Share

Bab 9

Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.

“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”

“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”

Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.

“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”

“Iya, Mas.”

Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.

“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”

Bima menepuk dahi. “Sori, gue lupa. Gue di rumah bokap dari siang. Gara-gara si kembar gue jadi lupa ngabarin kalian kalo gue belum pulang. Yuk, masuk.”

 Ketiga pria itu masuk mengikuti Bima. Dinda yang sejak tadi hanya diam juga ikut masuk, membuat pria yang ada di barisan paling belakang menoleh heran padanya.

“Bim, dia siapa?”

Semua berhenti dan menatap Dinda. Dua orang yang lain tampaknya baru menyadari keberadaan gadis itu. Salah seorang di antaranya bersiul pelan.

“Cewek lo baru lagi, Bim?” katanya.

Tatapan mereka menilai Dinda dari atas hingga ke bawah. Meski Dinda tidak terlihat seperti gadis-gadis di lingkaran pertemanan mereka, tetapi harus diakui kalau wajah dan penampilannya bisa diterima.

“Dia bukan pacar gue,” jawab Bima. Dengan malas ia memperkenalkan mereka. “Ini Dinda, ART nyokap gue. Nyokap nyuruh dia buat bantu-bantu di sini. Din, ini Daniel, Ryan, dan Kevin, temen-temen gue. Besok-besok kalo mereka dateng ke sini nggak usah dikasih masuk.”

“Sialan lo!” maki Ryan.

Dinda tersenyum dan mengangguk sopan kepada mereka bertiga.

Kevin kembali bersiul. “Kalian tinggal berdua di sini? Pantes sekarang lo betah di apartemen, taunya ada yang nemenin.”

Bima menghela napas. “Lo pada nggak usah mikir macem-macem.” Dia menggiring teman-temannya ke ruang tamu. “Din, siapin gelas sama camilan, ya.”

“Iya, Mas,” Dinda berlalu ke dapur.

“Dinda, lo mau pindah kerja di rumah gue, nggak?” teriak Daniel. “Gue juga mau dipanggil ‘mas’ juga kaya Bima,” imbuhnya yang membuatnya mendapat pukulan dari Bima.

“Dia itu punya nyokap gue,” kata Bima yang dibalas dengan cibiran oleh Daniel.

Beberapa menit berikutnya mereka telah larut dalam obrolan seru. Keempatnya adalah teman sejak SMA, tetapi mereka berpisah saat kuliah. Bima dan Daniel ada di New York, sedangkan Kevin dan Ryan kuliah di Inggris. Meski hanya bertemu beberapa kali dalam setahun, mereka tetap dekat. Kini mereka telah menyelesaikan kuliah dan kembali ke Indonesia. Kali ini adalah pertemuan pertama sejak kepulangan Bima.

“Sebagai perayaan kembalinya kita ke Tanah Air tercinta, gue bawa ini,” kata Kevin sambil memamerkan sebotol wine yang masih tersegel. “Spesial dari tahun lima puluhan, gue ambil dari koleksi bokap,” lanjutnya yang disambut sorakan tiga orang lainnya.

“Din, lo gabung sekalian sama kita. Ambil gelas satu lagi,” kata Daniel saat Dinda membawakan empat gelas kosong dan buah potong untuk mereka. Undangan Daniel langsung disetujui Kevin dan Ryan, yang menganggap kehadiran Dinda bisa menjadi penyegar pandangan.

Dinda menatap Bima meminta saran. Dia bingung. Tak enak untuk menolak, tetapi dia akan canggung jika mengiyakan. Hanya dari penampilan Dinda bisa membaca kalau mereka berasal dari kalangan atas. Jelas dia tak akan mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Dia banyak kerjaan,” kata Bima akhirnya.

“Oh, come on! Let her live a little, Bim. Sekali-sekali minum nggak apa-apa. Lo nggak kasian sama dia kalo terus-terusan disuruh kerja?”

Bima mendesah menyerah, membiarkan Dinda bergabung dengan teman-temannya. Sebenarnya Bima ingin menolak, tetapi dia tahu teman-temannya tidak akan membiarkan gadis secantik Dinda lolos begitu saja.

