Lima tahun setelah berpisah, Miranti dan Adrian dipertemukan kembali dalam keadaan rapuh. Mereka sama-sama terluka, sama-sama kehilangan. Sebagai ibu susu profesional, Miranti harus merawat dan menyusui bayi Adrian. Akankah cinta terlarang mereka mendapat kesempatan kedua di tengah intrik keluarga dan bayang-bayang masa lalu? Atau takdir hanya mempermainkan hati yang telah terluka?
もっと見る”Bu Miranti, bayi Ibu semakin kritis. Dokter meminta ibu ke ruang bayi sekarang!” ujar Suster Hayati yang membangunkan Miranti.
”Kritis? Maksudnya bagaimana, Sus?” tanya Miranti panik seraya turun dari atas ranjang.
Suster Hayati menggigit bibirnya, ”Maaf Bu, tapi detak jantungnya semakin melemah. Saturasi oksigennya juga turun drastis. Dokter kami sedang berusaha melakukan yang terbaik. Namun, meminta Ibu segera datang.”
”Ya Allah, jangan ambil anakku. Dia satu-satunya yang aku miliki,” isak Miranti sambil berpegangan pada dinding koridor.
”Tenang, Bu. Mari saya bantu,” kata Suster Hayati sambil meraih lengan Miranti, ”Kita harus cepat.”
Miranti masih mematung. Dadanya begitu sesak membayangkan anak semata wayangnya tersiksa karena penyakit yang ia derita.
Beberapa jam lalu, Miranti baru saja menyelesaikan persalinan anaknya, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun, bahkan oleh Rino, suaminya sendiri. Suaminya itu pergi tanpa kabar, bahkan sampai saat ini, ketika Miranti berjuang bertaruh nyawa untuk anak mereka.
Bayi itu begitu kecil, sebab lahir prematur pada usia 30 minggu. Tubuhnya masih terlihat ringkih. Miranti semakin sedih tatkala mengetahui jika anaknya itu lahir dengan kondisi kelainan fisik; Anensefali. Bayi kecilnya itu lahir tanpa tempurung kepala.
Sesampainya di ruang observasi, ia melihat bayinya telah membiru. Malaikat kecilnya itu terbaring kaku tanpa ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Dokter dan perawat-perawat di sampingnya mengelilinginya dan melakukan tindakan-tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa bayinya.
“Sus! Selamatkan bayi saya Sus! Saya mohon!” Miranti meraih baju suster yang membawanya ke ruang tersebut.
Namun, suster tersebut hanya bisa menatap Miranti tanpa bersuara. Suster tersebut mengusap-ngusap punggung Miranti demi menenangkannya.
'Tidak, jangan sekarang. Biarkan aku menungguinya sedikit lebih lama lagi. Beri Mama waktu sedikit lagi, Nak. Buka matamu dan lihat Mama sekali saja.'
Miranti berteriak dalam hati, memohon dan meminta. Air mata bercucuran saat Miranti menatap bayinya yang masih diam tak bergerak.
Miranti hanya bisa menyesali kesalahannya. Selama hamil ia tidak pernah periksa ke dokter. Andai dulu Miranti periksa ke dokter dan meminta USG tanpa memedulikan Rino yang enggan mengeluarkan uang untuk pemeriksaan bayi, mungkin hal ini bisa dihindari. Paling tidak Miranti bisa menyiapkan mentalnya untuk menghadapi kenyataan.
Lorong tempatnya berdiri yang hanya beberapa meter dari tempat anaknya terbaring terasa begitu panjang, setiap detik bagai siksaan baginya. Dalam hatinya, Miranti terus berbisik dan berdoa.
Air matanya tak berhenti mengalir. Bayi kecilnya harus bertahan. Dia harus bertahan. Bayi itu satu-satunya milik Miranti yang tersisa.
Namun, waktu yang terasa panjang bagi Miranti berakhir saat dokter tersebut keluar ruangan. Dokter menatap Suster Hayati seraya menggeleng pelan, lalu menatap Miranti dengan tatapan sayu.
”Maafkan kami, Bu Miranti. Kami sudah melakukan yang terbaik…”
Seketika, pandangan Miranti menggelap.
***
Miranti melangkah memasuki lorong rumah sakit dengan langkah berat. Baru minggu lalu, ia meninggalkan tempat ini dengan tangan kosong dan hati yang hancur. Bayi yang dilahirkannya hanya bisa bertahan beberapa jam.
Kini Miranti harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, mengurus berkas-berkas yang tersisa, surat keterangan kematian, dan segala formalitas yang terasa seperti memutar pisau di luka yang masih menganga.
Sementara berjalan, Miranti merasakan basah di bagian depan tunik yang dipakainya. ASI-nya merembes lagi. Produksi susu yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi bayinya kini terbuang sia-sia. Tubuhnya belum menerima pesan bahwa tak ada mulut kecil yang akan disusui.
”Sial,” bisiknya pelan sambil melihat noda yang mulai melebar di pakaiannya.
Miranti mengaduk isi tasnya dan mencari tissue. Ia harus membersihkan noda ASI itu supaya tidak meninggalkan bekas noda.
Miranti mempercepat langkahnya mencari kamar mandi. Dia ingat ada satu di dekat ruang bayi.
Ketika mendekati ruang bayi, Miranti mendengar suara tangisan bayi melengking keras. Tangisan itu terasa seperti menggores hatinya. Saat Miranti hampir mencapai pintu kamar mandi, ia mendengar suara perawat yang terdengar putus asa.
”Sudah dua jam dia menolak minum. Formula apapun tidak mau diterimanya,” keluh seorang perawat kepada rekannya. ”Ibunya belum bisa menyusui karena kondisinya juga kritis. Bagaimana ini?”
Miranti berhenti. Dadanya terasa penuh dan sakit. ASI-nya terus merembes, sedangkan di sana ada bayi yang sangat membutuhkan ASI.
Setelah beberapa saat ragu, Miranti akhirnya mendorong pintu dan masuk.
”Permisi, Sus,” katanya dengan suara parau, ”Saya mendengar ada bayi yang menolak susu formula. Kebetulan... saya punya banyak ASI.”
Kedua perawat menoleh dengan terkejut. Salah satu dari mereka, Suster Hayati, memandangnya dengan tatapan prihatin.
”Anda Ibu Miranti, kan? Yang baru kehilangan bayinya minggu lalu?”
Miranti mengangguk, tak mampu berkata-kata lebih lanjut. Air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.
”Apa Ibu yakin mau melakukan ini?” tanya Suster Hayati bimbang.
”ASI saya merembes terus. Rasanya sakit sekali, dan mungkin ini bisa sedikit membantu,” jawab Miranti, matanya tertuju pada bayi kecil yang menangis dalam gendongan Suster Hayati.
Setelah berbicara dengan rekannya, Suster Hayati mengajak Miranti duduk di sebelah box bayi yang menangis itu. Ia menyerahkan bayi mungil yang masih menangis itu ke dalam pelukan Miranti.
”Sebenarnya ini tidak boleh dan melanggar aturan rumah sakit. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi. Saya berjaga di depan, ya, Bu. Bisa gawat kalau ketahuan.”
Dengan tangan gemetar, Miranti menggendong bayi mungil itu tampak kecil dan rapuh di tangannya.
Saat Miranti mendekatkan bayi itu ke dadanya, tangisan bayi itu mereda. Insting alamiah membimbing mulut mungilnya mencari sumber makanan, dan dalam sekejap bayi itu mulai menyusu dengan lahap.
Air mata Miranti jatuh saat merasakan sensasi menyusui untuk pertama kalinya. ASI yang seharusnya untuk anaknya, kini dinikmati bayi lain yang membutuhkannya.
”Kami sangat berterima kasih, Bu,” bisik perawat yang berdiri di samping Miranti.
