Ya ... Dia kekasih Fikar, Zola Septia.
Awalnya gadis itu tidak ingin datang sebab takut kena prank. Saat mendapat kabar dari Jeri, Abangnya Fikar dua hari yang lalu.
"Assalamualaikum Dek, Fikar kecelakaan. Datanglah ke sini, Rumah Sakit S Ruang ICU. Jam kunjung sore dari jam 16:00-18:00. Cepat ya! Fikar yang nyuruh." Ucap Bang Jeri dengan nada datar.
Zola tersenyum. "Bisa-bisanya kak Fikar nyuruh Abangnya untuk ngerjain aku. No, ketahuan!" gumam Zola. Menggeleng pelan sambil senyum simpul.
"Abang nggak usah bercandalah, mau ngerjain Adek ya?" Sahut Zola. Sebab sudah seharian kemarin Fikar tidak memberikan kabar.
Jeri mulai sewot hatinya.
"Ya Allah Dek, seterahlah kalau nggak percaya! Musibah kok dijadiin candaan. Aneh. Assalamualaikum," ketusnya lalu mematikan telpon secara sepihak.Zola mulai tidak tenang. Dia belum bisa berangkat sekarang. Sebab jarak rumahnya dengan Rumah Sakit sangat Jauh. Ia memutuskan datang besok.
-------------
Ketika sampai di Rumah sakit, Zola memarkirkan motor dihalaman Rumah Sakit. Ia tak sendiri ditemani oleh saudara perempuannya.Dengan langkah tergesa, menuju Ruang ICU. Di sana begitu banyak keluarga pasien. Ia mengedarkan pandangan. Hingga di sudut ruang terlihat Bu Hasnah, Ibunya Fikar.
Sebelumnya mereka sudah beberapa kali bertemu, hingga saling kenal. Mendekati Ibu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Berharap semua hanya mimpi.
"Bu ..." Sapanya lembut kepada calon Mertua. Dengan tangan kanan menyentuh wanita yang telah melahirkan Fikar.
Bu Hasnah kaget. Sedari tadi ia hanya melamun. Lalu menetralkan perasaan. Kan tetapi melihat Zola tidak mampu membendung air matanya, terjadilah tangis di antara keduanya.
Setelah menumpahkan tangis keduanya. Zola meminta izin untuk menemui Fikar di Dalam ICU. Bu Hasnah menunjuk tempat Fikar di rawat, ia tidak ikut masuk.
Memakai pakaian khusus pengunjung. Zola berusaha menguatkan hati. Sesampainya di Depan Ranjang tidur Fikar, menatap wajah pucat dan badan lemas Fikar yang dipasang banyak selang. Serta tubuhnya ditutupi selimut. Ia tak mampu membendung air mata yang membasahi pipi.
Fikar yang mendengar Isak tangis dari suara yang sangat dikenalnya. Terbangun dari tidur berusaha tersenyum menyambut sosok yang dinantikannya.
"Dek ..." panggilnya pelan dengan suara lirih.
Zola menghapus air matanya lalu menatap lekat wajah Sang Kekasih. "Ya Bang ... Adek di sini, maaf datang terlambat." lirihnya dengan nada bergetar. Meraih tangan Fikar yang dibalut kain kasa pelan.
"Bang, Jarinya kenapa?" tanya Zola dengan perasaan nyilu.
"Jari Abang Patah Dek, jadi dipotong satu dan -----" ucapan Fikar terpotong oleh Zola.
"Ya Allah Bang. Ini pasti sakit, adek hembus ya!" Tukas Zola berusaha menghibur sang Kekasih. Agar tak terpuruk.
Fikar tersenyum melihat kelakuan polos sang Kekasih hati. Mau dihembus seperti apapun, tidak akan hilang sakit dan pedihnya. Namun, kekuatan cinta meruntuhkan semua. Rasa sakit itu berkurang atas kehadiran Pujaan hati.
"Dek, ada yang lebih parah lagi." Fikar mencoba membuka selimut yang menutupi badannya. "Ini!" tunjuk Lelaki itu setelah selimut berhasil terbuka meski terdengar ringisan dari bibirnya.
"Astagfirullah ..." Zola menangis sejadi-jadinya melihat kenyataan di depan mata. Fikar yang tak mampu membendung rasa, terbawa perasaan juga menangis.
