"Ratih. Bikinin Mas kopi," titahnya bahkan tanpa menoleh ke arahku. Dan lagi-lagi, aku menganggap dia tidak pernah menghargaiku. Memanggil namaku dan mendekati hanya saat butuh saja.
Aku pergi kedapur untuk membuatkan segelas kopi untuknya. kadang-kadang... Aku merasa posisiku sama saja seperti pembantu. Bedanya para pembantu hanya fokus pada pekerjaan rumah. Kemudian diberi upah. Sementara aku mengerjakan semuanya tanpa dibayar. Mulai dari sumur, kasur dan dapur.
Brakk
"Aaa..... Bunda...!"
Jantungku berdegup kencang. Raka menangis histeris. Aku langsung mendekatinya. Posisi Raka sudah tertelungkup di lantai. Anak itu pasti jatuh saat mencariku.
"Raka!" Aku mencoba menikmatinya. Dan mencari mungkin ada luka atau lebam di tubuhnya. Dan aku menghela nafas lega saat menyadari tidak ada luka serius. Hanya sedikit di dengkulnya.
"Astaga Raka kenapa?! Kamu ini gimana sih jadi orang tua. Anak selalu celaka terus gitu, kamu ngapain aja, hah!!"
Seperti biasa, setiap kali terdengar Raka menangis, ibu mertuaku langsung menghujaniku dengan amarahnya. Aku diam saja. Bahkan untuk dijawab, sudah terlalu terlalu lelah. Dia juga tidak mungkin percaya dengan alasanku.
Setelah membuat susu untuk Raka.
Aku membawa Raka mendekati suamiku. Dan yang membuat hatiku sakit. Dia seperti tidak peduli dengan tangisan Raka yang menggelegar. Masih saja fokus pada gadgetnya.
Aku membaringkan Raka di kasur.
"Mas!"
Dia mengangkat wajahnya. "Kenapa? Kopinya mana?"
"Kopi-kopi. Aku udah sering bilang, kalo nyuruh aku apa-apa itu, anak dijagain. Apa susahnya sih! Liat Raka jadi luka gini, kamu nggak punya perasaan apa gimana? Nggak punya niat banget buat nyamperin anaknya yang jatuh." Karena terlalu kesal, aku jadi melampiaskan segalanya.
"Apa Sih! Dia itu cowok. Udah biarin aja. Nanti jadi kebiasaan, cengeng. Karena terlalu dimanja."
"Astaga... Mas! Raka masih kecil. Wajar kalo dia butuh perhatian. Dan bukan cuma perhatian aku, tapi kamu juga! Kamu pikir jadi mesin pencari uang aja cukup buat rumah tangga kita bahagia."
"Kamu tuh yang gak punya otak! Suami macam pulang kerja capek. Malah komunikasikan anak. Istri macam apa kamu itu!"
"Oke, baiklah. Aku tahu kamu nggak capek seharian kerja. Tapikan ada waktu, Mas. Sabtu minggu kamu nggak kerja. Dan lagi... Main game, keluyuran kemana-mana kamu capek. Bahkan lima menit aja, gak pernah kamu luangin buat ngajak Raka main. Kalo kamu belum siap punya anak, ngapain buat anak!"
"Makin kurang ajar aja kamu sekarang, ya! Inilah akibatnya terlalu deket sama mbak kamu yang janda itu! Sifatnya jadi nular."
Aku. Selalu bawa nama mbak Nadia yang jelas-jelas gak tau apa-apa.
"Emangnya kenapa dengan mbak Nadia? Dia jadi janda, karena suaminya tidur sama perempuan lain. Wajar kalo dia minta cerai. Apa masalah kita sama dia!" Emosiku semakin tersulut. Beruntung Raka sudah terlelap dengan botol susu yang sempat kubuatkan.
"Heh. Kamu itu jadi manusia pinter dikit! Suami selingkuh itu pasti ada sebab. Harusnya mbak kamu itu ngaca! Kenapa suami bisa selingkuh."
