Perjalanan terasa jauh dan lama, tidak seperti biasanya. Jarak antara Kampung ke Kota sekitar sejam. Hujan mulai berhenti ketika memasuki perbatasan.
"Alhamdulillah hujan berhenti. Semoga Fikar mampu bertahan hingga ke Rumah Sakit." lirih Bu Hasnah pelan.
Meskipun samar hanya diterangi lampu jalan. Fikar terlihat tidur lelap dipangkuan Sang Ibu. Saking sakitnya hanya bisa berpasrah diri. Dia kedinginan. Badannya menggigil, bibir pucat. Sebisa mungkin Bu Hasnah melindungi tubuh Anaknya dengan selendang.
Ketakutan itu begitu nyata.
Isak tangis tak bisa dibendung. Saat sampai di Rumah Sakit Fikar dalam keadaan kritis. Dua perawat datang membawa Brankar dorong untuk memindahkan pasien dari mobil.
Fikar semakin lemah bibir membiru. Perawat membawanya ke ruang rawat sementara, UGD Rumah Sakit. Lukanya dibersihkan dengan alkohol, setelah steril Lalu dibalut dengan Kasa berukuran besar untuk menghentikan perdarahan dan pembengkakan. Terakhir pemasangan Infus.
Penanganan darurat. Fikar kehilangan banyak darah. Perawat menyampaikan bahwa stok darah golongan AB saat ini tidak tersedia di Rumah Sakit. Sehingga mereka semua berpencar, hanya Ibu yang menjaga Fikar bermalam di UGD.
----------------------
Ketika Fikar masuk UGD dan dalam pertolongan pertama. Jeri segera berlalu mengurus pendaftaran pasien, adiknya. Data diisi lengkap dengan beberapa dokumen yang diantarkan oleh keluarga dari Sang Ibu.
Jeri bersedia menjadi penanggung jawab lewat jalur mandiri, sebab mereka tidak memiliki BPJS untuk berobat. Kemudian ke ruang Administrasi. Meninggalkan KTPnya sebagai jaminan karena Pak Harun, ayahnya belum datang. Kemudian mengambil obat-obatan dan infus. Serta mencari sekantong darah golongan AB ditempat pendonor.
Jeri kelelahan sebab sejak sampai di Rumah Sakit dia lalu lalang tanpa istirahat, lapar juga menguasai dirinya.
"Ya Allah ... Kuatkanlah hamba, sebentar lagi bisa istirahat!" gumam Jeri melangkah ke Ruang UGD. Terdengar isak tangis di dalam, suara yang tidak asing lagi. Ya ... Itu ayah.
Jeri segera berlari kecil menghampiri Sang Ayah yang menangis pilu. Ternyata Ayah baru sampai tanpa sempat tukar pakaian dulu. Bajunya terlihat kotor oleh debu/serpihan kamu.
Wajah ayah sangat terpukul menyaksikan anak yang dibanggakannya dalam keadaan kritis.
Tiba-tiba Perawat datang
"Permisi! Maaf Ibu, Bapak, Abang. Diperbolehkan menunggu Pasien hanya satu orang. Silahkan yang lain keluar." ujarnya dengan ramah.Pak Harun dan Jeri memutuskan untuk keluar. Beristirahat untuk bergantian dengan Bu Hasnah. Sementara yang lain sudah pulang ke Rumahnya.
"Ayah ada bawa uang? KTP aku jadi jaminan untuk menebus obat. Sekalian mau ambil ruang rawat Inap yang mana yah?" tanya Jeri dengan mimik wajah serius.
"Nggak ada uang cash Nak, cuma bawa kartu ATM. Super VIP aja, biar nyaman!" sahut Ayah pelan.
"Sekalian cari makan dulu, belikan Ibumu juga. Ayah sudah makan tadi." ujar ayah kembali.
Jeri berlalu dan menghilang di balik tembok putih Rumah Sakit. Masih banyak yang harus diurusnya, meskipun waktu menunjukkan pukul 12 malam, ia mengelilingi Rumah Sakit tanpa memakai Baju.
--------------------
Tiga hari kemudian.
Fikar sudah di Kamar rawat Inap setelah bermalam di UGD Rumah Sakit. Terjadi pembusukan pada kakinya yang hancur maka diharuskan tindakan Operasi. Dan dibutuhkan 10 kantong darah untuk menstabilkan, menghindari pendarahan hebat.
Berhari-hari Jeri mencari pendonor yang cocok. Memberi makan, vitamin dan Sebotol bubur kacang hijau kepada setiap pendonor. Tanpa terasa dana semakin menipis.
Mulailah operasi dilakukan pada pukul 10 pagi. Jalur mandiri maka harus melakukan pembayaran terlebih dahulu. Lalu membeli pen yang dijual disekitar Rumah Sakit. Tangan dan Kaki Fikar dipasang Pen saat operasi.