Tidak ada kata yang terucap dari bibir tipis wanita muda itu, kecuali tangisan yang begitu memilukan. Hingga jam berkunjung habis. Zola tetap tak mampu menahan air mata untuk keluar.
POV Fikar"Bang, Kampung sebelah lagi ada turnamen volly, kita ikut daftar yuk!" seruku.Beberapa saat setelah membaca status teman yang bertempat tinggal di kampung sebelah."Ayo, jam berapa mulai? Langsung daftar nih!" tanya Bang Jeri. Menatapku dengan tajam."Seperti Biasa." singkatku."Ayolah, OTW." sahutnya. Kami bersiap-siap menggunakan pakaian olahraga dan sepatu, lalu berangkat. Tak lupa pamitan dengan Ibu.Umur kami kakak beradik berjarak 2 tahun lebih tapi jangan salah. Justru badanku lebih tinggi dan besar hingga seringkali disangka kakaknya abangku.Nah bingungkan! Bang Jeri orangnya cuek, walaupun berbadan besar dan kurang tinggi (biar agak sopan) ia tetap percaya diri. Meskipun sering dibully beda fisik.-------------Setelah turnamen Volly, meskipun kami kalah dan tidak
Gadis Muda itu bangun subuh, ingin memasak sesuatu untuk dibawa ke Rumah Sakit. Ia kebingungan menu apa yang boleh dimakan oleh Bang Fikar."Daripada bingung, lebih baik aku tanyain Ibu Bang Fikar." gumamnya. Lalu mencari kontak Ibu dan mulai menekan panggilan. Dua kali dering langsung diangkat."Assalamualaikum, bagaimana kabar Ibu? Ini Zola mau tanya. Apa jenis makanan yang boleh dimakan Bang Fikar?" Ujar Zola to the point. Takut mengganggu istrahat Ibu."Waalaikumussalam, Alhamdulillah Baik. Ikan Gabus. Diolah jadi apa gitu, biar nggak ketahuan Fikar, soalnya dia nggak suka." Jawab Ibu pelan."Oh, baiklah Bu! Aku cari dulu ikannya." Zola mematikan sambungan telpon.Lalu melangkah ke dapur. Zola kebingungan. Dia juga nggak suka Ikan Gabus apalagi megangnya, geli jijik."Ih ... Coba cek kulkas dulu, semoga nggak ada!" liri
Tiga Bulan berlalu.Fikar melamun mengingat kenangan manis bersama Zola beberapa bulan lalu. Gadis itu mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan yang pasti.Sejak kepulangan Fikar ke Rumah. Belum ada kunjungan dari Zola. Padahal sebulan di Rumah Sakit, hampir setiap hari gadis itu tanpa Absen mengunjunginya.Ketika ditanya Zola selalu beralasan motor nggak ada, lagi sakit, Rumah nggak ada yang jaga dan bla ... Bla ... Entah cuma sebagai alasan atau benaran, Fikar tidak tahu.Fikar berusaha berpositif thinking. Walaupun sejujurnya hati itu sangat resah dan gelisah.-----------------Dua minggu setelah pulang dari Rumah Sakit, Fikar hanya terbaring di atas kasur busa di tumpukkan bantal tinggi penyangga kepalanya.Tidak banyak yang bisa dilakukan Fikar. Geraknya sungguh terbatas. Makan diambilin dan disuapi, Buang Air
Sejak Kejadian yang dialami Fikar, tubuhku terasa kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kabar kecelakaan itu sangat mengejutkan. Tepat waktu sore itu, aku bersiap hendak pulang ke rumah. Bekerja sebagai pengawas di Pabrik kayu menyita sebagian besar tenaga dan waktu untuk keluarga, terkadang lembur hingga tengah malam, atau masuk hutan belantara mencari kayu berkualitas tinggi yang harga jualnya pun sangat tinggi. Semua lelah terbayar oleh gaji atau upah keringat yang bisa dikategorikan cukup besar untuk menafkahi istri dan ketiga putraku. Ditambah pula sebagian besar dari hasil kebun karet dan sawit warisan orang tua kami, maksudnya Hasnah dan diriku. Tidak lupa kadang diri ini berbagi rezeki dengan saudara dan sanak family agar dilancarkan dalam bekerja dan berusaha. ---------------- Hari ini tidak ada lembur, sedari pagi entah kenapa perasaanku tidak enak? Pikiranku melaya
