Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.
“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”
“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”
Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.
“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”
“Iya, Mas.”
Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.
“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”
Bima menepuk dahi. “Sori, gue lupa. Gue di rumah bokap dari siang. Gara-gara si kembar gue jadi lupa ngabarin kalian kalo gue belum pulang. Yuk, masuk.”
Ketiga pria itu masuk mengikuti Bima. Dinda yang sejak tadi hanya diam juga ikut masuk, membuat pria yang ada di barisan paling belakang menoleh heran padanya.
“Bim, dia siapa?”
Semua berhenti dan menatap Dinda. Dua orang yang lain tampaknya baru menyadari keberadaan gadis itu. Salah seorang di antaranya bersiul pelan.
“Cewek lo baru lagi, Bim?” katanya.
Tatapan mereka menilai Dinda dari atas hingga ke bawah. Meski Dinda tidak terlihat seperti gadis-gadis di lingkaran pertemanan mereka, tetapi harus diakui kalau wajah dan penampilannya bisa diterima.
“Dia bukan pacar gue,” jawab Bima. Dengan malas ia memperkenalkan mereka. “Ini Dinda, ART nyokap gue. Nyokap nyuruh dia buat bantu-bantu di sini. Din, ini Daniel, Ryan, dan Kevin, temen-temen gue. Besok-besok kalo mereka dateng ke sini nggak usah dikasih masuk.”
“Sialan lo!” maki Ryan.
Dinda tersenyum dan mengangguk sopan kepada mereka bertiga.
Kevin kembali bersiul. “Kalian tinggal berdua di sini? Pantes sekarang lo betah di apartemen, taunya ada yang nemenin.”
Bima menghela napas. “Lo pada nggak usah mikir macem-macem.” Dia menggiring teman-temannya ke ruang tamu. “Din, siapin gelas sama camilan, ya.”
“Iya, Mas,” Dinda berlalu ke dapur.
“Dinda, lo mau pindah kerja di rumah gue, nggak?” teriak Daniel. “Gue juga mau dipanggil ‘mas’ juga kaya Bima,” imbuhnya yang membuatnya mendapat pukulan dari Bima.
“Dia itu punya nyokap gue,” kata Bima yang dibalas dengan cibiran oleh Daniel.
Beberapa menit berikutnya mereka telah larut dalam obrolan seru. Keempatnya adalah teman sejak SMA, tetapi mereka berpisah saat kuliah. Bima dan Daniel ada di New York, sedangkan Kevin dan Ryan kuliah di Inggris. Meski hanya bertemu beberapa kali dalam setahun, mereka tetap dekat. Kini mereka telah menyelesaikan kuliah dan kembali ke Indonesia. Kali ini adalah pertemuan pertama sejak kepulangan Bima.
“Sebagai perayaan kembalinya kita ke Tanah Air tercinta, gue bawa ini,” kata Kevin sambil memamerkan sebotol wine yang masih tersegel. “Spesial dari tahun lima puluhan, gue ambil dari koleksi bokap,” lanjutnya yang disambut sorakan tiga orang lainnya.
“Din, lo gabung sekalian sama kita. Ambil gelas satu lagi,” kata Daniel saat Dinda membawakan empat gelas kosong dan buah potong untuk mereka. Undangan Daniel langsung disetujui Kevin dan Ryan, yang menganggap kehadiran Dinda bisa menjadi penyegar pandangan.
Dinda menatap Bima meminta saran. Dia bingung. Tak enak untuk menolak, tetapi dia akan canggung jika mengiyakan. Hanya dari penampilan Dinda bisa membaca kalau mereka berasal dari kalangan atas. Jelas dia tak akan mengerti apa yang mereka bicarakan.
“Dia banyak kerjaan,” kata Bima akhirnya.
“Oh, come on! Let her live a little, Bim. Sekali-sekali minum nggak apa-apa. Lo nggak kasian sama dia kalo terus-terusan disuruh kerja?”
Bima mendesah menyerah, membiarkan Dinda bergabung dengan teman-temannya. Sebenarnya Bima ingin menolak, tetapi dia tahu teman-temannya tidak akan membiarkan gadis secantik Dinda lolos begitu saja.
