan tidak bersahabat dan bisikan-bisikan yang membuat telinga panas.
Tapi lain halnya dengan Katrina, baginya berhusnudzon itu lebih baik. Caranya dengan mengubah pola pikir sendiri. Karena sesungguhnya manusia itu selalu ingin dihargai tanpa tahu cara menghargai. Manusia hanya mampu menghakimi tanpa tahu rasanya dihakimi. Parahnya lagi, manusia seringkali berkata hingga memaki tanpa tahu apa yang terjadi. Oleh sebab itulah, Katrina tidak perlu memikirkan apa-apa yang orang lain katakan di belakangnya. Tetaplah menjadi dirimu sendiri selagi keberadaanmu tidak merugikan orang lain.
Siang ini Katrina menikmati makan siang pertamanya di kantor. Sendirian. Sepertinya dia memang terlahir menjadi orang yang lekat dengan predikat sendiri sepanjang hidupnya.
"Hai, boleh gabungkah?"
Sebuah suara dari arah samping tiba-tiba mengagetkan wanita bercadar itu. Belum sempat Katrina membuka mulut untuk bicara, laki-laki itu sudah menaruh minuman kaleng yang dibawanya di atas meja dihadapan Katrina. Dia, Hardin. Ya, siapa lagi?
Katrina dapat merasakan berpuluh-puluh pasang mata kini tertuju ke arah mereka. Dan hal itu membuat nafsu makannya seketika hilang.
"Maaf soal masalah tadi pagi. Gue benar-benar nggak ada maksud untuk menyinggung atau menyakiti hati siapapun," ucap Hardin lagi. Matanya menatap lurus-lurus manik mata wanita muslim dihadapannya. Satu-satunya wanita yang sudah begitu berani kepadanya. Hardin jadi merasa tertantang untuk mengerjai wanita sombong satu ini. Bukankah selama ini reputasinya sebagai playboy sudah tak diragukan lagi? Jadi, Hardin berpikir, sepertinya bukan hal yang sulit untuk bisa menaklukan hati wanita bernama Katrina ini. Cih! Hardin masih merasa kesal atas perilaku wanita itu tadi di dalam ruangannya.
"Lain kali tolong lebih bijak bila berbicara dengan orang lain." Pinta Katrina dengan kalimat singkat, padat dan tegas. Menurutnya kalimat permohonan maaf yang terlontar dari mulut CEO itu kedengarannya tulus, tapi dari ekspresinya Katrina belum menangkap raut wajah menyesal. Dia masih terlihat seperti seorang laki-laki sombong, yang merasa dirinya itu jauh lebih baik dari orang lain.
"Oke-oke, itu sih masalah gampanglah, bisa diatur. So, sekarang, kita berteman?" Hardin mengulurkan tangannya ke arah Katrina seraya memberikan senyum terbaiknya. Dia begitu percaya diri.
"Maaf. Aku pikir hubungan kita hanya akan sampai pada sebatas atasan dengan bawahannya saja. Tidak lebih!" jawab Katrina apa adanya. Nada bicaranya masih terkesan tegas. Katrina sama sekali tidak ingin memulai suatu hubungan apapun dengan laki-laki macam Hardin. Dan dia juga tidak perduli jika laki-laki dihadapannya itu, kini jadi tersinggung atas perkataannya. Katrina benar-benar tidak perduli.
Hardin tersenyum hambar. Dia sangat jengkel. Dia menarik kembali uluran tangannya yang tak juga mendapat sambutan. Sementara beberapa Karyawan yang juga berada di sekitar kedai saat itu, yang sedari tadi memperhatikan gelagat si Bos mereka, diam-diam jadi menertawai Hardin. Dan Hardin sendiri sadar dirinya kini tengah jadi bahan desas desus oleh bawahan-bawahannya sendiri.
"Kupikir ada baiknya kalau kita menjaga jarak satu sama lain. Permisi." Kata Katrina lagi dan langsung beranjak dari kantin. Katrina masih tidak terima atas perlakuan Hardin terhadapnya di dalam ruangan kantor laki-laki itu tadi pagi. Sebab itulah, dia tidak perduli bila akhirnya dia harus dipecat karena masalah ini. Entah mengapa setiap kali melihat wajah laki-laki itu, Katrina seperti ingin marah. Ya, mungkin karena kesan pertama yang dia dapatkan dari Hardin adalah kesan pertama yang sangat tidak menyenangkan. Dan karena itulah Katrina jadi tidak berniat untuk berkompromi sedikit pun dengan perasaannya, walau dia tahu Hardin adalah atasannya sekarang.