Jeri adalah kakak terhebat. Berjuang di depan secara cepat mengatasi permasalahan adiknya. Ia mengurus semua hal hingga asuransi kecelakaan dari Jasa Raharja sebesar 15 Juta.
------------------
Operasi berjalan lancar. Fikar dipindahkan ke Kamar rawat Inap. Setelah dilasang Pen sebagai penyangga tulang yang hancur.Semua yang menjenguk tidak ada yang terlepas dari tangisan. Fikar begitu pucat pasi. Kekurangan banyak darah. Ketika disuntik perawat kesulitan karena susah mencari jalan nadi, disebabkan berat badan Fikar. Jejak suntikan menghiasi lengan kiri dan kanannya.
"Aduh sakit Bang!" Kata Fikar sambil meringis. Saat efek bius mulai menghilang.
Jeri yang sedang berbaring di lantai, seketika berdiri mendekati Fikar di tepi ranjang.
"Bawa tenang. Banyakin dzikir! Insya Allah entar pasti bisa tidur. Ya sakit Dek, nggak ada yang enak sekarang!" sanggah Jeri menasihati.
Benar saja. Beberapa menit kemudian Fikar ketiduran, rasa sakit itu tidak menghilang tetapi cukup mengurangi.
Dua hari berlalu pasca operasi.Pagi ini perban dikaki Fikar harus dibersihkan, dibuka lalu diganti yang baru. Akan tetapi, bau amis memenuhi Kaki yang terluka. Dokter memeriksa dengan seksama, alhasil harus mengambil keputusan yang berat.Dokter yang memiliki name tag Azizah dibajunya mengajak Pak Harun ke ruangannya."Maaf Pak, di kaki Fikar terjadi pembusukan. Harus segera diambil tindakan operasi untuk amputasi untuk menghentikan penyebaran pembusukan ke daerah lain. Jika Bapak bersedia, silahkan tanda tangani perjanjian dulu. Secepatnya!" Jelas Dokter Azizah dwngan tegas. Menyodorkan berkas yang sudah dipersiapkan oleh asistennya."Baik Dok, saya bicarakan dulu dengan keluarga." Jawab Pak Harun, mengundurkan diri dari hadapan Dokter.Kebetulan ada tamu di ruangan.Mulailah mereka berdiskusi bersama mengenai permasalahan operasi Fikar. P
Hari mendekati Sore, sebentar lagi mulai gelap dan Jam kunjung pasien habis. Tiba-tiba sosok yang dinantikan oleh Fikar kehadirannya muncul juga.Ya ... Dia kekasih Fikar, Zola Septia.Awalnya gadis itu tidak ingin datang sebab takut kena prank. Saat mendapat kabar dari Jeri, Abangnya Fikar dua hari yang lalu."Assalamualaikum Dek, Fikar kecelakaan. Datanglah ke sini, Rumah Sakit S Ruang ICU. Jam kunjung sore dari jam 16:00-18:00. Cepat ya! Fikar yang nyuruh." Ucap Bang Jeri dengan nada datar.Zola tersenyum. "Bisa-bisanya kak Fikar nyuruh Abangnya untuk ngerjain aku. No, ketahuan!" gumam Zola. Menggeleng pelan sambil senyum simpul."Abang nggak usah bercandalah, mau ngerjain Adek ya?" Sahut Zola. Sebab sudah seharian kemarin Fikar tidak memberikan kabar.Jeri mulai sewot hatinya."Ya Allah Dek, seterahla
POV Fikar"Bang, Kampung sebelah lagi ada turnamen volly, kita ikut daftar yuk!" seruku.Beberapa saat setelah membaca status teman yang bertempat tinggal di kampung sebelah."Ayo, jam berapa mulai? Langsung daftar nih!" tanya Bang Jeri. Menatapku dengan tajam."Seperti Biasa." singkatku."Ayolah, OTW." sahutnya. Kami bersiap-siap menggunakan pakaian olahraga dan sepatu, lalu berangkat. Tak lupa pamitan dengan Ibu.Umur kami kakak beradik berjarak 2 tahun lebih tapi jangan salah. Justru badanku lebih tinggi dan besar hingga seringkali disangka kakaknya abangku.Nah bingungkan! Bang Jeri orangnya cuek, walaupun berbadan besar dan kurang tinggi (biar agak sopan) ia tetap percaya diri. Meskipun sering dibully beda fisik.-------------Setelah turnamen Volly, meskipun kami kalah dan tidak
Gadis Muda itu bangun subuh, ingin memasak sesuatu untuk dibawa ke Rumah Sakit. Ia kebingungan menu apa yang boleh dimakan oleh Bang Fikar."Daripada bingung, lebih baik aku tanyain Ibu Bang Fikar." gumamnya. Lalu mencari kontak Ibu dan mulai menekan panggilan. Dua kali dering langsung diangkat."Assalamualaikum, bagaimana kabar Ibu? Ini Zola mau tanya. Apa jenis makanan yang boleh dimakan Bang Fikar?" Ujar Zola to the point. Takut mengganggu istrahat Ibu."Waalaikumussalam, Alhamdulillah Baik. Ikan Gabus. Diolah jadi apa gitu, biar nggak ketahuan Fikar, soalnya dia nggak suka." Jawab Ibu pelan."Oh, baiklah Bu! Aku cari dulu ikannya." Zola mematikan sambungan telpon.Lalu melangkah ke dapur. Zola kebingungan. Dia juga nggak suka Ikan Gabus apalagi megangnya, geli jijik."Ih ... Coba cek kulkas dulu, semoga nggak ada!" liri
