Share

Mengenai sabar

Nafasku masih naik turun. Hana langsung berlari ke kamarnya setelah Ayah mertuaku membentaknya agar berhenti memulai pertengkaran. Sedangkan ibu mertuaku... 

Entahlah. Aku tahu dia membenciku, jadi untuk apa lagi aku menjaga perasaannya. Mau sebaik apapun aku, jika seseorang itu membenci maka prasangkanya tetap saja buruk. 

Mereka semua pergi ke kamar, meninggalkan piring kotor yang tentu saja akulah bagian bersih-bersihnya. 

"Ayah tahu kamu sudah berusaha sabar, Nduk. Tapi bisakah ayah meminta agar sabarmu ditingkatkan lagi?" 

Aku menunduk lesu. Inilah yang membuatku lemah. 

Mungkin sebagian istri memilih untuk mempertahankan rumah tangganya karena anak. Mungkin ada juga yang memikirkan perasaan karena masih ada cinta atau apalah. Tapi aku? 

Aku rasa hanya aku yang memilih untuk mempertahankan rumah tangga karena ayah mertua yang sudah kuanggap seperti ayah kandungku sendiri. Dia baik, dia sabar dan dia tidak pernah marah. Sikapnya selalu bijak. Tidak pernah membela siapapun namun membuat kegaduhan dan perselisihan diantara kami redam. Hanya dia satu-satunya orang yang peduli padaku dan orang tuaku di keluarga ini. Hanya dia yang menyayangiku melebihi anaknya sendiri. 

Tidak bisa aku bayangkan bagaimana perasaannya jika aku membawa Raka pergi jauh darinya. Sedangkan Raksa adalah cucu pertama yang sangat dia sayangi. 

Mengenai sabar.... 

Aku tidak tahu sabarku sudah sejauh mana. Sebab untuk saat ini aku masih mempertahankan pernikahan, jelas karena aku masih sabar. Lantas sabar yang seperti apa lagi? 

"Ratih tidak bisa menjanjikan apapun sama Ayah. Jika hanya kesabaran yang Ayah inginkan, maka Ratih akan berusaha lebih keras lagi." 

"Baiklah. Ayah ngerti." 

***

Malam sudah semakin larut. Mas Pras masih belum kembali. Entah kemana pria itu. Rasa hambar dalam rumah tanggaku membuat rasa khawatir padanya perlahan menghilang. 

Raka sudah tidur. Dan rasa kantuk masih belum terasa menyerangku. Aku memilih untuk memainkan ponselku. Membuka sosial media seperti biasa. Bukan karena aku orang yang memiliki eksistensi yang tinggi. Hanya saja, disinilah ladangku mencari uang di jaman modern seperti ini. 

Aku memposting beberapa perlengkapan wanita. Mulai dari kosmetik dan pakaian. Sejak kesibukanku menjaga Bapak, jualan online ku semakin sepi. Mungkin karena pesan mereka lama kubalas, jadi mereka kecewa dan beralih ke tempat lain. 

Aku sendiri bingung bagaimana lagi cara mencari uang dengan cepat. Karena semakin hari kebutuhan semakin meningkat. 

Saat aku scrol layar ponsel ke atas, aku menemukan sebuah postingan seorang wanita yang cukup familiar bagiku, yang menurutku sangat berlebihan. Isi statusnya begini : "Gak sabar nunggu hari minggu. Biar bisa ketemuan sama doi." Caption itu ditulis dengan sebuah fotonya yang terkesan sexy. Jika saja bukan karena sebuah jaket yang aku kenal yang tidak sengaja tertangkap kamera itu, mungkin aku mengabaikannya begitu saja. 

Jaket itu.... 

Kenapa sangat mirip dengan Mas Pras? Aku yang memberikannya. Aku baru ingat beberapa hari ini tidak melihat jaket itu. 

Aku bergegas ke arah lemari untuk memeriksa jaket milik Mas Pras. Aku berharap itu hanya mirip. Namun ternyata memang jaket itu tidak ada. Dia juga keluar tidak mengenakannya. 

Tentu saja jantungku berdebar dan pikiran buruk terlintas dibenakku. 

Aku hanya diam. Dengan perasaan yang... Entah. 

***

Pagi datang begitu cepat. Aku harus bergegas pergi kerumah sakit, seperti biasa menggantikan sip mbak Nadia menjaga bapak. Aku tahu mengurus suami adalah kewajibanku. Namun saat ini orang tuaku sangat membutuhkanku. Masalah dosa... entahlah. 