Aku tertawa sumbang. Aku pikir ketika anggota keluargaku terpuruk, suamiku akan merangkul mereka. Tapi kenyataan sangat bertolak belakang. Aku merasa berada dilingkungan toxic sekarang.
Ibu mertua yang hakku. Suami yang sangat dingin seperti es. Dan tentu para ipar yang suka mengobarkan api dalam rumah tanggaku. Sangat bukan?
Aku pikir selama lima tahun sudah cukup membuatku mengenal suamiku sepenuhnya. Namun sebenarnya aku salah. Semua sifat Menginginkan terbongkar setelah pernikahan. Tiga tahun kami menikah dan sampai saat ini dia masih saja tidak berubah.
Ternyata penyebab rusaknya rumah tangga bukan hanya tentang kehadiran orang ketiga. Tapi juga sifat toxic dari salah satu pasangan yang sering terjadi tanpa sadar menimbulkan luka.
"Sebab apa, Mas? Coba jelasin ke aku, salah mbak Nadia apa. Kurang cantik? Kurang baik, atau apa! Suaminya yang selingkuh malah istri yang disalahin. Secara tidak langsung, ucapan kamu seolah-olah perselingkuhan yang jelas-jelas itu adalah perbuatan hina! Kamu tahu akibat dari perbuatan bejat itu? Anak-anak yang jadi korban. Mereka terlantar dan harus mengalami yang namanya broken home."
Aku mengucapkan ucapanku. Sembari melihat bagaimana Mas Prasetyo menanggapi ucapanku. hanya dia.dan kembali fokus pada ponselnya
"Dan yang membuat aku miris. Nasib anak mbak Nadia gak beda jauh sama Raka. Mereka kekurangan kasih sayang dari ayah mereka sejak dini. Sama kayak Raka. Bedanya, ayah mereka masih hidup tapi jauh dari jangkauan. bisa dicapai. Karena ayahnya lebih tertarik pada kesenangannya sendiri dari anaknya." Aku sengaja membedakanku. Tersenyumlah Mas Pras dalam keadaan sadar. Namun seperti biasa. Dia malah pergi dengan langkah tegas seolah-olah ucapanku mengganggu kesenangannya.
Hanya suara bantingan pintu yang terdengar keras. Aku hanya menghembuskan nafas gusarku. Yah.... Dia memang selalu seperti itu.
***
"Gimana kabar bapak kamu, Tih?" Aku tersenyum tipis. Sembari meletakkan menu makan malam dimeja makan. Aku dihargai, karena hanya ayah mertuaku yang sangat peduli dengan keluargaku. Bahkan Mas Pras sendiri tidak peduli. Jangankan mengantarku ke rumah sakit, bahkan sekedar bertanya kabar mertuanya saja dia tidak pernah.
"Masih belum ada perkembangan, Yah. Dokter juga belum ngasih tahu pasti, bapak sakit apa."
"Oh gitu. Yang sabar aja ya, nduk. Semoga bapak kamu cepat sehat." Aku mengangguk sembari mengaminkan doanya.
"Prasetyo mana? Kok nggak ikut makan," tanya ibu mertuaku dengan nada sedikit pun.
"Keluar Buk."
"Biasa Buk. Berantem lagi pasti mereka," ucap Hana dengan senyum ke arahku. Saya sudah berusaha untuk tidak menanggapi ucapannya. Namun karena emosiku sering diuji, ditambah lagi kekesalanku pada Mas Pras masih menyeruak. Aku membocorkan Hana dengan tajam.
"Emang kenapa kalo kita berantem? Kayaknya kamu bahagia banget. Hati kamu sudah membusuk apa gimana? Saudara sendiri ribut malah seneng." Aku mungkin bisa menahan diri untuk tidak membalas ucapan kasar mertuaku, tapi tidak dengan iparku yang satu ini. Apalagi aku ini istri Kakaknya, bukan adiknya.
"Siapa yang senang? Aku malah kasian sama Kak Pras, punya istri kayak kamu. Udah gak becus ngurus rumah tangga. Malah menambah beban lagi ngurusin keluarga kamu yang miskin itu! Kasian Kak Pras harus banting tulang ngidupin kamu sama keluarga kamu itu!"
