Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.
Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.
“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”
Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.
“Gue mau juga dong....”
“Yang begitu nyari di mana???”
“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”
“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”
“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”
Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubungan Dinda dan pria kaya misterius. Tawa gelinya sudah berganti menjadi senyuman kosong. Jauh di dalam hatinya, Dinda menyimpan harapan semua yang dikatakan teman-temannya adalah nyata. Entah apa yang akan mereka katakan jika tahu siapa sebenarnya yang akan menjadi kekasih Bima.
“Gawat!” pekik Dinda saat menyadari dia terlambat bangun. Dia bangkit dan merasakan ada yang aneh.
Oh, tidak! Dinda menyadari sesuatu. Mengapa dia tidak memakai baju? Dia ingat semalam tubuhnya terasa sangat panas. Mungkin saja dia tidak sadar saat melepas pakaiannya dan langsung tertidur. Samar-samar ia ingat betapa berantakannya ruang tamu setelah teman-teman Bima datang dan Dinda belum membersihkannya. Dinda lalu mencuci muka dan menyikat giginya dengan terburu-buru. Dia asal menyambar kaos dan celana panjang dari lemarinya sebelum keluar dan pergi ke dapur.
“Pagi, Mas. Maaf saya bangun kesiangan.”
Dinda merutuki dirinya sendiri ketika melihat Bima sedang duduk di kitchen island dengan secangkir kopi di tangannya. Rambut Bima yang masih basah menandakan kalau pria itu baru mandi. Dia tersenyum tipis melihat Dinda yang panik.
“Mau kopi, Din?” Bima menuangkan kopi untuk Dinda tanpa menunggu jawaban gadis itu.
Saat melihat Bima lagi, Dinda tiba-tiba teringat mimpinya semalam. Dalam mimpinya, mereka berdua terjaga hingga larut malam. Entah bagaimana, Dinda tiba-tiba sudah ada di pangkuan bima. Setelah menarik Dinda ke pangkuannya, Bima mencium bibir Dinda dan memagutnya pelan. Satu tangannya naik ke belakang kepala Dinda untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang Dinda dan sesekali menelusup masuk ke punggungnya, memberikan sengatan panas di kulit mulus gadis itu.
Dalam mimpinya, Dinda membalas ciuman Bima dengan gairah yang sama. Jemarinya menyisir rambut Bima, lalu turun ke tengkuk dan memeluknya. Tangan Bima yang ada di punggungnya membuat tubuh Dinda semakin terasa panas. Sebuah erangan lolos dari bibirnya saat Bima ciuman Bima turun ke tulang selangkanya.
Perpaduan sensasi geli dan kenikmatan yang Bima berikan di lehernya membuat tubuh Dinda menggeliat. Tubuhnya dan tubuh Bima saling bergesekkan, hingga Dinda bisa merasakan sesuatu yang mengeras di bawah daerah sensitifnya. Rasa nikmat yang baru pernah Dinda rasakan membuatnya kembali menggesekkan tubuhnya ke tubuh Bima.
Erangan Bima semakin keras. Napasnya mulai memburu. Dia mengangkat Dinda dan membawanya ke kamar. Kedua kaki Dinda memeluk pinggang Bima sementara tangannya masih mengalung di leher pria itu, menuntut Bima melanjutkan ciuman mereka. Dinda kehilangan kesadaran atas kondisi di sekitarnya. Yang ia tahu tiba-tiba punggungnya menyentuh sesuatu yang begitu empuk dan lembut. Sesaat kemudian Bima melepas pelukannya. Dinda kecewa karena kehilangan kehangatan yang diberikan tubuh Bima, tetapi kelembutan benda yang ada di bawahnya membuatnya merasa nyaman dan mengantuk. Mata Dinda terasa berat. Entah apa yang terjadi berikutnya di dalam mimpi, Dinda tak ingat. Tahu-tahu Dinda terbangun karena alarmnya dengan kepala pening.
“Din!”