Saat aku terjaga, baru kusadari kehadiran Mas Pras di sebelah kami. Tidurnya begitu nyenyak dengan dengkuran yang terdengar cukup mengganggu. Aku melihat ponselnya yang tergeletak begitu saja. Selama ini aku tidak peduli apa isi dari benda pipih itu. Namun kali ini rasa penasaran menghantuiku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melihatnya. 

Layarnya terkunci dan harus menggunakan sidik jari. Secara perlahan, aku meletakkan sidik jadi Mas Pras untuk membuka ponselnya. Saat yang muncul adalah gambar seorang wanita, aku tidak terkejut. Bagiku itu hal biasa. Dia memang suka mengoleksi foto artis cina tanpa pakaian. Dan kini meletakkan di layar utama. Hah, luar biasa sekali. 

Aku memulai rasa penasaranku dari galerinya. Ah tidak! Mungkin lebih baik langsung ke w******p nya saja. Aku juga tidak bisa berlama-lama.

Aku mendelik, saat melihat rentetan pesan yang berisikan voice note yang aku sendiri tidak yakin untuk membukanya. Waktu yang semakin mepet, membuatku terpaksa memilih cara lain untuk mengetahui apa saja yang dibicarakan oleh suamiku dan si wanita ini. 

Aku menyadap whatsappnya. Dengan begini, aku bisa tahu apa saja yang mereka bicarakan tanpa harus memeriksa ponselnya. Aku bergegas membawa Raka pergi. Entah harus kutitipkan dengan siapa Raka kali ini. 

***

Aku tidak jadi ke rumah sakit. Barusan Dayat menelponku agar kerumah ibu. Dari nada suaranya seakan menahan sesuatu. Aku harap dugaanku benar. Bapak pasti sudah sehat, sebab itulah dia sudah kembali. 

Tapi ternyata dugaan itu salah. 

Sebuah papan bertuliskan nama bapak membuat jantungku seakan ingin terlepas dari tempatnya. Sesak di dadaku kian menderu saat melihat dengan ramai orang berbondong-bondong datang ke rumah ibu. 

Langkahku melambat dan rasa sesak itu semakin menjadi-jadi saat kulihat sosok bapak sudah terbujur kaku di bawah sebuah kain yang menutupi tubuhnya. Air mataku jelas saja lolos seiring dengan ambruknya tubuhku, berlutut di sebelah bapak. 

Sosok yang menjadi penasihat dan pahlawanku kini telah tiada. Aku menangis tertahan mencoba menahan diri agar tidak meraung. Tubuhku bergetar karena isak yang begitu menyesakkan dada. Aku memeluk tubuh dingin itu. Jelas untuk yang terakhir kalinya sebelum rombongan orang membawanya ke liang lahat. Di Tempat peristirahatan terakhirnya. 

"Ratih kuat, Pak. Ratih ikhlas. Bapak udah gak ngerasain sakit lagi. Maafin Ratih yang belum bisa memberikan kebahagiaan buat bapak. Bapak yang tenang disana. Semoga Allah melipatgandakan semua bapak semasa hidup didunia," ucapku dengan pelan di telinganya. Aku mencium wajah itu, juga menginjakkan kakimu mengapa mengapa itu harus aku lakukan sebagai tanda baktiku yang terakhir kamu lakukan. 

Lalu beberapa orang mengambil alih bapak untuk segera dikafani. Orang yang bahkan sampai saat ini belum sempat aku membalas jasanya. 

"Buk..... " Aku melihat ibuku yang sepertinya sudah menangis. Aku memeluknya. 

"Tidak apa-apa, Tih. Mungkin ini lebih baik. Kasian bapak nahan sakit terus. Sekarang dia sudah tenang. Kita lakukan saja semoga semoga dilapangkan kuburnya," ucap ibu sambil mengusap punggungku. 

"Iya Bu, Amin...." 

Para pelayat silih berganti mendatangi rumah duka ini. Aku hanya termangu dengan kosong. Dipaksa ikhlas oleh keadaan yang sama sekali tidak pernah saya inginkan. 

"Tih.... " Aku mengangkat mengangkat. Kedua mertuaku datang. Aku ingat bahwa sebelumnya menghubungi mereka untuk memberitahu kabar duka ini. 

"Iya, Yah..." 

"Kamu yang sabar, ya Nduk. Jangan terlalu meratapi. Kamu tidak sendiri. Masih ada Ayah." 

"Makasih, Yah." 

Kemudian perhatianku tertuju pada getaran ponsel yang tidak henti-hentinya. Saat aku membukanya, mataku hanya membocorkan datar isi w******p tersebut. Aku melihat semua rentetan pesan itu. Tanganku meremas benda pipih itu dengan kuat. Seulas senyum pahit terukir diwajahku, dengan perasaan yang entahlah sudah seperti apa. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status