Dua hari berlalu pasca operasi.
Pagi ini perban dikaki Fikar harus dibersihkan, dibuka lalu diganti yang baru. Akan tetapi, bau amis memenuhi Kaki yang terluka. Dokter memeriksa dengan seksama, alhasil harus mengambil keputusan yang berat.
Dokter yang memiliki name tag Azizah dibajunya mengajak Pak Harun ke ruangannya.
"Maaf Pak, di kaki Fikar terjadi pembusukan. Harus segera diambil tindakan operasi untuk amputasi untuk menghentikan penyebaran pembusukan ke daerah lain. Jika Bapak bersedia, silahkan tanda tangani perjanjian dulu. Secepatnya!" Jelas Dokter Azizah dwngan tegas. Menyodorkan berkas yang sudah dipersiapkan oleh asistennya.
"Baik Dok, saya bicarakan dulu dengan keluarga." Jawab Pak Harun, mengundurkan diri dari hadapan Dokter.
Kebetulan ada tamu di ruangan.
Mulailah mereka berdiskusi bersama mengenai permasalahan operasi Fikar. Pastinya di luar ruangan agar tidak terdengar oleh Fikar, takut mentalnya tergoncang.
"Ayo, kita bawa ke Rumah sakit yang lebih bagus. Minta saja surat rujuk ke sana!" salah satu memberi pendapat.
"Daripada Amputasi, lebih baik pindah. Mana tahu takdir berkata lain." Seseorang yang lain menimpali.
"Coba temui Dokternya dulu Bang, biar kita bawa pergi," Sahut Adiknya Pak Harun.
Semua mengeluarkan pendapat. Tidak sepakat jika harus dioperasi lagi. Dan pihak keluarga juga sepakat.
Pak Harun menemui Dokter kembali menolak diadakan operasi.
"Maaf Pak, Kami nggak bisa menyetujui tindakan operasi lagi, bisakah kami meminta surat rujuk ke luar provinsi?" tanya Pak Harun.Dokter Azizah menaikkan kedua alisnya. Heran. Bagaimana mungkin operasi tidak dilakukan sedangkan pembusukan sudah menggerogoti tulang Sang anak!
"Maaf Pak, kami tidak bisa mengeluarkan surat apapun. Kondisi Anak Bapak mulai melemah dan harus segera dioperasi. Jika Bapak masih berkeras, silahkan bawa pulang tanpa surat rujukan dari sini." Sahut Dokter penuh ketegasan.
Pak Harun terdiam.
Lalu sejenak berat berpikir, "Baiklah Dok, kalau gitu saya permisi dulu." Sahut Pak Harun lemah.Setibanya di depan Ruangan Rawat Inap Mekar No. 10 yang ditempati Fikar. Pak Harun melangkah lunglai, lutut terasa lemas dan tubuhnya luruh ke lantai. Tanpa sempat menyentuh handel pintu.
Air mata terus mengalir di wajah tua itu. Baru beberapa hari lalu dia bersama Fikar ke pusat Kota, mengikuti tes masuk tentara dan dinyatakan lulus serta lanjut tes berikutnya, yang diadakan dua minggu lagi. Sebab fisik dan mental Fikar mendukung. Pak Harun menggantung harapan tinggi pada Sang Anak. Namun, sekarang apa? Fikar harus diamputasi sulit untuknya menerima kenyataan ini.
Jeri yang kebetulan hendak keluar, kaget melihat Ayah lemah tak berdaya di depan pintu.
"Ayah ... Tolong! Tolong!" teriak Jeri.Beberapa perawat dam keluarga pasien ruangan lain. Berdatangan, memapah Pak Harun ke kursi panjang depan kamar. Memberikan air minum dan minyak kayu putih.
Ayah Jeri masih sadar. Akan tetapi, pikirannya berkelana jauh dari ia terbaring. Bu Hasnah Menghampiri Suaminya, "Ayah harus kuat! Semua demi Fikar. Hapus air mata Ayah," ujar Bu Hasnah dengan tangan bergetar, menahan air mata yang membendung.
Tangispun pecah ketika kedua netra mata mereka bertemu.
----------------------Dokter meminta keputusan cepat dari pihak keluarga agar Fikar bisa segera ditangani. Dengan membaca basmalah dan tangan bergetar, Pak Harun menandatangani Surat perjanjian Rumah Sakit.Tindak Operasi segera dilakukan setelah semua persyaratan lengkap. Darah sebanyak 5 kantong sudah standby, jika sewaktu proses operasi pasien kehilangan banyak darah.