Dinda meringis saat merasakan wine untuk pertama kalinya. Mungkin karena jenis dan kandungan alkoholnya tinggi, Dinda merasakan pahit setelah menelannya. Dengan rasanya, dia heran mengapa begitu banyak orang yang menyukai minuman itu. Masih mending minum jaesu kemana-mana, batinnya.

“Baru pernah minum wine?” Bima yang duduk di samping Dinda bertanya pelan. Mereka duduk di lantai mengelilingi meja. “Nggak suka?”

“Iya, Mas. Rasanya nggak enak. Kalo buat angetin badan mending minum jaesu aja.”

Ucapan Dinda membuat yang lain tertawa.

“Boleh kapan-kapan kita ngangetin badan bareng?” tanya Daniel.

“Kampret, lo!” sambar Bima yang jelas menangkap maksud tersembunyi temannya itu. 

“Maksudnya ngangetin badan sambil minum jaesu bareng, Bim.”

“Nggak, nggak boleh. Lo kalo mau ngajak Dinda ke mana-mana harus minta ijin sama nyokap gue dulu.”

“Yelah, cuma ke angkringan depan aja pake minta ijin nyokap lo segala.”

Dinda hanya tertawa kecil dan sesekali menanggapi pertanyaan yang tertuju padanya. Teman-teman Bima cukup menyenangkan. Bima pun banyak tertawa bersama mereka. Sungguh berbeda dengan Bima yang Dinda temui pertama kali.

Malam semakin larut. Meski awalnya tak suka, Dinda tak memungkiri kalau pikiran dan tubuhnya terasa lebih ringan setelah menghabisan gelas pertamanya. Semua hal yang dikatakan Bima dan teman-temannya menjadi dua kali lebih lucu di telinga Dinda.

Saat jarum jam menunjuk ke angka satu, barulah Ryan beranjak untuk pulang. Kedua temannya mengikuti, meninggalkan Dinda dan Bima berdua di sana.

“Temen-temen Mas Bima lucu, ya,” kata Dinda. “Mas Bima juga lucu. Padahal waktu pertama kali ketemu kirain Mas Bima orangnya galak.”

Bima yang pikirannya masih jernih karena punya toleransi tinggi terhadap alkohol menautkan kedua alisnya. Sejak tadi Dinda mengoceh tidak jelas, hingga Bima bisa menarik kesimpulan kalau gadis itu benar-benar mabuk.

“Lo mending tidur, Din,” sarannya.

Dinda menggeleng. Mulutnya merengut lucu. “Nggak mau.”

“Gue ngantuk. Lo sendirian ya?”

“Jangan tidur dulu, Mas. Sini aja.”

“Mau ngapain lagi di sini?”

“Nggak tau. Tapi di sini aja, ya?” rengek Dinda. Dalam keadaan sadar, dia tak akan berani bersikap manja seperti ini. Tetapi alkohol mampu membuat keberaniannya tumbuh berkali-kali lipat.

“Jarang-jarang Mas Bima ada di rumah. Saya bosen sendirian terus dari pagi sampe malam. Kalo di rumah Bu Tika rame, banyak orang. Beda sama di sini.”

Bibir Dinda yang cemberut membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Bima takut dia tidak bisa menahan diri jika terus-terusan berdua dengan Dinda yang sedang mabuk.

“Din... lo mendingan...”

Cup!

Bima mematung setelah Dinda mengecup bibirnya. Hanya sebuah kecupan singkat, tetapi efeknya begitu besar pada diri Bima.

“Mas Bima bawel deh. Dibilang saya nggak mau tidur juga.”

Awalnya Bima berniat menahan sebesar apapun godaan untuk mencium bibir Dinda yang cemberut. Dia tidak pernah mengambil kesempatan dari wanita yang sedang mabuk. Tetapi setelah merasakan kecupan itu, benteng pertahanan Bima runtuh. Dia menarik Dinda untuk duduk di pangkuannya dan mencium gadis itu dalam-dalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status