Sekali lagi, Katrina tidak perduli!
Hardin menatap kepergian Katrina dengan tatapan sinis. Lalu dia pun beranjak dari kedai itu dengan langkah sesantai mungkin. Dia jadi malu.
Ini sejarah langka dalam hidupnya, di mana seorang Hardin Putra Surawijaya, di tolak oleh seorang karyawan baru di kantornya sendiri.
Oleh bawahannya sendiri!
Damn it!
Bawahan belagu!!!
*****
Sore ini jalan raya di Jakarta selatan padat merayap.
Bahkan Katrina memerlukan waktu ekstra untuk sampai ke tempat tujuannya di Pondok Indah. Satu jam berlalu, Katrina pun sampai di tempat tujuan. Tempat di mana sepuluh tahun lalu dirinya pernah melalui hari-hari yang indah.
Katrina menoleh ke sebuah Masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Itu Masjid tempat dulu dia pernah duduk sendirian untuk waktu yang cukup lama demi menunggu seseorang. Semuanya masih terlihat sama. Tidak banyak yang berubah. Pikir Katrina membatin. Dia tersenyum tipis dibalik cadarnya.
Katrina mulai melangkahkan kaki. Di setiap sudut yang dia lewati, Katrina seperti menangkap bayangan seseorang di sana. Bayangan yang seolah terekam nyata dalam ingatannya.
Apa kabarmu, Kak? Bisik batinnya pedih.
Katrina sampai di sebuah kost-kostan berlantai dua. Dan mulai melangkah menuju kost di lantai dua yang letaknya di urutan ke tiga dari arah tangga.
"Assalamualaikum," Katrina mengetuk pintu kost itu. Katrina sadar suaranya terdengar agak bergetar. Sepertinya dia mulai gugup. Bahkan detak jantungnya seolah berpacu lebih cepat.
Seorang wanita bertubuh agak gemuk keluar dari dalam seraya menjawab salam.
"Cari siapa ya, Mba?" tanya wanita itu ramah.
"Saya Katrina. Saya ke sini mau mencari laki-laki bernama Fahri Reyhan Dharmadi. Sepuluh tahun yang lalu dia kost di sini dengan sahabatnya yang bernama Nindra. Apa Mba kenal?"
Wanita itu seperti berpikir. Atau mungkin dia sedang mengingat-ingat sesuatu. "Saya nggak tahu Mba. Saya baru lima bulan kost di sini," jawabnya kemudian.
Katrina pun berterima kasih seraya memohon pamit. Dengan hati kecewa, Katrina mulai melangkah pergi meninggalkan tempat bersejarah itu. Tempat dulu dirinya dan Reyhan pernah melewati masa-masa penuh suka cita. Katrina mengulum bibirnya. Dia ingin menangis, tapi sekuat mungkin dia tahan.
Sepertinya waktu sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk seseorang bertahan di sebuah kost-kostan yang sama.
Jangan menyerah, Trina. Ini baru langkah awal. Jika memang Allah SWT berkenan mempertemukan, pasti ada jalan keluarnya. Bersabarlah!
Katrina terus berusaha untuk berpikir positif.
Disepanjang perjalanan pulang menuju kediaman Om Rudi, mulut Katrina terus berkomat-kamit di dalam metromini yang dia tumpangi. Dia membaca Surat Al Insyirah ayat 1 sampai 8. Surat ini merupakan surat ke-94 di dalam Al-quran. Al Insyirah turun di kota Mekkah dan memiliki arti kelapangan dada. Surat ini turun sebagai penghibur bagi Rasulullah SAW yang kala itu mengalami beratnya berdakwah di tengah-tengah umatnya yang membangkang. Namun Allah SWT dengan kasih sayangnya mengingatkan Rasulullah SAW dengan ayat-ayat di dalam surat ini. Maka dari itu, ketika merasa putus asa dan sedih, ingatlah firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Surat Al Insyirah tersebut.
"Alam nasyrah laka shadrak"( Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?)
"Wawadha'naa 'anka wizrak" (dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu)
"Alladzii anqadha zhahrak" (yang memberatkan punggungmu?)
"Warafa'naa laka dzikrak" (Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu)
"Fa-inna ma'a l'usri yusraa" (Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan)
"Inna ma'a l'usri yusraa" (sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan)
"Fa-idzaa faraghta fanshab" (Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,)
"Wa-ilaa rabbika farghab" (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap)
Hari ini memang cukup melelahkan bagi Katrina. Hari ini memang cukup mengecewakan, tapi dengan adanya Allah SWT di dalam hati kita, Inshaa Allah, semua kesulitan itu bisa menjadi lebih mudah.
Perlahan tapi pasti, sayap-sayap harapan yang sepertinya mulai melemah, kini kembali mengepak sempurna. Katrina harus bangkit untuk kembali terbang.
Dia pasti bisa!
Ini adalah hari kedua Katrina bekerja efektif di kantor sekaligus hari ke dua Katrina mencari cinta pertamanya, Reyhan. Sepulang bekerja nanti, Katrina berniat mendatangi rumah lamanya di perumahan Medina, Jakarta Selatan. Sekaligus bersilaturahmi ke rumah Anggia. Sahabatnya sejak kecil yang notabene menjadi tetangganya selama enam belas tahun Katrina tinggal di Jakarta. Katrina sangat merindukan Anggia. Anggia adalah sosok sahabat terhebat sepanjang sejarah kehidupan Katrina. Anggia itu sosok gadis yang sangat periang. Dia bawel, jahil, centil, kadang kalau moodnya sedang tidak baik, dia suka sewot-sewot sendiri, tidak jelas. Tapi satu hal yang paling membuat Katrina merasa nyaman bersahabat dengan Anggia, dia itu tulus. Anggia itu sosoknya agak kekanak-kanakkan dan manja, karena dulu, Anggia hanya tinggal bersama ke dua orang tuanya di Jakarta. Jadi, semua kebutuhan Anggia selalu dituruti oleh ke dua orang tuanya tanpa terkecuali. Tant
Duhai Putri Bulanku, sudikah kau menjadi penyelamat hatiku? Bait puisi terakhir dari Reyhan yang masih lekat dalam ingatan Katrina. Sebuah puisi yang dipersembahkan Reyhan saat laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Katrina. Bahkan Katrina pun masih menyimpan gelang perak pemberian Reyhan yang warnanya sudah mulai memudar. Gelang dengan gantungan bulan-bulan sabit berwarna-warni. Hari ini pencarian Katrina lagi-lagi tak membuahkan hasil. Dia tak mendapati siapapun di rumah Anggia sore tadi. Kata tetangga, rumah itu sudah lama kosong semenjak Orang Tua Anggia mengalami kecelakaan mobil hingga menyebabkan mereka tewas di tempat. Katrina benar-benar merasa sangat tidak berguna. Sebagai seorang sahabat, dia justru tidak ada di sisi Anggia ketika Anggia harus melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kehilangan ke dua orang tua yang begitu menyayanginya selama ini. Dan ada kemungkinan Anggia sekarang tinggal di
"Halo what's up, bro? Bangunlah! Molor melulu, tahajud sana," Hardin berjalan ke teras apartemennya dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia kembali mengejek sahabatnya yang seringkali dia sebut sebagai Ustadz tamvan. "Lo ternyata," sahut Reyhan masih dengan mata setengah terbuka. Diliriknya jam dinding di kamarnya, pukul 03.45 WIB. "Hmmm, kayaknya perasaan gue nggak enak deh," gumam Reyhan lagi sambil membenarkan posisi bantalnya. "Ada baiknya, sebelum ngingetin orang lain, lo ngaca dulu sama diri lo sendiri," Hardin tertawa. "Baper banget lo jadi cowok! Salah gue ngomong begitu? Udah mau shubuh, bangun kali Pak Ustadz Reyhan," "Udah nggak usah basa-basi busuk lo, ada perlu apaan telepon gue pagi-pagi buta begini?" sembur Reyhan kesal. "Begini Bro, lusa gue mau ambil cuti ya tiga hari. Besokkan Pak Charles udah masuk tuh, so..." "Gue nggak mau!" jawab Reyhan cepa
Seorang laki-laki berjalan santai keluar dari area parkir perusahaan setelah memarkirkan Grand Livina putihnya. Gayanya terlihat casual tapi tetap formal. Setelan kemeja hitam dengan celana panjang slim fit hitam yang dia padu padankan dengan blazer coklat tua polos membuatnya terlihat begitu rapi. Potongan rambut tipe pompadour menambah kesan macho, trendi dan kekinian di dalam dirinya. Pesona yang dia pancarkan nyaris membuat setiap pasang mata seolah terhipnotis saat melihatnya. Terlebih lagi, bagi lawan jenisnya. Laki-laki itu berjalan ke lobi menuju bagian resepsionis. Belum ada orang di sana. Hanya ada beberapa security, itu pun di luar gedung. Lalu dia mulai merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel androidnya yang berwarna silver. Dia mulai menghubungi seseorang. Dalam hitungan lima detik telepon itu pun diangkat.
Di sebuah ruangan kecil yang tertutup. Di dalam toilet khusus untuk karyawan wanita. Seorang wanita bercadar bersandar pada dinding-dindingnya yang dingin. Dia melepas cadarnya dengan satu tarikan tangan. Tubuhnya jatuh terhempas di atas toilet duduk. Dia merasakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Nafasnya tersengal tak beraturan. Pandangan matanya kabur tertutup cairan-cairan bening yang mencoba untuk keluar namun dia tahan. Wanita itu menyekanya sebelum air mata itu sempat jatuh. Dia kembali teringat dengan percakapan terakhirnya dengan seorang laki-laki di masa lalunya sekitar sepuluh tahun yang lalu, di taman belakang sekolah. * "Mulai detik ini, aku nggak akan lelah berdoa sama Tuhan, sampai Tuhan bosan dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku," jelas seorang gadis
"Lo mau minum apa, Han?" tanya Hardin sebelum dia menelpon sekretarisnya Kisya untuk memesankan minuman. "Apa ajalah," sahut Reyhan datar. Hardin meraih gagang telepon kantor dan mulai menelepon. "Kisya tolong pesankan saya dua teh manis hangat. Antarkan ke ruangan saya ya? Oh ya, sekalian bilang sama Katrina suruh bagian marketing kirim file dokumen hasil rekap produksi selama dua hari ini, saya tunggu." Setelah mendengar jawaban dari Kisya, Hardin menutup telepon itu. Dia mendapati Reyhan yang menatapnya dengan tatapan yang aneh. Belum sempat Hardin bicara, Reyhan sudah mendahului. "Lo ngomong sama siapa tadi?" tanya Reyhan penasaran. "Sama sekretaris gue, kenapa?" Hardin menangkap ada yang aneh dari pertanyaan Reyhan. "Nama sekretaris lo, Katrina?" tanya Reyhan lagi dengan ekspresi yang benar-benar serius. "Bukan, sekretaris gue namanya Kisya. Katrina itu karyawan baru. Dia gue suruh jadi asistennya Kisya untuk semen
"Lo kenapa nggak tinggal di rumah orang tua lo aja di Medina? Ngapain pake sewa apartemen? Jarak dari kantor ke Medina juga nggak jauh-jauh banget," tanya Reyhan pada Hardin. Selama tinggal di Jakarta Hardin menyuruh Reyhan stay di apartemennya. Sebab Hardin tahu Reyhan tidak memiliki tempat tinggal di sini. "Biar lebih bebas aja sih. Kalau tinggal di sana takut nanti malah jadi omongan tetangga," jawab Hardin acuh. Kini mereka sedang duduk santai di teras apartemen Hardin yang berada di lantai 10. Dari atas sini mereka bisa menikmati suasana malam kota Jakarta yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu kota yang berwarna-warni. Bahkan sesekali angin malam menerpa tubuh mereka. "Btw, gue masih penasaran kenapa tadi lo ngebet banget kenalan sama Katrina? Lo kenal sama dia?" lanjut Hardin menyelidik. Jarang-jarang sobatnya yang tampan ini terlihat begitu tertarik unt
Hardin memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia memberikan begitu banyak pekerjaan pada Reyhan, sementara dia asik liburan ke Lombok bersama aktris itu.Reyhan benar-benar tidak percaya dengan hal ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB ketika Reyhan tidak juga beranjak dari layar laptopnya. Ada masalah di kantor cabang di Surabaya. Sementara di sana Pak Tristan selaku Om Hardin mengaku tidak dapat menyelesaikan masalah itu. Jadilah Reyhan yang terkena imbasnya. Sebab nomor ponsel Hardin fix tidak dapat dihubungi terhitung mulai dia berangkat ke Lombok bersama Dara malam tadi. Sedari dulu, orang pertama yang paling bisa diandalkan di perusahaan adalah Reyhan. Gagasan-gagasan dan ide-ide brilliant yang diajukan Reyhan selalu sukses membuat perusahaan meningkat satu level ke tahap yang lebih tinggi hingga akhirnya kini perusahaan itu bisa masuk daftar urutan lima besar perusahaan terbesar di Indonesia.