Dua Jam menunggu. Akhirnya Fikar dibawa keluar menggunakan Brankar dorong menuju ruang ICU. Sedangkan Jeri menyelesaikan Administrasi rawat Inap selama tiga hari dua malam. Nominal yang begitu besar sebab kelas VIP.
Setiba di depan ICU harus bergantian untuk masuk. Ketika itu juga banyak tamu yang datang baik dari keluarga Bu Hasnah maupun Pak Harun. Ketika Jeri kembali ia begitu lemas dan seketika memuntahkan isi perutnya.
Jeri begitu kelelahan, sehingga dia disuruh pulang oleh Pak Harun untuk menemani sibungsu di Rumah.
------------
Hari mendekati Sore, sebentar lagi mulai gelap dan Jam kunjung pasien habis. Tiba-tiba sosok yang dinantikan oleh Fikar kehadirannya muncul juga.Ya ... Dia kekasih Fikar, Zola Septia.Awalnya gadis itu tidak ingin datang sebab takut kena prank. Saat mendapat kabar dari Jeri, Abangnya Fikar dua hari yang lalu."Assalamualaikum Dek, Fikar kecelakaan. Datanglah ke sini, Rumah Sakit S Ruang ICU. Jam kunjung sore dari jam 16:00-18:00. Cepat ya! Fikar yang nyuruh." Ucap Bang Jeri dengan nada datar.Zola tersenyum. "Bisa-bisanya kak Fikar nyuruh Abangnya untuk ngerjain aku. No, ketahuan!" gumam Zola. Menggeleng pelan sambil senyum simpul."Abang nggak usah bercandalah, mau ngerjain Adek ya?" Sahut Zola. Sebab sudah seharian kemarin Fikar tidak memberikan kabar.Jeri mulai sewot hatinya."Ya Allah Dek, seterahla
POV Fikar"Bang, Kampung sebelah lagi ada turnamen volly, kita ikut daftar yuk!" seruku.Beberapa saat setelah membaca status teman yang bertempat tinggal di kampung sebelah."Ayo, jam berapa mulai? Langsung daftar nih!" tanya Bang Jeri. Menatapku dengan tajam."Seperti Biasa." singkatku."Ayolah, OTW." sahutnya. Kami bersiap-siap menggunakan pakaian olahraga dan sepatu, lalu berangkat. Tak lupa pamitan dengan Ibu.Umur kami kakak beradik berjarak 2 tahun lebih tapi jangan salah. Justru badanku lebih tinggi dan besar hingga seringkali disangka kakaknya abangku.Nah bingungkan! Bang Jeri orangnya cuek, walaupun berbadan besar dan kurang tinggi (biar agak sopan) ia tetap percaya diri. Meskipun sering dibully beda fisik.-------------Setelah turnamen Volly, meskipun kami kalah dan tidak
Gadis Muda itu bangun subuh, ingin memasak sesuatu untuk dibawa ke Rumah Sakit. Ia kebingungan menu apa yang boleh dimakan oleh Bang Fikar."Daripada bingung, lebih baik aku tanyain Ibu Bang Fikar." gumamnya. Lalu mencari kontak Ibu dan mulai menekan panggilan. Dua kali dering langsung diangkat."Assalamualaikum, bagaimana kabar Ibu? Ini Zola mau tanya. Apa jenis makanan yang boleh dimakan Bang Fikar?" Ujar Zola to the point. Takut mengganggu istrahat Ibu."Waalaikumussalam, Alhamdulillah Baik. Ikan Gabus. Diolah jadi apa gitu, biar nggak ketahuan Fikar, soalnya dia nggak suka." Jawab Ibu pelan."Oh, baiklah Bu! Aku cari dulu ikannya." Zola mematikan sambungan telpon.Lalu melangkah ke dapur. Zola kebingungan. Dia juga nggak suka Ikan Gabus apalagi megangnya, geli jijik."Ih ... Coba cek kulkas dulu, semoga nggak ada!" liri
Tiga Bulan berlalu.Fikar melamun mengingat kenangan manis bersama Zola beberapa bulan lalu. Gadis itu mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan yang pasti.Sejak kepulangan Fikar ke Rumah. Belum ada kunjungan dari Zola. Padahal sebulan di Rumah Sakit, hampir setiap hari gadis itu tanpa Absen mengunjunginya.Ketika ditanya Zola selalu beralasan motor nggak ada, lagi sakit, Rumah nggak ada yang jaga dan bla ... Bla ... Entah cuma sebagai alasan atau benaran, Fikar tidak tahu.Fikar berusaha berpositif thinking. Walaupun sejujurnya hati itu sangat resah dan gelisah.-----------------Dua minggu setelah pulang dari Rumah Sakit, Fikar hanya terbaring di atas kasur busa di tumpukkan bantal tinggi penyangga kepalanya.Tidak banyak yang bisa dilakukan Fikar. Geraknya sungguh terbatas. Makan diambilin dan disuapi, Buang Air
