Share

Bab 10

Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.

Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.

“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”

Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.

“Gue mau juga dong....”

“Yang begitu nyari di mana???”

“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”

“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”

“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”

Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubungan Dinda dan pria kaya misterius. Tawa gelinya sudah berganti menjadi senyuman kosong. Jauh di dalam hatinya, Dinda menyimpan harapan semua yang dikatakan teman-temannya adalah nyata. Entah apa yang akan mereka katakan jika tahu siapa sebenarnya yang akan menjadi kekasih Bima.

“Gawat!” pekik Dinda saat menyadari dia terlambat bangun. Dia bangkit dan merasakan ada yang aneh.

Oh, tidak! Dinda menyadari sesuatu. Mengapa dia tidak memakai baju? Dia ingat semalam tubuhnya terasa sangat panas. Mungkin saja dia tidak sadar saat melepas pakaiannya dan langsung tertidur. Samar-samar ia ingat betapa berantakannya ruang tamu setelah teman-teman Bima datang dan Dinda belum membersihkannya. Dinda lalu mencuci muka dan menyikat giginya dengan terburu-buru. Dia asal menyambar kaos dan celana panjang dari lemarinya sebelum keluar dan pergi ke dapur.

“Pagi, Mas. Maaf saya bangun kesiangan.”

Dinda merutuki dirinya sendiri ketika melihat Bima sedang duduk di kitchen island dengan secangkir kopi di tangannya. Rambut Bima yang masih basah menandakan kalau pria itu baru mandi. Dia tersenyum tipis melihat Dinda yang panik.

“Mau kopi, Din?” Bima menuangkan kopi untuk Dinda tanpa menunggu jawaban gadis itu.

Saat melihat Bima lagi, Dinda tiba-tiba teringat mimpinya semalam. Dalam mimpinya, mereka berdua terjaga hingga larut malam. Entah bagaimana, Dinda tiba-tiba sudah ada di pangkuan bima. Setelah menarik Dinda ke pangkuannya, Bima mencium bibir Dinda dan memagutnya pelan. Satu tangannya naik ke belakang kepala Dinda untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang Dinda dan sesekali menelusup masuk ke punggungnya, memberikan sengatan panas di kulit mulus gadis itu.

Dalam mimpinya, Dinda membalas ciuman Bima dengan gairah yang sama. Jemarinya menyisir rambut Bima, lalu turun ke tengkuk dan memeluknya. Tangan Bima yang ada di punggungnya membuat tubuh Dinda semakin terasa panas. Sebuah erangan lolos dari bibirnya saat Bima ciuman Bima turun ke tulang selangkanya.

Perpaduan sensasi geli dan kenikmatan yang Bima berikan di lehernya membuat tubuh Dinda menggeliat. Tubuhnya dan tubuh Bima saling bergesekkan, hingga Dinda bisa merasakan sesuatu yang mengeras di bawah daerah sensitifnya. Rasa nikmat yang baru pernah Dinda rasakan membuatnya kembali menggesekkan tubuhnya ke tubuh Bima.

Erangan Bima semakin keras. Napasnya mulai memburu. Dia mengangkat Dinda dan membawanya ke kamar. Kedua kaki Dinda memeluk pinggang Bima sementara tangannya masih mengalung di leher pria itu, menuntut Bima melanjutkan ciuman mereka. Dinda kehilangan kesadaran atas kondisi di sekitarnya. Yang ia tahu tiba-tiba punggungnya menyentuh sesuatu yang begitu empuk dan lembut. Sesaat kemudian Bima melepas pelukannya. Dinda kecewa karena kehilangan kehangatan yang diberikan tubuh Bima, tetapi kelembutan benda yang ada di bawahnya membuatnya merasa nyaman dan mengantuk. Mata Dinda terasa berat. Entah apa yang terjadi berikutnya di dalam mimpi, Dinda tak ingat. Tahu-tahu Dinda terbangun karena alarmnya dengan kepala pening.

“Din!”

Suara Bima membuyarkan lamunan Dinda. Untung saja dia berhasil memalingkan muka di saat yang tepat sehingga Bima tidak melihatnya tersipu. Semoga saja Bima tidak punya kekuatan super untuk bisa membaca pikiran orang.

