Mag-log inHappy reading Guys. Semoga kalian semua suka.
Adrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Begitu janji keluar dari mulutnya, dia akan memastikan semuanya terlaksana.Karena itu, hanya dalam hitungan jam setelah percakapan terakhirnya dengan Miranti, dia sudah menghubungi seorang detektif swasta yang pernah membantunya mengurus masalah bisnis beberapa tahun lalu."Cari tahu semua tentang pria ini," kata Adrian waktu itu, sambil menyerahkan secarik kertas berisi nama lengkap Rino dan beberapa informasi dasar yang berhasil dia kumpulkan. "Aku butuh alamatnya, tempat kerjanya, kebiasaannya. Semuanya."Detektif itu hanya mengangguk. Dia tidak bertanya apa-apa. Orang seperti Adrian tidak perlu ditanya alasannya yang penting bayarannya sesuai.Adrian sengaja tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Bukan karena dia takut atau tidak percaya pada hukum, tapi karena ini menyangkut harga diri Miranti.Foto-foto itu terlalu pribadi, terlalu memalukan untuk disebarkan lebih luas, bahkan ke hadapan aparat. Adrian tahu betul bagaimana sistem
Rino melempar ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Tiga hari sudah berlalu sejak ultimatum yang dia berikan pada Miranti, tapi wanita itu masih betah tinggal di rumah Adrian. Tidak ada tanda-tanda Miranti akan pergi. Ancaman yang selama ini selalu ampuh kini seolah kehilangan tajinya."Sial!" Rino mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak habis pikir. Dulu, hanya dengan sedikit gertakan, Miranti langsung menurut. Kini? Wanita itu bahkan tidak menghiraukan ancaman foto-foto masa lalunya yang bisa menghancurkan hidupnya.Ponselnya berdering lagi. Nama Keysha muncul di layar. Rino menghela napas panjang sebelum mengangkat."Apa?" sahutnya ketus."Bagaimana?" suara Keysha terdengar menuntut di seberang sana. "Sudah ada perkembangan?""Belum.""Belum?!" Keysha meninggikan suaranya. "Sampai berapa lama, Rino? Kamu pikir uang yang aku berikan itu cuma-cuma?""Aku tahu!""Tidak! Kamu tidak tahu!" bentak Keysha. "Aku membayarmu bukan untuk mendengar kata 'belum'. Aku butuh hasil nyata, Rino. Mir
Miranti menggeleng cepat, menyeka air matanya. "Tidak apa-apa.""Jangan bohong." Adrian melangkah mendekat. "Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini? Apa Rino?"Miranti tidak menjawab, tapi tatapan matanya sudah memberikan konfirmasi bahwa yang diperkirakan Adrian memang benar.Adrian duduk di sampingnya. "Katakan padaku apa yang terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu."Miranti hanya bisa terdiam. Ia tak tahu bagaimana mengatakan semuanya pada Adrian."Apa yang Rino inginkan darimu?" Adrian bertanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Miranti terdiam. Tangannya yang terkulai lemah terlihat gemetar."Aku tahu dia akan mengganggumu lagi. dia tak akan menyerah sampai kau menderita bersamanya," Adrian melanjutkan, melangkah mendekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aku melihat caramu bereaksi setiap kali namanya disebut. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Miranti. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dunia Miranti seakan mengingat apa yang barusan dikirimkan Rino padanya.
Miranti memeluk Bianca yang tengah tertawa riang di pangkuannya. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak ia kembali bekerja sebagai pengasuh bayi berusia tujuh bulan itu. Setiap tawa kecil Bianca mampu mengusir segala kekhawatiran yang bersarang di hatinya."Cit... cit... cit..." Miranti menirukan suara burung sambil menggerakkan jarinya di depan wajah mungil Bianca. Bayi itu tertawa lepas, tangannya berusaha meraih jari-jari Miranti.Inilah yang selalu dirindukan Miranti. Momen sederhana yang membuat hidupnya terasa bermakna. Bianca sudah jauh lebih ceria dibanding minggu-minggu pertama. Tidak ada lagi tangisan panjang di malam hari atau penolakan saat makan. Bayi itu bahkan sudah mulai merangkak dengan lincah mengelilingi ruangan.Namun, kebahagiaan Miranti tidak dibagikan oleh semua orang di rumah besar itu.Linda berdiri di ambang pintu kamar, menatap Miranti dan Bianca dengan tatapan dingin. Wanita paruh baya itu tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya sejak Miranti kembali. S
Miranti menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Hampir sepekan berlalu sejak ia kembali mengasuh Bianca, dan sesuatu dalam dirinya berubah.Bayi mungil itu telah mengisi kekosongan yang bahkan tidak ia sadari ada di hatinya. Setiap senyum Bianca, setiap tangisannya, bahkan setiap gerak kecilnya. Semuanya terasa begitu berarti.Ia menghela napas panjang. Keputusan sudah bulat di benaknya."Miranti, kamu sudah bangun? Katanya mau ke gerai," suara Adrian terdengar dari luar."Sebentar!"Miranti merapikan rambutnya, kemudian keluar dari kamar. Adrian berdiri di depan pintu kamarnya dengan Bianca di gendongannya. Pria itu tersenyum melihatnya."Terima kasih sudah mau menjaga Bianca sebentar. Aku harus ke gerai untuk menemui majikanku," kata Miranti sambil mengambil tasnya."Tidak masalah. Aku juga sedang work from home hari ini." Adrian mengalihkan pandangannya ke Bianca yang sedang menggenggam jarinya. "Kamu sudah mantap dengan keputusanmu?"Miranti mengangguk. "Aku akan mengundu
Miranti mengecup puncak kepala Bianca yang kini berada dalam gendongannya. Bayi mungil itu terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu. Pipinya yang sempat pucat kini mulai merona, dan tangisannya sudah tidak sesengau dulu."Sudah siap pulang, sayang?" bisik Miranti lembut.Adrian berdiri di sampingnya, menandatangani formulir keluar dari rumah sakit. Sari, pengasuh baru Bianca, sibuk membereskan barang-barang bayi di dalam tas. Wajahnya terlihat senang sejak tadi pagi."Semua sudah selesai," kata Adrian sambil memasukkan map berkas ke dalam tas kerjanya. "Ayo kita pulang."Mereka berjalan menuju mobil di area parkir. Miranti masih menggendong Bianca dengan hati-hati, memastikan selimut tipis menutupi tubuh bayi itu dengan sempurna. Adrian membukakan pintu belakang mobil."Miranti, duduk di tengah saja. Sari akan duduk di sebelahmu," ujar Adrian.Miranti mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Sari mengikuti dari sisi lain, membawa tas bayi dengan hati-hati. Begitu Sari duduk,