Sejak Kejadian yang dialami Fikar, tubuhku terasa kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kabar kecelakaan itu sangat mengejutkan. Tepat waktu sore itu, aku bersiap hendak pulang ke rumah. Bekerja sebagai pengawas di Pabrik kayu menyita sebagian besar tenaga dan waktu untuk keluarga, terkadang lembur hingga tengah malam, atau masuk hutan belantara mencari kayu berkualitas tinggi yang harga jualnya pun sangat tinggi. Semua lelah terbayar oleh gaji atau upah keringat yang bisa dikategorikan cukup besar untuk menafkahi istri dan ketiga putraku. Ditambah pula sebagian besar dari hasil kebun karet dan sawit warisan orang tua kami, maksudnya Hasnah dan diriku. Tidak lupa kadang diri ini berbagi rezeki dengan saudara dan sanak family agar dilancarkan dalam bekerja dan berusaha. ---------------- Hari ini tidak ada lembur, sedari pagi entah kenapa perasaanku tidak enak? Pikiranku melaya
Fikar duduk dilantai sembari menompang dagu ditepi jendela, ia menikmati kesendirian di rumah. Bangunan milik orang tuanya memiliki jendela model slim dengan posisi setinggi duduk orang dewasa.Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, dia tidak sedang melihat apa-apa, namun pikirannya yang berkelana, memikirkan masa depan yang akan dilaluinya nanti. Buliran bening menetes membasahi pipi, segera diusap Fikar dengan ujung jari telunjuk."Aduh!" pekiknya.Saat menyadari kaki yang diamputasi mengeluarkan air bercampur nanah dari bolongan disekitarnya sebab terbentur dinding tanpa disengaja ketika menggeser posisi duduknya.Terdengar ringisan dari bibir Fikar saat mengusap pelan air berbau menyengat itu dengan kain yang sudah tersedia, bau itu membuatnya kehilangan napsu makan. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak takdir?Sejenak ia melupakan kesakitan yang barusan t
Fikar terjaga dari tidurnya yang indah sebab berjumpa dengan belahan jiwa yang sangat ia rindukan sembari tersenyum lebar mengingat hal manis semalam walaupun hanya di alam mimpi. Setidaknya rasa rindu terobati, tapi ada yang mengatakan rindu tak mampu diobati kecuali sebuah pertemuan. Ada benarnya sih!Lelaki disbilitas itu menelusuri ruangan kamar yang tak terlalu lapang, tapi terasa pengap sebab minimnya cahaya yang masuk. Tatapannya berhenti pada tongkat kruk ketiak pemberian Bang Jeri."Ini tongkat dibeli atau hadiah ya?" gumam Fikar menelisik benda tersebut yang berada tak jauh darinya."Tapi, label harga nggak ada. Bisa jadi pemberian! Apa aku bisa menggunakannya?" Kata Fikar kemudian dengan mata sendu, membendung air mata kala mengingat diri yang tak mampu untuk mandiri.Tangannya meraba alat bantu tersebut secara halus setelah duduknya secara perlahan beringsut sampai
Bi Julai, tetangga sebelah Fikar berlari ke luar memanggil orang-orang saat Fikar didapati pingsan. Wanita tua itu berusaha keras menolong memindahkan tetangganya itu ke tempat pembaringan."Malangnya nasibmu, Nak!" Kata Bi Julai meneteskan air mata menatap wajah Fikar, kemudian membersihkan cairan kental yang bercecer di lantai.Wanita itu meminta salah satu orang yang berada di sana menjemput orang tua Fikar di kebun."Anto, cepat bawa orang tua Fikar pulang! Takutnya ini pendarahan dan darurat," Ujar Bi Julai panik memperhatikan darah yang keluar dari paha Fikar yang diamputasi semakin banyak.Anto mengangguk. Bergegas keluar rumah."Fikar ... Fikar!"Bu Hasnah memanggil Putranya sambil menepuk-nepuk pelan Pipi anaknya supaya cepat sadar.Panik. Keadaan menjadi tegang!"Bagaimana