Miranti hanya mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil yang kini tenang dalam pelukannya. Sesekali, ia mengusap rambut bayi mungil yang masih menyusu padanya.
Namun, setelah 15 menit, Suster Hayati datang tergopoh-gopoh dan mengambil kembali bayi itu dari gendongan Miranti.
”Ayahnya ke sini, Bu,” bisik Suster Hayati panik.
Miranti cepat-cepat menyerahkan bayi itu kembali meskipun tampaknya makhluk mungil itu masih enggan melepaskan mulutnya.
Setelah merapikan pakaiannya dan mengelap tuniknya yang basah dengan tissue, Miranti keluar dan menjauh dari ruang bayi.
Di ujung lorong, Miranti hampir menabrak seseorang. Miranti yang masih sibuk membersihkan pakaiannya hanya bisa meminta maaf tanpa melihat orang itu. Namun, tidak demikian dengan laki-laki itu.
”Miranti?” desis lelaki yang hampir bertabrakan dengan Miranti sambil memicingkan matanya.
Suara dering ponsel membuat Adrian berhenti melanjutkan kalimatnya. Miranti menatap layar yang berkilau dengan nama yang membuatnya bergidik—Rino. Tangannya bergetar saat mengambil ponsel, wajahnya memucat seketika."Angkat saja," kata Adrian dari sofa seberang, menurunkan laptopnya. "Kenapa didiamkan?"Ponsel itu berhenti berdering, tapi tak lama kemudian bunyi itu kembali mengisi ruangan. Nama yang sama. Rino. Miranti menelan ludah, jari-jarinya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih."Siapa yang menelepon?" Adrian bangkit dari sofa, langkahnya mendekati Miranti yang masih terdiam. "Kamu terlihat pucat.""Ah, ini..." Miranti mengelak, menjauhkan ponsel dari pandangan Adrian. "Teman lama. Dia mau pinjam uang."Adrian mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang tidak benar dari nada bicara Miranti. Gadis itu biasanya bicara tenang, tapi kali ini suaranya terdengar gemetar."Teman lama?" Adrian melangkah lebih dekat. "Kenapa tidak diangkat kalau hanya mau pinjam uang?""Aku... aku
Miranti menatap layar ponselnya dengan wajah pucat. Pesan masuk lagi. Selalu seperti ini setiap hari.Tangannya bergetar saat membaca deretan kata-kata kotor yang dikirim Rino. Pesan-pesan menjijikkan yang membuatnya ingin muntah setiap kali membacanya."Aku tahu kamu di mana, cantik. Jangan kira bisa sembunyi terus..."Miranti segera menghapus pesan itu, seperti yang selalu dilakukannya. Tapi jejak kecemasan tetap tertinggal di dadanya. Miranti sudah mengabaikan pesan maupaun panggilan telepon dari Rino, namun lelaki itu tak pernah berhenti mengganggunya. Malah semakin parah.Ia melirik Adrian yang sedang fokus pada laptopnya di ruang tengah. Pria itu telah memberikannya kesempatan kerja sebagai pengasuh Bianca. Berkat Adrian, Miranti bisa hidup nyaman dan mendapatkan gaji yang cukup besar.Adrian terlalu baik padanya. Di saat keluarganya yang lain mencercanya, tapi Adrian tetap melindunginya. Kebaikan hati Adrian itulah yang membuat Miranti merasa bersalah karena tidak jujur tentan
Adrian mengendarai mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk. Makan siang bersama Keysha tadi seharusnya menyenangkan, tapi justru membuatnya gelisah.Kata-kata Keysha terus bergema di benaknya—tentang orang asing yang menyatroni rumahnya. Tapi, mengapa Miranti tidak pernah menceritakan hal ini padahal selama Adrian di Bali mereka kerap berkomunikasi via telepon?Selama seminggu di Bali untuk urusan bisnis, Adrian rutin menelepon rumah setiap hari. Setiap kali dia bertanya tentang keadaan rumah, Miranti selalu menjawab dengan nada tenang bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada masalah. Tapi sekarang Adrian tahu bahwa itu semua bohong.Mobil Adrian memasuki halaman rumahnya. Dia mematikan mesin dan duduk sejenak, mencoba menenangkan diri. Emosinya belum stabil, tapi dia harus bisa mengendalikannya. Dia perlu bicara dengan Miranti dan mencari tahu yang sebenarnya.Adrian masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar Bianca di lantai atas. Kamar itu menjadi tempat Mi