Tiga Bulan berlalu.Fikar melamun mengingat kenangan manis bersama Zola beberapa bulan lalu. Gadis itu mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan yang pasti.Sejak kepulangan Fikar ke Rumah. Belum ada kunjungan dari Zola. Padahal sebulan di Rumah Sakit, hampir setiap hari gadis itu tanpa Absen mengunjunginya.Ketika ditanya Zola selalu beralasan motor nggak ada, lagi sakit, Rumah nggak ada yang jaga dan bla ... Bla ... Entah cuma sebagai alasan atau benaran, Fikar tidak tahu.Fikar berusaha berpositif thinking. Walaupun sejujurnya hati itu sangat resah dan gelisah.-----------------Dua minggu setelah pulang dari Rumah Sakit, Fikar hanya terbaring di atas kasur busa di tumpukkan bantal tinggi penyangga kepalanya.Tidak banyak yang bisa dilakukan Fikar. Geraknya sungguh terbatas. Makan diambilin dan disuapi, Buang Air
Sejak Kejadian yang dialami Fikar, tubuhku terasa kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kabar kecelakaan itu sangat mengejutkan. Tepat waktu sore itu, aku bersiap hendak pulang ke rumah. Bekerja sebagai pengawas di Pabrik kayu menyita sebagian besar tenaga dan waktu untuk keluarga, terkadang lembur hingga tengah malam, atau masuk hutan belantara mencari kayu berkualitas tinggi yang harga jualnya pun sangat tinggi. Semua lelah terbayar oleh gaji atau upah keringat yang bisa dikategorikan cukup besar untuk menafkahi istri dan ketiga putraku. Ditambah pula sebagian besar dari hasil kebun karet dan sawit warisan orang tua kami, maksudnya Hasnah dan diriku. Tidak lupa kadang diri ini berbagi rezeki dengan saudara dan sanak family agar dilancarkan dalam bekerja dan berusaha. ---------------- Hari ini tidak ada lembur, sedari pagi entah kenapa perasaanku tidak enak? Pikiranku melaya
Fikar duduk dilantai sembari menompang dagu ditepi jendela, ia menikmati kesendirian di rumah. Bangunan milik orang tuanya memiliki jendela model slim dengan posisi setinggi duduk orang dewasa.Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, dia tidak sedang melihat apa-apa, namun pikirannya yang berkelana, memikirkan masa depan yang akan dilaluinya nanti. Buliran bening menetes membasahi pipi, segera diusap Fikar dengan ujung jari telunjuk."Aduh!" pekiknya.Saat menyadari kaki yang diamputasi mengeluarkan air bercampur nanah dari bolongan disekitarnya sebab terbentur dinding tanpa disengaja ketika menggeser posisi duduknya.Terdengar ringisan dari bibir Fikar saat mengusap pelan air berbau menyengat itu dengan kain yang sudah tersedia, bau itu membuatnya kehilangan napsu makan. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak takdir?Sejenak ia melupakan kesakitan yang barusan t
Fikar terjaga dari tidurnya yang indah sebab berjumpa dengan belahan jiwa yang sangat ia rindukan sembari tersenyum lebar mengingat hal manis semalam walaupun hanya di alam mimpi. Setidaknya rasa rindu terobati, tapi ada yang mengatakan rindu tak mampu diobati kecuali sebuah pertemuan. Ada benarnya sih!Lelaki disbilitas itu menelusuri ruangan kamar yang tak terlalu lapang, tapi terasa pengap sebab minimnya cahaya yang masuk. Tatapannya berhenti pada tongkat kruk ketiak pemberian Bang Jeri."Ini tongkat dibeli atau hadiah ya?" gumam Fikar menelisik benda tersebut yang berada tak jauh darinya."Tapi, label harga nggak ada. Bisa jadi pemberian! Apa aku bisa menggunakannya?" Kata Fikar kemudian dengan mata sendu, membendung air mata kala mengingat diri yang tak mampu untuk mandiri.Tangannya meraba alat bantu tersebut secara halus setelah duduknya secara perlahan beringsut sampai