"Terus tanggung jawab masalahnya sama kamu, apa?! Dia suamiku, jelas itu dia buat ngasih nafkah sama aku. Dan masalah keluarga aku, aku nggak sama suamiku buat apa-apa ke mereka. Semua itu aku dapat dari hasil jualan online ."
"Halah. Kayak laku aja jualan begituan. Kalian para manusia kelas rendah cuma jadi parasit di keluarga kami. Ibu sama ayah udah capek ngeluarin duit banyak buat Kakak biar kehidupan dia bisa maju. Eh... Malah kawin sama perempuan yang cuma lulusan SMA. Alhasil, semua penghasilan dia dikasih ke kamu. Kalo kamu tahu ilmu, harusnya kamu sadar kalo anak laki-laki itu adalah milik ibunya."
Aku kembali tertawa hambar mendengar penuturannya. Sekilas, mungkin tidak ada yang salah dengan ucapannya. Tapi secara tidak langsung dia menyatakan bahwa seorang istri hanya beban bagi suaminya. Padahal sudah jelas mencari nafkah adalah kewajiban suami.
Dasar labil.
"Kamu lulusan universitas terbaik, Hana. Apa kamu gak malu sama ucapan kamu yang tanpa disaring terlebih dahulu? Benar, kapanpun juga seorang suami adalah milik ibunya. Itu untuk seorang suami yang sudah mapan dan sudah memenuhi semua kebutuhan anak dan istri. Sedang kakak kamu? Jangankan kebutuhan aku, bahkan saat lahir Raka, aku yang banting tulang cari uang buat ngelunasin hutang biaya lahiran.
Kamu salah dalam mengutarakan sebuah kalimat, Hana...
Seorang lelaki, bisa dikatakan milik ibunya itu karena dia sudah mampu dan mapan. Sedangkan lelaki yang belum mapan, dia masih tanggung jawab kedua orang tuanya," ucapku menggelegar dan cukup tanggung jawabku. Yang jelas-jelas aku juga termasuk tanggung jawab mereka.
Nafasku masih naik turun. Hana langsung berlari ke kamarnya setelah Ayah mertuaku membentaknya agar berhenti memulai pertengkaran. Sedangkan ibu mertuaku... Entahlah. Aku tahu dia membenciku, jadi untuk apa lagi aku menjaga perasaannya. Mau sebaik apapun aku, jika seseorang itu membenci maka prasangkanya tetap saja buruk. Mereka semua pergi ke kamar, meninggalkan piring kotor yang tentu saja akulah bagian bersih-bersihnya. "Ayah tahu kamu sudah berusaha sabar, Nduk. Tapi bisakah ayah meminta agar sabarmu ditingkatkan lagi?" Aku menunduk lesu. Inilah yang membuatku lemah. Mungkin sebagian istri memilih untuk mempertahankan rumah tangganya karena anak. Mungkin ada juga yang memikirkan perasaan karena masih ada cinta atau apalah. Tapi aku? Aku rasa hanya aku yang memilih untuk mempertahankan rumah tangga karena ayah mertua yang sudah kuanggap seperti ayah kandungku sendiri. Dia baik, dia sabar dan dia tidak pernah marah. Sikapnya selalu bijak. Tidak pernah membela siapapun namun me
"Kamu dari mana aja, Mas?" Tanyaku dengan nada tak biasa. Menatapnya penuh curiga. Bercampur kesal karena tidak datang di pemakaman bapak. "Temanku sakit. Aku jadi pulang telat hari ini," jawabnya. Aku mendengus mendengarnya. "Teman? siapa teman kamu? Cewek apa cowok?" Mas Pras sepertinya tidak suka dengan rentetan pertanyaanku. "Cewek. Namanya Winda. Teman lamaku dulu, yang di jurusan akuntansi." Winda? Yah, memang benar. Aku sempat melihat bagaimana isi pesannya. Rupanya benar, mereka masih berhubungan baik sampai saat ini. Entah sejak kapan. "Jadi kamu besuk Winda sakit, sementara mertua kamu meninggal kamu gak dateng, Mas? Otak kamu dimana?" "Maaf... aku nggak tega liat Winda. Sebenarnya dia sudah lama mengidap penyakit mematikan. Dia sendirian, Tih. Kasian.... Mana anaknya masih kecil." Hah! Aku tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa Mas Pras mengatakan hal seperti itu? Sejak kapan dia peduli? Bahkan anaknya sakit saja dia masih sibuk dengan ponselnya. "Jadi maksud kam