Fikar duduk dilantai sembari menompang dagu ditepi jendela, ia menikmati kesendirian di rumah. Bangunan milik orang tuanya memiliki jendela model slim dengan posisi setinggi duduk orang dewasa.Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, dia tidak sedang melihat apa-apa, namun pikirannya yang berkelana, memikirkan masa depan yang akan dilaluinya nanti. Buliran bening menetes membasahi pipi, segera diusap Fikar dengan ujung jari telunjuk."Aduh!" pekiknya.Saat menyadari kaki yang diamputasi mengeluarkan air bercampur nanah dari bolongan disekitarnya sebab terbentur dinding tanpa disengaja ketika menggeser posisi duduknya.Terdengar ringisan dari bibir Fikar saat mengusap pelan air berbau menyengat itu dengan kain yang sudah tersedia, bau itu membuatnya kehilangan napsu makan. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak takdir?Sejenak ia melupakan kesakitan yang barusan t
Fikar terjaga dari tidurnya yang indah sebab berjumpa dengan belahan jiwa yang sangat ia rindukan sembari tersenyum lebar mengingat hal manis semalam walaupun hanya di alam mimpi. Setidaknya rasa rindu terobati, tapi ada yang mengatakan rindu tak mampu diobati kecuali sebuah pertemuan. Ada benarnya sih!Lelaki disbilitas itu menelusuri ruangan kamar yang tak terlalu lapang, tapi terasa pengap sebab minimnya cahaya yang masuk. Tatapannya berhenti pada tongkat kruk ketiak pemberian Bang Jeri."Ini tongkat dibeli atau hadiah ya?" gumam Fikar menelisik benda tersebut yang berada tak jauh darinya."Tapi, label harga nggak ada. Bisa jadi pemberian! Apa aku bisa menggunakannya?" Kata Fikar kemudian dengan mata sendu, membendung air mata kala mengingat diri yang tak mampu untuk mandiri.Tangannya meraba alat bantu tersebut secara halus setelah duduknya secara perlahan beringsut sampai
Bi Julai, tetangga sebelah Fikar berlari ke luar memanggil orang-orang saat Fikar didapati pingsan. Wanita tua itu berusaha keras menolong memindahkan tetangganya itu ke tempat pembaringan."Malangnya nasibmu, Nak!" Kata Bi Julai meneteskan air mata menatap wajah Fikar, kemudian membersihkan cairan kental yang bercecer di lantai.Wanita itu meminta salah satu orang yang berada di sana menjemput orang tua Fikar di kebun."Anto, cepat bawa orang tua Fikar pulang! Takutnya ini pendarahan dan darurat," Ujar Bi Julai panik memperhatikan darah yang keluar dari paha Fikar yang diamputasi semakin banyak.Anto mengangguk. Bergegas keluar rumah."Fikar ... Fikar!"Bu Hasnah memanggil Putranya sambil menepuk-nepuk pelan Pipi anaknya supaya cepat sadar.Panik. Keadaan menjadi tegang!"Bagaimana
Sebulan setelah acara angkat keluarga dilakukan, membuat hubungan Pak Harun dan Pak Zur semakin dekat. Anak-anak yang semula hanya teman bermain, sekarang tumbuh rasa sungkan dan saling menghargai.Tidak ada lagi olok-olokan seperti biasa. Semua berubah, tak enak hati selalu menjadi alasan utama. Begitu pun saat bertemu dalam tongkrongan, canda mereka tertahan.Jeri dan Putra pertama Pak Zur yang bernama Musir sangat akrab meski beda usia, namun jarak terbentang saat ini.Biasanya di rumah sederhana dengan tampilan biasa itu selalu dihuni oleh Fikar, setiap pagi semua orang pergi mengais rezeki. Derap langkah kaki memasuki rumah Bu Hasnah.Fikar menajamkan pendengaran."Siapa ya? pagi-pagi sudah bertamu," gumam lelaki itu. Ia menggeser duduk dengan cara mengesot hingga sampai di depan pintu, celingukan menatap ruang tamu. Dihadapan Fikar berdiri sosok lela