Dinda meringis saat merasakan wine untuk pertama kalinya. Mungkin karena jenis dan kandungan alkoholnya tinggi, Dinda merasakan pahit setelah menelannya. Dengan rasanya, dia heran mengapa begitu banyak orang yang menyukai minuman itu. Masih mending minum jaesu kemana-mana, batinnya.
“Baru pernah minum wine?” Bima yang duduk di samping Dinda bertanya pelan. Mereka duduk di lantai mengelilingi meja. “Nggak suka?”
“Iya, Mas. Rasanya nggak enak. Kalo buat angetin badan mending minum jaesu aja.”
Ucapan Dinda membuat yang lain tertawa.
“Boleh kapan-kapan kita ngangetin badan bareng?” tanya Daniel.
“Kampret, lo!” sambar Bima yang jelas menangkap maksud tersembunyi temannya itu.
“Maksudnya ngangetin badan sambil minum jaesu bareng, Bim.”
“Nggak, nggak boleh. Lo kalo mau ngajak Dinda ke mana-mana harus minta ijin sama nyokap gue dulu.”
“Yelah, cuma ke angkringan depan aja pake minta ijin nyokap lo segala.”
Dinda hanya tertawa kecil dan sesekali menanggapi pertanyaan yang tertuju padanya. Teman-teman Bima cukup menyenangkan. Bima pun banyak tertawa bersama mereka. Sungguh berbeda dengan Bima yang Dinda temui pertama kali.
Malam semakin larut. Meski awalnya tak suka, Dinda tak memungkiri kalau pikiran dan tubuhnya terasa lebih ringan setelah menghabisan gelas pertamanya. Semua hal yang dikatakan Bima dan teman-temannya menjadi dua kali lebih lucu di telinga Dinda.
Saat jarum jam menunjuk ke angka satu, barulah Ryan beranjak untuk pulang. Kedua temannya mengikuti, meninggalkan Dinda dan Bima berdua di sana.
“Temen-temen Mas Bima lucu, ya,” kata Dinda. “Mas Bima juga lucu. Padahal waktu pertama kali ketemu kirain Mas Bima orangnya galak.”
Bima yang pikirannya masih jernih karena punya toleransi tinggi terhadap alkohol menautkan kedua alisnya. Sejak tadi Dinda mengoceh tidak jelas, hingga Bima bisa menarik kesimpulan kalau gadis itu benar-benar mabuk.
“Lo mending tidur, Din,” sarannya.
Dinda menggeleng. Mulutnya merengut lucu. “Nggak mau.”
“Gue ngantuk. Lo sendirian ya?”
“Jangan tidur dulu, Mas. Sini aja.”
“Mau ngapain lagi di sini?”
“Nggak tau. Tapi di sini aja, ya?” rengek Dinda. Dalam keadaan sadar, dia tak akan berani bersikap manja seperti ini. Tetapi alkohol mampu membuat keberaniannya tumbuh berkali-kali lipat.
“Jarang-jarang Mas Bima ada di rumah. Saya bosen sendirian terus dari pagi sampe malam. Kalo di rumah Bu Tika rame, banyak orang. Beda sama di sini.”
Bibir Dinda yang cemberut membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Bima takut dia tidak bisa menahan diri jika terus-terusan berdua dengan Dinda yang sedang mabuk.
“Din... lo mendingan...”
Cup!
Bima mematung setelah Dinda mengecup bibirnya. Hanya sebuah kecupan singkat, tetapi efeknya begitu besar pada diri Bima.
“Mas Bima bawel deh. Dibilang saya nggak mau tidur juga.”
Awalnya Bima berniat menahan sebesar apapun godaan untuk mencium bibir Dinda yang cemberut. Dia tidak pernah mengambil kesempatan dari wanita yang sedang mabuk. Tetapi setelah merasakan kecupan itu, benteng pertahanan Bima runtuh. Dia menarik Dinda untuk duduk di pangkuannya dan mencium gadis itu dalam-dalam.
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek