Miranti tengah bercanda dengan Bianca pagi itu. Semakin besar, jam tidur Bianca semakin berkurang. Bayi empat bulan itu suka diajak bicara dan bercanda saat matanya terbuka.Pagi itu Miranti baru saja memandikan Bianca. Ia menggendong Bianca dan duduk menikmati matahari pagi di balkon.Pagi ini sangat tenang. Tak ada lagi celaan yang setiap saat Miranti dengar. Sekarang yang menghiasi paginya adalah celoteh dan tawa riang Bianca.”Lihat siapa yang kelihatan cantik setelah mandi pagi,” bisik Miranti sambil menempelkan hidungnya ke pipi Bianca yang lembut.Bayi itu membalas dengan suara celotehan kecil yang membuat Miranti tersenyum.Miranti melangkah ke balkon, tempat favoritnya bersama Bianca sejak tinggal di rumah mewah Adrian. Angin pagi membelai wajahnya, membawa kesegaran yang menenangkan sekaligus menyenangkan.Bianca tampak lebih ceria saat berada di luar ruangan. Matanya yang bulat menelusuri dedaunan pohon palem yang bergoyang di halaman. Kakinya juga menendang-nendang seperti
Linda tersenyum, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih lembut.”Bicaralah dengan Adrian. Ingatkan dia pada masa-masa menyenangkan kalian dulu. Tunjukkan padanya bahwa hidup masih harus berlanjut bahkan setelah kehilangan yang menyakitkan.””Tante ingin aku... berhubungan lagi dengan Adrian?” Keysha bertanya langsung.”Aku ingin kamu memberi Adrian harapan baru, Sayang. Saat ini, dia merasa hidupnya telah berakhir bersama Karina. Dia perlu melihat bahwa masih ada masa depan untuknya.”Keysha terdiam cukup lama. Ia memutar-mutar gelasnya, memperhatikan cairan bening yang berputar di dalamnya.Kenangannya bersama Adrian bermain di benaknya. Masa-masa mereka masih dekat, persahabatan yang sempat terjalin erat sebelum jalan hidup membawa mereka ke arah berbeda.”Baiklah,” Keysha akhirnya berkata. ”Aku akan mencoba kembali dekat dengan Adrian.”Senyum kemenangan terkembang di wajah Linda.”Bagus sekali. Aku jamin, Adrian pasti akan senang sekali.”Mereka melanjutkan makan siang dengan obr
Alunan musik jazz mengalun lembut di Legato Restaurant. Sebuah restoran mewah di sebuah hotel bintang lima. Pemandangan kota yang terhampar dari jendela besar di sisi ruangan menjadi latar belakang bagi Linda yang duduk menunggu seseorang.Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepuluh menit lewat dari waktu yang dijanjikan. Linda mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tidak sabar.Namun, tak lama kemudian Linda tersenyum senang saat pelayan mengantar seorang wanita muda mendekati meja yang dipesan Linda.Linda menegakkan tubuhnya, memasang senyum sempurna untuk tamu istimewa yang ditunggunya sejak tadi.”Maaf aku terlambat, Tante,” Keysha melangkah mendekat dengan anggun.Tubuh rampingnya dibalut pencil skirt hitam dan ivory turtle neck yang elegan. Ia membungkuk sedikit untuk mencium pipi Linda sebelum duduk di hadapannya.”Tidak apa-apa, Sayang. Menunggu sebentar tidak masalah,” Linda tersenyum lebar.Matanya mengamati penampilan Keysha dari ujung kepala hin
”Kau yakin sudah membawa semua yang diperlukan?” Adrian mengecek tas bayi yang tergantung di bahunya, berusaha memastikan tidak ada yang tertinggal.Udara pagi terasa segar ketika mereka melangkah keluar dari rumah. Adrian membawa tas berisi perlengkapan, sedangkan Miranti tengah mendorong Bianca dengan strolernya. Hari ini Adrian mengajak Miranti dan Bianca jalan-jalan.Adrian sudah lama merencanakannya. Selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Adrian sengaja mengatur waktu supaya bisa menghabiskan waktunya dengan putri kecilnya.”Semuanya sudah aku siapkan lengkap. Popok, baju ganti, susu, botol, mainan kecil, selimut tipis, bedak, tisu basah...” Miranti menyebutkan isi tas sambil menghitungnya dengan jari.”Bahkan aku membawa obat jaga-jaga kalau Bianca tiba-tiba demam, meski aku berharap dia akan baik-baik saja.”Adrian menghela napas lega, ”Aku tidak tahu bagaimana mengurus semua ini tanpamu, Mir.””Itu sudah tugasku,” jawab Miranti lembut, sambil mengangkat Bianca dari k
Malam itu, Adrian menyetir dengan hati-hati di jalanan yang masih basah setelah hujan. Jalanan yang licin dan kendaraan lain yang melaju lambat membuatnya lebih berhati-hati.Jam di dashboard mobilnya menunjukkan pukul sebelas malam lebih dua puluh menit. Adrian menghela napas panjang. Pekerjaan yang harus ia selesaikan sangat banyak dan membuatnya harus lembur.Sejenak, Adrian tersenyum. Dulu, pulang larut seperti ini selalu terasa menyesakkan. Rumah hanya terasa seperti tempat singgah, bukan tempat pulang.Tapi sekarang berbeda. Ada Bianca, putri kecilnya yang mengubah segalanya. Dan kehadiran Miranti, yang entah bagaimana telah membawa ketenangan yang telah lama tidak ia rasakan. Bianca dan Miranti membuat Adrian merasakan kembali gairah hidup.Hampir tengah malam saat mobil Adrian memasuki halaman rumahnya. Adrian memasuki rumah dengan langkah pelan. Suasana begitu hening. Ia melepas sepatu dan melonggarkan dasinya, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air.Adrian me
Linda menatap keluar jendela mobil. Ia memandangi deretan kendaraan yang bergerak cepat di sepanjang jalan tol. Sepanjang perjalanan ia tidak mengajak suaminya bicara. Linda hanya menjawab seadanya saat Wildan mengajaknya bicara.”Apa jalanan di luar jauh lebih menyenangkan daripada suamimu?” protes Wildan pada istrinya.Linda mendengus pelan, ”Harusnya kamu mengizinkan aku tinggal lebih lama di rumah Adrian.””Sudah aku bilang kan, kamu sudah di sana lebih dari seminggu. Adrian butuh ruang. Ia juga butuh ketenangan,” jelas Wildan untuk kesekian kalinya.”Apa maksudmu Adrian butuh ruang? Dia butuh bantuan! Bianca baru berusia tiga bulan dan Adrian sendirian mengurus bayi setelah Karina meninggal. Dan sekarang…” Linda menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang berkecamuk.”Dan sekarang dia sudah punya pengasuh sekaligus wet nurse untuk Bianca,” lanjut Wildan tenang. ”Bukankah
Adrian melangkahkan kakinya memasuki rumahnya. Hari yang panjang di kantor membuat pundaknya terasa kaku.Ia hanya ingin memeluk putri kecilnya, Bianca, sebelum menikmati secangkir teh hangat. Namun, suara bentakan dari arah lantai atas langsung menyambutnya.”Berapa kali harus kukatakan? Jangan sering-sering menyusui Bianca! Bianca sudah aku buatkan jadwal kapan harus menyusu.”Adrian mempercepat langkahnya. Suasana yang menyambut kepulangannya hari itu membuat Adrian menghela napas berat. Lagi-lagi, Linda, maminya, kembali mengintimidasi Miranti. Tak heran kalau Miranti meminta resign karena tidak betah.”Maaf, Nyonya. Tapi, Bianca lapar. Anak seusianya biasa sering menyusu. Jadwal yang Nyonya buat terlalu ketat untuknya,” terdengar Miranti menjawab pelan.”Kau pikir kau ini siapa berani-beraninya mengajariku! Apa kau semakin tak tahu diri hanya karena Adrian perhatian padamu?””Mami, cukup!” Adrian menyela, ia masuk ke dalam kamar Bianca dan melihat anaknya tengah merengek dalam g
Miranti menggendong Bianca yang tertidur pulas setelah menyusu. Jemarinya dengan lembut membelai rambut tipis bayi mungil itu.Matanya tak lepas dari wajah Bianca yang polos dan damai. Sangat kontras dengan badai yang tengah berkecamuk dalam hatinya.Bibir mungil Bianca sesekali bergerak, seolah masih menikmati mimpi indahnya, tanpa tahu drama yang tengah terjadi di antara orang-orang dewasa di sekitarnya.”Waktunya habis.”Suara Linda yang dingin memecah keheningan. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu kamar bayi dengan tangan terlipat di dada dan tatapan tajamnya.”Sepuluh menit lagi, Nyonya Linda. Bianca baru saja tertidur,” pinta Miranti dengan suara lirih, berusaha agar tidak membangunkan bayi dalam gendongannya.”Tugasmu hanya menyusui, bukan menidurkan,” jawab Linda ketus. ”Berikan Bianca padaku. Sekarang!”Miranti menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang sudah menggenang. Dengan sangat hati-hati, ia mencium kening Bianca sebelum menyerahkannya pada Linda.Begit
Miranti tersentak kaget. Linda berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat pasi dengan mata membelalak tidak percaya. Tatapannya tertuju pada Bianca yang masih menyusu pada Miranti.”N-Nyonya Linda,” Miranti tergagap, berusaha menutupi dadanya dengan tangan gemetar.”Kau... kau menyusui Bianca? Kau berani menyusui cucuku?” Linda hampir tersedak kata-katanya sendiri.”Saya bisa menjelaskan…””Tidak perlu!” Linda melangkah masuk dengan wajah merah padam oleh amarah.”Aku tidak percaya ini! Kau... kau menggunakan tubuhmu untuk menyusui darah dagingku? Ini pelecehan! Kau sudah melanggar batas moral!”Miranti dengan panik berusaha merapian pakaiannya sambil tetap menjaga Bianca yang mulai menangis karena terkejut.”Nyonya, saya mohon. Dengarkan penjelasan saya dulu.””Jangan berani mengatakan apa pun padaku!” Linda mendekat dengan tangan terkepal. ”Aku tidak mau dengar apa pun alasanmu. Ini tidak bisa dimaafkan!”Dengan kasar, Linda meraih Bianca dan mencoba mengambilnya dari pelukan Miranti.