Suara Bima membuyarkan lamunan Dinda. Untung saja dia berhasil memalingkan muka di saat yang tepat sehingga Bima tidak melihatnya tersipu. Semoga saja Bima tidak punya kekuatan super untuk bisa membaca pikiran orang.
“Saya nggak suka kopi pahit, Mas,” kata Dinda tak enak.
Bima hanya mengangguk sebelum menuang susu dan sedikit gula ke cangkir Dinda. “Cobain.”
“Enak, Mas,” kata Dinda setelah mencicipi.
“Santai aja, Din. Minum kopi dulu. Ini kan hari Minggu.”
“Iya, Mas. Mas Bima mau sarapan apa?”
Saat menikmati kopinya, pandangan Dinda menyapu ke ruang tamu. Dia merasa ada yang aneh, tetapi tak tahu apa itu.
“Apa aja, Din.”
“French toast mau, Mas?” Dinda memikirkan sarapan yang mudah dan cepat untuk dibuat. Dia banyak mencari resep-resep masakan setelah pindah ke apartemen Bima.
Sebenarnya Bima tak suka sarapan manis, namun entah mengapa dia justru mengangguk setuju.
“Sebentar, ya, Mas.” Dinda beranjak dan mulai sibuk menyiapkan roti dan yang lainnya. Saat hendak mencuci tangan, Dinda melihat beberapa gelas dan piring yang baru dicuci. Seketika itu seperti ada yang menyalakan lampu di otaknya.
“MAS BIMA!”
“Apa? Bikin kaget aja teriak-teriak.”
“Mas Bima yang beresin ruang tamu dan nyuci piring?”
“Iya,” jawab Bima santai.
“Kenapa nggak nyuruh saya? Kenapa Mas Bima nggak bangunin saya?” cerocos Dinda.
“Yaelah, cuma cuci piring doang gue juga bisa.”
“Tapi itu kan kerjaan saya, bukan kerjaan Mas Bima.”
“Kalo elo segitu rajinnya, itu gelas sama piringnya lo kotorin lagi aja. Abis itu tinggal lo cuci lagi. Susah amat.”
Dinda cemberut. Sebenarnya dia hanya takut Bima beranggapan kalau Dinda tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik dan melaporkannya ke Kartika. Dinda takut diberhentikan. Dia masih belum terbiasa punya majikan yang santai dan fleksibel seperti Bima. Ditambah lagi Bima sendiri pernah mengancam akan memecatnya jika dia memata-matai Bima. Kalau Bima sampai memecatnya karena menjadi mata-mata, dia bisa memohon pada Kartika untuk kembali bekerja di kediaman keluarga. Tetapi jika Kartika tahu Bima justru mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, Kartika pasti tidak akan mau menerimanya kembali.
“Besok-besok kalo ada apa-apa Mas Bima suruh saya aja, ya,” kata Dinda akhirnya.
Bima tersenyum geli. Baru pernah dia melihat orang yang begitu senang disuruh-suruh seperti Dinda. Lagipula Bima sebenarnya sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri sejak kuliah di New York. Tapi berhubung mamanya bersikeras Dinda yang akan melakukan semua pekerjaan rumahnya, sekalian saja dia manfaatkan. Tetapi entah mengapa pagi ini ketika bangun dan tidak mendapati Dinda di dapur seperti sebelumnya, Bima dengan senang hati membereskan sisa-sisa tadi malam. Apalagi dia tahu kalau kepala Dinda akan terasa sakit setelah semalam minum alkohol untuk pertama kalinya. Seulas senyum terlukis di bibirnya kala mengingat Dinda yang berubah begitu cerewet dan manis saat mabuk. Ah, sepertinya dia lupa, batin Bima.
“Iya. Udah cepetan masaknya, gue laper nih,” balas Bima.