“Saya nggak suka kopi pahit, Mas,” kata Dinda tak enak.

Bima hanya mengangguk sebelum menuang susu dan sedikit gula ke cangkir Dinda. “Cobain.”

“Enak, Mas,” kata Dinda setelah mencicipi.

“Santai aja, Din. Minum kopi dulu. Ini kan hari Minggu.”

“Iya, Mas. Mas Bima mau sarapan apa?”

Saat menikmati kopinya, pandangan Dinda menyapu ke ruang tamu. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tak tahu apa itu.

“Apa aja, Din.”

“French toast mau, Mas?” Dinda memikirkan sarapan yang mudah dan cepat untuk dibuat. Dia banyak mencari resep-resep masakan setelah pindah ke apartemen Bima.

Sebenarnya Bima tak suka sarapan manis, namun entah mengapa dia justru mengangguk setuju.

“Sebentar, ya, Mas.” Dinda beranjak dan mulai sibuk menyiapkan roti dan yang lainnya. Saat hendak mencuci tangan, Dinda melihat beberapa gelas dan piring yang baru dicuci. Seketika itu seperti ada yang menyalakan lampu di otaknya.

“MAS BIMA!”

“Apa? Bikin kaget aja teriak-teriak.”

“Mas Bima yang beresin ruang tamu dan nyuci piring?”

“Iya,” jawab Bima santai.

“Kenapa nggak nyuruh saya? Kenapa Mas Bima nggak bangunin saya?” cerocos Dinda.

“Yaelah, cuma cuci piring doang gue juga bisa.”

“Tapi itu kan kerjaan saya, bukan kerjaan Mas Bima.”

“Kalo elo segitu rajinnya, itu gelas sama piringnya lo kotorin lagi aja. Abis itu tinggal lo cuci lagi. Susah amat.”

Dinda cemberut. Sebenarnya dia hanya takut Bima beranggapan kalau Dinda tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik dan melaporkannya ke Kartika. Dinda takut diberhentikan. Dia masih belum terbiasa punya majikan yang santai dan fleksibel seperti Bima. Ditambah lagi Bima sendiri pernah mengancam akan memecatnya jika dia memata-matai Bima. Kalau Bima sampai memecatnya karena menjadi mata-mata, dia bisa memohon pada Kartika untuk kembali bekerja di kediaman keluarga. Tetapi jika Kartika tahu Bima justru mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, Kartika pasti tidak akan mau menerimanya kembali.

“Besok-besok kalo ada apa-apa Mas Bima suruh saya aja, ya,” kata Dinda akhirnya.

Bima tersenyum geli. Baru pernah dia melihat orang yang begitu senang disuruh-suruh seperti Dinda. Lagipula Bima sebenarnya sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri sejak kuliah di New York. Tapi berhubung mamanya bersikeras Dinda yang akan melakukan semua pekerjaan rumahnya, sekalian saja dia manfaatkan. Tetapi entah mengapa pagi ini ketika bangun dan tidak mendapati Dinda di dapur seperti sebelumnya, Bima dengan senang hati membereskan sisa-sisa tadi malam. Apalagi dia tahu kalau kepala Dinda akan terasa sakit setelah semalam minum alkohol untuk pertama kalinya. Seulas senyum terlukis di bibirnya kala mengingat Dinda yang berubah begitu cerewet dan manis saat mabuk. Ah, sepertinya dia lupa, batin Bima.

“Iya. Udah cepetan masaknya, gue laper nih,” balas Bima.

Tak butuh waktu lama Dinda telah menyelesaikan masakannya. Mereka lalu sarapan bersama di kitchen island. Melihat sikap Dinda yang biasa saja padanya, Bima yakin kalau Dinda tidak mengingat apa yang terjadi semalam di antara mereka. Bima pun memutuskan untuk tidak mengungkitnya. Mungkin hubungan mereka akan lebih baik seperti ini. Hanya majikan dan pembantunya, sesederhana itu.

Dinda sendiri merasa sedikit canggung. Mimpinya semalam sungguh mengganggunya. Bagaimana mungkin dia bisa memimpikan hal seperti itu? Sungguh memalukan. Dia dan Bima.... tidak mungkin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status