"ASTAGA... PRASS!! LIAT ANAK KAMU," pekik ibu mertuaku. Tentu saja aku kaget dan melepaskan cucian yang belum sempat aku jemur. Aku setengah berlari menuju ke sumber suara dan aku mendapati Raka sedang membanjiri lantai rumah dengan air yang cukup banyak. Aku ingin meraih putraku dulu. Mungkin dia kaget karena suara histeris neneknya. Tapi langkahku terhenti saat mendengarnya bicara. "Sejak awal ibu sudah bilang sama kamu, Pras. Cari istri itu yang bener. Kamu kerja diluar seharian. Yang rawat anak kamu di rumah itu istri kamu. Kalo istrimu gak bener didik anak, ya gini kejadiannya." Deg Lagi-lagi hantaman keras seakan menimpa pundakku. Aku terdiam di belakangnya dengan darah yang sudah mendidih. Aku lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bahkan belum selesai mencuci pakaian mereka, aku sudah mendapatkan lagi ucapan yang sangat menyakitkan. Memang seperti inilah setiap harinya, namun aku tetap saja manusia biasa. Kenapa aku harus dipaksa memaklumi setiap ucapannya? "Sini kamu Ra
Tujuan hidup? Pertanyaan itu selalu terlintas di benakku. Mengingat keseharianku hanya berkutat dengan berita-berita dari narasumber yang aku dapatkan. Namun menurutku tidak ada yang menarik perhatianku akhir-akhir ini. Dimana percobaan perampokan. Penjambretan di jalan raya. Aku lelah dengan berita seperti itu. Tidak ada kesudahannya. Alasan mereka pun tidak jauh berbeda. Melakukan dengan terpaksa karena harus memberi makan orang tersayang dirumah. Memang miris, namun tidak ada solusi yang aku dapatkan. Buktinya hal semacam itu semakin banyak dan merajalela. "Karokean aja, yok! dari pada boring gak ada kerjaan," seru salah satu temanku yang bernama Agung. Dan disambut antusias oleh yang lainnya. "Boleh tuh!" "Kuy lah." "Kita gegarkan panggung karoke, haha." Mereka pun bersorak seperti biasa. Dimana karoke adalah salah satu hiburan favorit mereka. Dari pada pergi ke klab malam, pikir mereka. "Ikut?" tanya seorang wanita dengan nada lembut seperti biasa. Namanya Aurin. Cantik d
Ratih pov***"Tadi itu siapa, Tih? Ganteng pisan. Kenalin napa," ucap Mbak Nadia. Aku mendengus mendengarnya. "Gak tau. Orang Ratih baru aja kenal, gak sengaja.""Kok bisa? dia nggak ngasih nomer w.a atau apa... Gitu?" "Buat apa, Mbak? Ratih dah punya suami. Lagian bukannya bantuin Ratih cari tukang urut, kek. Kaki Ratih keseleo. Sakit banget ini," sautku dengan jengkel sembari mengusap kaki yang masih sakit. "Ish. Yaudah, tunggu disini. Nanti Mbak cari tukang urut dulu." "Hmm."***Kakiku masih sakit. Tapi ini lebih baik dari pada sebelumnya. Setidaknya aku masih bisa berjalan untuk pulang kerumah. Dengan diantar oleh Mbak Nadia, aku dan Raka akhirnya memutuskan untuk pulang. Namun getaran di ponselku sepertinya terlalu mengganggu. Aku berdecak kesal. Memangnya siapa yang mau menghubungiku? Aku pikir... Aku tidak punya teman yang cukup dekat. Namun aku teringat akan sesuatu. Bahwa aku masih menyadap ponsel Mas Pras. Semua notifikasi whatsapp sudah pasti bisa aku lihat dari sin
Arga pov***Aku berada di sebuah kafe kecil di dekat sebuah hotel. Menikmati secangkir kopi sembari melihat-lihat barangkali ada berita menarik yang bisa ku ambil. Namun alih-alih mencari sebuah ketenangan dan berita secara bersamaan. Aku mendapati seorang wanita dan pria sepertinya sedang berdebat di depan hotel. Tadinya aku ingin mengabaikan namun setelah ku perhatikan dari kejauhan. Aku melihat wanita yang cukup familiar. Dia... Ratih? Sedang apa wanita itu? Apa lelaki itu suaminya? Lantas siapa wanita disebelahnya? Mungkinkah...? Aku segera beranjak. Aku pikir bisa melerai mereka. Sepertinya perdebatan itu semakin sengit. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara Ratih yang cukup keras. "Biarin aku kasih tau sama Ibuk kamu yang selalu membanggakan kamu, Mas! Biar dia tahu seberapa brengseknya kamu!!" "Jangan Ratih!" "Biar kamu bisa nikahin Lonte ini," ucapnya menunjuk wanita disebelah lelaki itu. Dan yang membuat darahku tiba-tiba mendidih. Dia mengangkat tangannya hendak di
Debaran yang cukup familiar terasa hanya beberapa detik. Saat perasaan nyaman mulai menyerang, tiba-tiba saja dorongan keras membuat tubuhku terhuyung ke belakang dan menabrak sebuah tembok pembatas. Bugh"Aw...! Sakit, Tih." "Salah sendiri, main peluk-peluk aja!" Ratih mundur beberapa langkah. Mencoba memberi jarak antara kami. Wajahnya terlihat kesal. "Tapikan aku udah minta ijin. Kamu bilang, iya." Dia menoleh dengan tatapan tajam melumpuhkan. "Aku nggak sengaja bilang gitu. Lagi pula... Aku cukup waras untuk itu. Aku punya suami. Dan wanita yang bermoral tidak akan melakukan tindakan diluar batas. Apalagi sama lelaki lain yang baru saja dikenal. Aku cukup tahu tentang dosa meski aku ini pendosa." "Jangan bilang kayak gitu, Tih. Aku gak ada maksud apa-apa. Kamu kedinginan, ya aku cuma mau bantu ngagetin." "Apapun alasan kamu, hal seperti itu tidak dibenarkan, Arga." "Kamu bilang mau cerai?" "Iya. Tapi sekarang aku masih sah sebagai istrinya. Udahlah! Mending kita lanjutin p
"Jangan lancang kamu, Ratih! seharusnya kamu introspeksi diri. Apa yang kurang dari kamu hingga suamimu berpaling ke perempuan lain," ucap seorang wanita yang memiliki anak perempuan. Aku tidak terkejut. Hanya saja heran. Bisa-bisanya mertuaku mengatakan hal seperti itu. Bukankah itu lucu... Aku menatap mertuaku dengan senyuman sinis. "Ibu terlahir dari rahim perempuan. Ibu juga memiliki anak perempuan. Coba tukar posisi... Bagaimana jika suami Hana selingkuh. Atau menikah lagi. Apa ibu juga akan menyalahkan Hana? Enggak, kan. Bukankah ini lucu? Saat seorang perempuan menyakiti hati sesama perempuan. Bahkan sesama seorang ibu. Dan memiliki anak perempuan. Dengan memojokkan penyebab perselingkuhan adalah akibat dari kesalahannya sendiri." Ibu mertuaku bungkam. Namun aku tahu bahwa mulutnya tidak sabar untuk mengeluarkan cercaan. "Saat poligami diawali dengan perselingkuhan lalu zina. Itu artinya wanita yang di nikahi suamiku bukanlah wanita baik-baik. Hukum agama kita wajib menjau