Keysha merapikan rambutnya di depan cermin mobil sebelum turun. Restoran yang dipilihnya sudah ramai pengunjung siang itu. Pilihan tempat ini bukan kebetulan—ia sudah mengatur semuanya dengan teliti.Keysha melangkah masuk dan menuju meja yang sudah dipesannya. Ia melirik ke meja disampingnya dan senyum tipis terulas pada seseorang yang duduk di meja itu.Tak seberapa lama senyum Keysha semakin merekah saat orang yang ditunggunya untuk makan siang bersama sudah datang."Adrian, terima kasih sudah mau makan siang denganku," kata Keysha sambil tersenyum manis ketika Adrian sampai di mejanya."Tidak masalah. Lagipula ini memang sudah waktunya makan siang," balas Adrian sambil duduk di deepan Keysha.Bukan tanpa rencana Keysha mengatur pertemuan siang itu. Keysha dengan sengaja memilih meja di tengah restoran, tepat di sebelah meja yang sudah diduduki oleh Rino dan seorang temannya. Adrian tidak menyadari kehadiran Rino karena posisi duduk mereka yang saling membelakangi."Bagaimana perj
Bunyi notifikasi ponsel kembali berbunyi untuk kesekian kalinya pagi itu. Miranti melirik layar dengan malas, sudah tahu siapa yang mengirim pesan tanpa perlu membukanya. Nama Rino tertera jelas di layar, seperti hantu yang tak pernah pergi."Lagi?" gumamnya sambil mengayun Bianca yang mulai rewel di pangkuannya.Bayi berumur enam bulan itu adalah alasan mengapa Miranti masih bertahan di rumah ini—menjadi pengasuh untuk putri majikannya, Adrian.Ponsel itu bergetar lagi. Dan lagi. Miranti menekan tombol volume hingga suara notifikasi tak terdengar lagi meskipun getaran ponsel itu masih terasa. Seperti detak jantung yang tak pernah berhenti—mengingatkannya pada sosok yang ingin sekali ia lupakan.Sudah seminggu sejak pertemuan tak terduga itu. Seminggu sejak mata Rino menatapnya dengan tatapan aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dan sejak itu pula, hidup Miranti tak pernah tenang.Bianca menangis lebih keras. Miranti mengalihkan perhatiannya, menggendong bayi itu sambil bersenandu
Miranti menatap layar ponselnya dengan mata yang sudah lelah. Notifikasi pesan terus berdatangan dari nomor yang sama—Rino.Panggilan masuk, pesan singkat, bahkan voice note yang isinya rayuan hingga ancaman. Mulai pagi hingga malam Rino terus mengganggunya, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.Miranti baru saja selesai memandikan dan menyuapi Bianca dengan bubur bayi. Miranti menghela napas sambil memandang Bianca yang kini sedang tertidur di box bayinya.Bayi berusia enam bulan itu terlihat begitu damai, tidak tahu betapa kacaunya hidup pengasuhnya."Lelah sekali hari ini," gumam Miranti sambil memijat pelipisnya yang berdenyut.Pikirannya melayang pada keputusan yang sudah bulat sejak tadi. Ia harus menemui Rino. Meski membenci mantan suaminya itu, ia tidak tahan lagi dengan gangguan yang terus datang. Rino harus mengerti bahwa mereka sudah berpisah dan tidak ada lagi yang bisa diperbaiki."Unti!" panggil Miranti pada pembantu rumah tangga yang sedang membereskan peralatan mandi Bi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント