Share

CINTA SEORANG JANDA
CINTA SEORANG JANDA
Penulis: Putri Alw

Apa Salah Janda?

Apa salah janda?

Pertanyaan itu selalu terlintas dibenakku. Saat menyaksikan bagaimana mbak Nadia harus menghadapi cemoohan orang-orang mengenai statusnya. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi janda. Namun apapun itu, aku tidak suka melihatnya memakai pakaian yang terlalu terbuka. Ketat dan terlihat dengan jelas lekuk tubuhnya. Aku tidak suka melihatnya memperlakukan pria yang baru dikenal, seperti suaminya sendiri.

Terlalu berlebihan menurutku. Entahlah... Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Namun yang pasti... Sikapnya itu semakin menambah cemoohan orang-orang disekitar.

"Lama banget," gerutu mbak Nadia saat melihat kedatanganku. Membuatku sadar bahwa aku sudah sampai di rumah sakit.

"Macet. Lagian mbak kan gak ada kerjaan. Ngapain buru-buru," ucapku sambil meletakkan tas diatas nakas. Kami melakukan pergantian sip untuk menjaga bapak yang sudah seminggu masuk rumah sakit. Aku tidak pandai dalam menjelaskan secara detail, sakit apa yang sedang bapak derita. Namun yang pasti, bapak kami sakit akibat candu rokok. Mulai dari pernafasannya yang terganggu. Perutnya yang seperti ada cairan. Entahlah... Dokter juga belum menjelaskan secara pasti.

"Pacarku udah nungguin. Kamu gantian jaga bapak. Nanti aku gak dikasih jatah bulanan lagi. Nanti jam empat sakit, dayat yang gantiin kamu," ucap mbak Nadia menyebut nama adik lelakiku. Yang saat ini umurnya sudah menginjak 19 tahun. Kami hanya beda dua tahun. Dan aku anak kedua dari empat bersaudara. Adikku yang paling bungsu masih sangat kecil. Usianya baru 10 tahun.

"Mbak nggak ada niat buat kerja apa? Ngandelin duit dari pacar gak bakal ada kemajuan." Bukan berniat menggurui. Hanya saja aku tidak tega melihat kedua anaknya yang masih sangat kecil. Mereka butuh banyak biaya untuk masa depan mereka. Dan lelaki yang menjadi pacar mbak Nadia belum tentu mau membiayai anaknya.

"Cari kerja apa, Tih? Kamu lupa, mbak mu ini sma aja nggak lulus. Siapa yang mau nerima mbak kerja!"

"Banyak kalo mbak emang serius. Lagian apa mbak nggak capek, minta minta terus ke pacar? Mbak nggak mikir apa, gimana masa depan Richi sama Lala."

"Kalo kamu nggak bisa bantu, mending diem aja. Pacar mbak juga ngasih buat mereka. Ini mbak juga lagi mikirin mereka. Kalau enggak, udah mbak tinggalin keluar negeri jadi tki."

"Ya kalo gitu mending nikah aja. Ngapain pacaran lama-lama. Numpukin dosa aja! jadi fitnah juga."

"Dosa-dosa. Kalo mikirin dosa, gak bisa makan kami anak beranak! dahlah, mbak mau cabut. Kamu jagain bapak yang bener. Bentar lagi ada perawat yang ngasih obat. Sekalian tanyain, sebenarnya bapak jadi gak di operasi. Dari kemarin bilang mau operasi, nyatanya nyampe sekarang belum ada kabar."

Aku menghela nafas. Duduk di sebelah ranjang bapak yang kini terbaring lemah dengan selang infus di tangan. Bapak juga bernafas dibantu dengan alat rumah sakit. Sudah seminggu dirumah sakit, namun belum ada perkembangan. Para perawat juga hanya melakukan tindakan seadanya dan ketidakpastian dalam memberi tahu, penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh bapak.

Entah mengapa, pikiran buruk yang terlintas di pikiran. Aku sempat berpikir mereka memperlambat perawatan karena kami memakai kartu berobat gratis dari pemerintah. Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian, hanya saja aku melihat beberapa perlakuan lain yang diperlakukan istimewa. Sementara kami... Ah sudahlah. Mungkin memang sudah seperti itu prosedurnya.

"Tih...," pelan suara bapak memanggil namaku.

"Iya Pak...?"

"Anakmu siapa yang jagain?" pertanyaan itu hampir setiap hari bapak saat melihat kedatanganku. Dia sangat khawatir cucunya akan menangis saat aku ditinggalkan.

"Mertuaku, Pak. Bapak gak usah khawatir." Bapak mengangguk lega. Padahal yang sebenarnya, aku yang khawatir. Bukan karena mertuaku tidak mau menjaga anakku dengan baik. Tapi karena sikapnya yang tidak ikhlas menjaga anakku. Dia sayang pada anakku, tapi saat aku meminta bantuan untuk menjaga anakku, dia selalu mengadu pada suamiku telah kujadikan babu.

Sakit sekali rasanya. Namun aku tidak punya pilihan. Ibu kandungku tidak bisa menjaga bapak karena harus bekerja bekerja di rumah orang. Kami terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Jika saya tidak bekerja maka adikku tidak bisa makan. Sementara bapak sakit-sakitan.

Kondisi kami sulit. Karena aku sebagai anak perempuannya juga tidak bisa membantu banyak dalam kondisi ekonomi rumah tanggaku yang juga tidak begitu baik.

Suamiku bekerja sebagai honorer di kantor pemerintahan. Gajinya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari kami. kadang belum sampai satu bulan, uangnya sudah habis.

"Izin. Dengan bapak Suryadi." Aku langsung berdiri saat melihat beberapa perawat memberikan obat dan memeriksa keadaan bapak.

"Benar. Em, Sus. Sebenarnya bapak sakit apa? Kata Dokter Kemarin, hari ini mau di oprasi."

"Untuk lebih jelasnya, tanya pada Dokter Heru ya mbak. Kami hanya menjelaskan untuk memberi obat dan memeriksa saja. Dan ini, ada satu resep yang harus di tebus di apotik. Rumah sakit sudah kehabisan stok obatnya." Aku menerima selembar kertas yang berisi tulisan resep dokter mengenai obat yang harus dibeli.

Hah...

Lagi-lagi harus seperti ini. Tidak ada pasti dan menerima resep yang sudah harganya sangat mahal.

***

"Ratih?" Aku mengangkat wajah, saat mendengar suara ibuku.

"Ibuk? Dayat mana?"

"Dia dapat panggilan kerja. Kamu pulang, gih. Nanti anak kamu nangis."

"Iya. Ini ada resep obat." Aku wajah melihat lelah ibuku. Tidak terbayangkan olehku lelahnya dia. Pulang kerja yang menyenangkan malah datang ke rumah untuk menjaga bapak. Apalagi melihat resep obat, sudah pasti lelahnya bertambah.

"Aduh... Ibu udah gak punya uang, Tih. Ibu pinjam uang kamu dulu, ya. Nanti pas gajian ibuk balikin," ucapnya memelas. Tentu saja aku tidak tega. Hatiku teriris.

Aku tersenyum seolah itu hal yang rumit. "Iya. Gak papa, pake uang Ratih aja. Nanti biar Ratih yang beli di apotik. Ratih pulang dulu, ya buk." Aku mencium punggungnya.

"Iya, Hati-hati."

***

"Anak Bunda nakal tidak non-seharian?" Aku langsung menghujani wajah anakku dengan ciuman bertubi-tubi. Rasa rinduku Foto ini sudah terbalas setiap kali pulang dan bertemu lagi dengannya.

"Nakal nggak, kamu liat aja sendiri! Rumah habis di berantakin sama dia. Untung ada babu kamu yang satu ini. Semuanya jadi beres," tukasnya mengatakan babu pada dirinya sendiri. Aku tahu bukan perbuatan baik menitipkan anak pada orang tua. Tapi semua itu saya lakukan terpaksa. Tidak ada maksud untuk malasnya.

Aku diam saja. Entah harus menjawab apa, aku hanya tidak ingin mertuaku mengeluarkan keluh kesahnya dan semua caci makinnya.

Aku melirik ke arah pintu yang terbuka. Suamiku sudah bekerja dengan wajah lelahnya. Tanpa menoleh ke arahku, apalagi anaknya. Dia langsung masuk kedalam kamar. seolah-olah kehadiran kami hanya angin lalu yang tidak pernah dianggap ada. Yah... Ini dia. Dingin dan acuh.

Aku menyusulnya. Mencoba membenahi semua pakaian seragam yang teronggok di lantai setelah berganti pakaian. Setelah selesai mengganti pakaian, seperti biasa...

Dia sibuk dengan ponselnya.

Mungkin sebagian besar para suami yang lelah bekerja, menjadikan anak dan istri sebagai pengobat lelah. Hal itu tidak berlaku pada suamiku yang merasa gadgetnya lah sebagai pengobat lelah.

Seperti inilah kehidupanku, keseharianku sebagai seorang istri yang merasa tidak pernah dianggap.

sebagian para suami menjadikan anak dan istrinya sebagai pengobat lelah. Tapi sebagian lagi, menjadikan ponsel sebagai hiburan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status