Happy reading Guys. Semoga kalian semua suka.
Miranti berdiri dan menatap deretan asesoris dengan mata kosong. Suara beep barcode scanner dari mesin kasir di counter sebelahnya terdengar monoton di telinganya, bercampur dengan ocehan pelanggan yang sibuk memilih aksesoris. Tapi pikirannya melayang jauh, terjebak dalam keraguan yang semakin menggerogoti hatinya."Miranti, ini minuman buat kamu."Suara Beni membuatnya tersentak. Lagi-lagi pria itu berdiri di hadapannya dengan sebotol teh dalam kemasan, senyum ramah terkembang di wajahnya."Ah, terima kasih, Pak." Miranti menerima botol itu dengan canggung. "Tapi sebenarnya tidak perlu, saya bisa beli sendiri."Beni menggeleng. "Tidak apa-apa. Cuaca hari ini panas sekali. Kamu harus banyak minum."Dari sudut mata, Miranti menangkap tatapan tajam beberapa karyawan. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali meliriknya.Hati Miranti langsung terasa tidak nyaman. Ini sudah kesekian kalinya Beni membelikannya sesuatu hari ini. Kemarin juga begitu. Dan minggu lalu juga."Pak Beni," Miranti me
Jam menunjukkan pukul 08.30 pagi ketika Beni sudah sampai di depan gerai handphone miliknya. Kunci berderit saat dia membuka pintu kaca, aroma pembersih lantai masih tercium dari pembersihan kemarin malam. Ini adalah hari kelima berturut-turut dia datang lebih pagi dari biasanya."Selamat pagi, Pak Beni," sapa Miranti yang ternyata sudah ada di dalam gerai."Pagi, Mir. Kamu selalu datang tepat waktu ya," Beni tersenyum sambil melangkah mendekat.Tidak lama kemudian, Sani yang turun dari lantai dua melewati tempat itu dengan wajah masam. Matanya langsung tertuju pada Miranti yang sedang menata display handphone di bagian depan."Pagi, San," Beni menyapa hangat."Pagi, Pak," jawab Sani kaku. Dia melirik Miranti dengan pandangan tidak suka.Beni menyadari ketegangan itu. Seminggu terakhir, atmosfer di gerainya tak seperti biasanya. Sani yang biasanya aktif memberikan arahan malah sering bersikap dingin pada Miranti. Beberapa kali Beni melihat Sani memberikan tugas yang terlalu sulit untu
Miranti mengeluh sambil mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kasur sempit di kamarnya terasa lebih keras dari biasanya. Hari yang melelahkan, terutama bagi batinnya. Setiap otot tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka hati yang terus menganga.Omelan Sani yang mencapnya tak becus bekerja masih bergema di telinga Miranti. Kata-kata tajam itu seakan pisau yang mengiris kepercayaan dirinya. Semangat Miranti untuk memulai lagi hidupnya menjadi drop total.Peristiwa siang tadi masih membekas jelas di ingatannya. Seorang pelanggan bertanya tentang smartphone dengan RAM 8GB, tapi Miranti malah terlihat bingung dan menatap layar ponsel kosong.Miranti terpaksa menelepon Sani yang kebetulan saat itu tidak ada di tempat. Bukannya penjelasan, justru dampratan menyakitkan dari Sani yang Miranti dapatkan.Tak lama berselang Sani kembali ke gerai dan kembali menghujani Miranti dengan ucapannya yang lebih menyakitkan."Kamu ini bodoh ya? Masa spesifikasi dasar aja nggak hap
Miranti menarik napas dalam-dalam di depan pintu kaca bertuliskan "TECNO TRENDZ". Jam tangan di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan pagi tepat. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Sudah berapa lama dia tidak menghadapi wawancara kerja?"Selamat pagi, Pak," sapa Miranti pada lelaki bertubuh sedang yang sedang membukakan pintu kaca untuk Miranti. Rambutnya mulai menipis di bagian depan, kulitnya sawo matang, dan matanya hangat saat menatap Miranti."Saya ada janji bertemu dengan Pak Beni Gunawan," ujar Miranti pada securiti itu.Laki-laki itu tersenyum pada Miranti lalu mengajaknya ke lantai toko paling atas. Di ujung lorong, laki-laki itu mengetuk pintu dan mengatakan pada seorang di dalamnya bahwa seseorang ingin bertemu dengannya."Ah, kamu pasti Miranti yang diceritakan Bu Sinta," kata lelaki bertubuh tegap yang tersenyum ramah sambil menjabat tangan Miranti. "Saya Beni, pemilik toko ini. Silakan masuk."Miranti mengangguk gugup. "Ya, Pak. Saya datang untuk
Miranti menatap pagar kayu tinggi yang sudah lama tidak disambanginya. Rumah Bu Sinta pemilik tempat kos yang dulu disewanya.Tempat yang dulu menjadi rumah baginya selama beberapa tahun. Tangannya gemetar saat menekan bel yang ada di balik pagar. Ia tidak yakin apakah masih ada tempat baginya di rumah kos yang disewakan Bu Sinta."Miranti?" Bu Sinta membuka pintu pagar dengan mata berbinar. "Astaga! Kenapa kamu tidak bilang kalau mau datang?""Bu Sinta..." Miranti hampir menangis melihat wajah ramah yang selalu menyambutnya dengan hangat.Bu Sinta tertegun saat melihat wajah kuyu Miranti. Apalagi saat melihat koper besar yang dibawa Miranti."Saya... saya ingin kembali ke kos."Bu Sinta langsung memeluk Miranti erat. "Lho, kenapa? Ayo masuk dulu, jangan berdiri di depan pintu seperti ini!"Miranti mengikuti Bu Sinta masuk ke ruang tamu melalui teras depan rumah yang asri. Aroma bungan lavender dan melati yang tumbuh di halaman Bu Sinta tercium samar dan menenangkan."Duduk, Mir. Aku
Adrian mengusap wajahnya yang lelah sambil memandangi tumpukan berkas CV di meja kerjanya. Sudah seminggu ini dia mencari pengasuh untuk Bianca, tapi tidak ada yang memenuhi kriterianya.Permintaan Miranti terus berputar di kepalanya—dia harus mencari pengasuh baru supaya Miranti bisa segera pergi dari rumah mereka."Pak, ini ada telepon dari Agen Pengasuh Bayi yang Bapak minta," kata sekretarisnya dari pintu ruangan.Adrian mengangkat gagang telepon dengan cepat. Setelah percakapan singkat, dia merasa sedikit lega. Agen itu merekomendasikan seorang pengasuh bernama Sari yang sudah memiliki pengalaman dan sertifikat mengasuh bayi."Kirim CV-nya sekarang," perintah Adrian.***Dua hari kemudian, Sari, seorang wanita berusia tiga puluh tahun dengan wajah ramah, berdiri di depan pintu rumah Adrian. Dia membawa tas kecil berisi sertifikat perawatan bayi dan surat rekomendasi dari agensinya sebelumnya."Selamat pagi, Pak Adrian," sapa Sari sopan.Adrian mengangguk dan langsung membimbingny