Tak butuh waktu lama Dinda telah menyelesaikan masakannya. Mereka lalu sarapan bersama di kitchen island. Melihat sikap Dinda yang biasa saja padanya, Bima yakin kalau Dinda tidak mengingat apa yang terjadi semalam di antara mereka. Bima pun memutuskan untuk tidak mengungkitnya. Mungkin hubungan mereka akan lebih baik seperti ini. Hanya majikan dan pembantunya, sesederhana itu.
Dinda sendiri merasa sedikit canggung. Mimpinya semalam sungguh mengganggunya. Bagaimana mungkin dia bisa memimpikan hal seperti itu? Sungguh memalukan. Dia dan Bima.... tidak mungkin.
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
Bima tersnyum saat ponselnya bergetar. Dia meraihnya dan membuka pesan yang masuk. Senyumnya bertambah lebar saat membaca pesan itu. Dengan segera dia mengetikkan balasan dan mengirimnya.“Oke, tadi sampai mana, Van?”Laki-laki di depannya, , menghela napas kesal. Mereka berdua sedang berada di ruangan Bima di kantor, mendiskusikan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tetapi rapat eksklusif itu beberapa kali terhenti karena Bima tidak fokus dan bolak-balik memeriksa ponselnya.“Lo lagi chatting sama siapa sih?” tanya Ivan akhirnya. Jarang sekali Bima membagi fokusnya dengan hal lain saat bekerja. “Penting banget, ya?”“Bukan urusan lo,” balas Bima. Meski tidak sedekat dengan Daniel dan yang lain, Ivan bisa dikategorikan teman sekaligus rekan kerja Bima. Mereka sama-sama membangun perusahaan dari nol. Bima sedikit lebih unggul karena dia menyandang status sebagai direktur dan pemilik perusahaan. Selain itu, keberadaan mereka berdua di kantor sama-sama penting.“Cewek baru?” tanya
Dinda tersenyum saat merasakan tangan Bima yang melingkar di pinggangnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Bahkan jika bukan karena suara alarm dari ponsel Bima yang berdering sejak tadi, Dinda masih akan terus memejamkan mata. Pelan-pelan dia memindahkan lengan berotot Bima dari pinggangnya dan beranjak bangkit. Tetapi saat dia baru duduk Bima menariknya hingga Dinda kembali berbaring di pelukan pria itu.“Morning, Din,” kata Bima, yang kemudian mengecup bibir Dinda.“Pagi, Mas Bim,” balas Dinda dengan dihiasi senyum malu-malunya. “Mau sarapan apa pagi ini?”“Sarapan kamu.”Dengan cepat Dinda meriah selimut dan bersembunyi di baliknya. Dia masih belum bisa mencegah agar pipinya tidak lagi memerah saat berhadapan dengan Bima. Rasanya Dinda ingin terus bersembunyi ketika dia menyadari kalau semalam dia tidak memakai bajunya kembali.Melihat tingkah Dinda yang malu-malu membuat Bima terbahak. Ditariknya selimut dengan paksa agak dia bisa melihat wajah merah Dinda.“Nggak usah malu, Di
“Putar kiri sedikit lagi... oke.”Dengan bangga Dinda mematikan mesin mobil setelah sukses memarkirkannya di carport kediaman keluarga Bima. Setelah menjemputnya di kampus, Bima meminta Dinda untuk menyetir sepanjang perjalanan ke rumah. Meski membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari biasanya, Dinda berhasil sampai tanpa membuat mobil Bima lecet.Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang keluarga, tubuh Dinda dihantam dari kedua sisi. Dalam sekejap si kembar sudah memeluk pinggangnya dan berceloteh mengungkapkan betapa mereka merindukan Dinda.“Kak Dinda, aku sekarang punya hamster,” kata Tasya sambil menunjuk sebuah kandang kecil di sudut ruangan. “Nanti kita...”“Aku sekarang udah bisa berenang, Kak,” potong Rasya penuh semangat. “Yuk kita berenang...”“Tasya... Rasya... biar Kak Dinda duduk dulu,” Sarah berusaha menenangkan anak-anaknya.“Tapi kan aku kangen, Mi...”“Aku mau kasih lihat Kak Dinda...”Celotehan anak-anak itu terdengar semakin jauh ka
Dinda mengetuk pintu kamar Bima. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak mendapat jawaban, Dinda mencoba membukanya. Lagipula dia sudah sering menghabiskan waktu di kamar itu. Dinda rasa Bima tidak akan keberatan jika ia masuk tanpa menunggu jawaban pria itu.“Mas Bima,” panggil Dinda.Beberapa saat kemudian Bima keluar dari kamar mandi, agak terkejut ketika melihat Dinda ada di kamarnya.“Tadi saya ngetuk pintu tapi Mas Bima nggak jawab,” kata Dinda.Bima hanya mengangguk kecil. “Ada apa?”“Saya bawa ini,” Dinda menyodorkan secangkir teh chamomile kepada Bima. “Sepertinya Mas Bima lagi banyak pikiran. Kata Bu Tika ini bisa bikin tenang.”Selama beberapa detik Bima hanya menatap Dinda, mencoba membaca isi hati dan pikiran gadis itu. Apakah Dinda melakukan semua ini karena tugasnya atau karena memang peduli kepada Bima? Apakah Dinda juga seperhatian ini pada anggota keluarganya yang lain? Jika mereka tidak berhubungan akankah Dinda tetap sebaik ini?Akhirnya setelah beberapa saat Bima
Bima keluar lebih dahulu dan bergabung bersama teman-temannya. Dia duduk di samping Daniel, yang menyambutnya dengan senyum misterius.“Habis ngapain lo?” bisik Daniel tetapi Bima pura-pura tidak mengerti dan hanya mengangkat bahunya. “Habis ngapain sampe rambut lo berantakan gitu?” ulang Daniel.Tangan Bima refleks naik dan menyisir rambutnya. Dia tersenyum simpul saat mengingat jari-jari Dinda yang membuatnya berantakan. “Lo nggak perlu tahu.”Sebenarnya dia punya dugaan, tetapi akan lebih menyenangkan baginya saat bisa meledek Bima. “Gue juga pengen kayak lo, Bim.”Plak!Bima menghadiahi Daniel dengan pukulan di kepalanya. “Sialan lo!”“Kenapa, sih, kalian?” Sabrina mengomel, kesal karena usahanya mendekati Bima sejak tadi belum juga berhasil. Dia mulai bosan mendengarkan pembicaraan keempat pria itu. “Main Truth or Dare, yuk.”“Yuk!” sambut Kevin. “Ajak Dinda juga biar lebih seru.”Akhirnya setelah menyingkirkan meja, mereka berenam duduk melingkar di lantai. Dinda diapit oleh Dan
Dinda menjadi lebih diam setelah pernyataan Bima semalam. Meskipun Dinda setuju untuk merahasiakan hubungan mereka, dia menyimpan rasa kecewa di hatinya. Mungkin memang Bima malu untuk mengaukinya sebagai pacar di depan orang-orang. Mereka sangat berbeda. Jika jari-jari di tangannya masih kurang jika dipakai untuk menghitung kelebihan Bima, Dinda tidak bisa memikirkan satu hal pun yang bisa dia banggakan.“Huhh,” Dinda mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Niatnya untuk menyelesaikan tugas belum juga terlaksana karena yang ia lakukan sejak tadi hanya melamun.“Kenapa, Din?” Bima muncul dari kamarnya. Dia mengenakan kaos hitam dan celana olahraga dengan warna senada. Rambutnya masih basah karena dia baru saja mandi.“Tugasnya susah, Mas,” jawab Dinda. Hidungnya dimanjakan oleh aroma segar yang menguar dari tubuh Bima saat pria itu duduk di lantai di sampingnya. Dinda memang lebih suka duduk di lantai ruang tengah dan mengerjakan tugasnya di sana.Kening Bima sedikit mengerut saat memb