Dinda tersenyum saat merasakan tangan Bima yang melingkar di pinggangnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Bahkan jika bukan karena suara alarm dari ponsel Bima yang berdering sejak tadi, Dinda masih akan terus memejamkan mata. Pelan-pelan dia memindahkan lengan berotot Bima dari pinggangnya dan beranjak bangkit. Tetapi saat dia baru duduk Bima menariknya hingga Dinda kembali berbaring di pelukan pria itu.“Morning, Din,” kata Bima, yang kemudian mengecup bibir Dinda.“Pagi, Mas Bim,” balas Dinda dengan dihiasi senyum malu-malunya. “Mau sarapan apa pagi ini?”“Sarapan kamu.”Dengan cepat Dinda meriah selimut dan bersembunyi di baliknya. Dia masih belum bisa mencegah agar pipinya tidak lagi memerah saat berhadapan dengan Bima. Rasanya Dinda ingin terus bersembunyi ketika dia menyadari kalau semalam dia tidak memakai bajunya kembali.Melihat tingkah Dinda yang malu-malu membuat Bima terbahak. Ditariknya selimut dengan paksa agak dia bisa melihat wajah merah Dinda.“Nggak usah malu, Di
“Putar kiri sedikit lagi... oke.”Dengan bangga Dinda mematikan mesin mobil setelah sukses memarkirkannya di carport kediaman keluarga Bima. Setelah menjemputnya di kampus, Bima meminta Dinda untuk menyetir sepanjang perjalanan ke rumah. Meski membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari biasanya, Dinda berhasil sampai tanpa membuat mobil Bima lecet.Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang keluarga, tubuh Dinda dihantam dari kedua sisi. Dalam sekejap si kembar sudah memeluk pinggangnya dan berceloteh mengungkapkan betapa mereka merindukan Dinda.“Kak Dinda, aku sekarang punya hamster,” kata Tasya sambil menunjuk sebuah kandang kecil di sudut ruangan. “Nanti kita...”“Aku sekarang udah bisa berenang, Kak,” potong Rasya penuh semangat. “Yuk kita berenang...”“Tasya... Rasya... biar Kak Dinda duduk dulu,” Sarah berusaha menenangkan anak-anaknya.“Tapi kan aku kangen, Mi...”“Aku mau kasih lihat Kak Dinda...”Celotehan anak-anak itu terdengar semakin jauh ka
Dinda mengetuk pintu kamar Bima. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak mendapat jawaban, Dinda mencoba membukanya. Lagipula dia sudah sering menghabiskan waktu di kamar itu. Dinda rasa Bima tidak akan keberatan jika ia masuk tanpa menunggu jawaban pria itu.“Mas Bima,” panggil Dinda.Beberapa saat kemudian Bima keluar dari kamar mandi, agak terkejut ketika melihat Dinda ada di kamarnya.“Tadi saya ngetuk pintu tapi Mas Bima nggak jawab,” kata Dinda.Bima hanya mengangguk kecil. “Ada apa?”“Saya bawa ini,” Dinda menyodorkan secangkir teh chamomile kepada Bima. “Sepertinya Mas Bima lagi banyak pikiran. Kata Bu Tika ini bisa bikin tenang.”Selama beberapa detik Bima hanya menatap Dinda, mencoba membaca isi hati dan pikiran gadis itu. Apakah Dinda melakukan semua ini karena tugasnya atau karena memang peduli kepada Bima? Apakah Dinda juga seperhatian ini pada anggota keluarganya yang lain? Jika mereka tidak berhubungan akankah Dinda tetap sebaik ini?Akhirnya setelah beberapa saat Bima
Bima keluar lebih dahulu dan bergabung bersama teman-temannya. Dia duduk di samping Daniel, yang menyambutnya dengan senyum misterius.“Habis ngapain lo?” bisik Daniel tetapi Bima pura-pura tidak mengerti dan hanya mengangkat bahunya. “Habis ngapain sampe rambut lo berantakan gitu?” ulang Daniel.Tangan Bima refleks naik dan menyisir rambutnya. Dia tersenyum simpul saat mengingat jari-jari Dinda yang membuatnya berantakan. “Lo nggak perlu tahu.”Sebenarnya dia punya dugaan, tetapi akan lebih menyenangkan baginya saat bisa meledek Bima. “Gue juga pengen kayak lo, Bim.”Plak!Bima menghadiahi Daniel dengan pukulan di kepalanya. “Sialan lo!”“Kenapa, sih, kalian?” Sabrina mengomel, kesal karena usahanya mendekati Bima sejak tadi belum juga berhasil. Dia mulai bosan mendengarkan pembicaraan keempat pria itu. “Main Truth or Dare, yuk.”“Yuk!” sambut Kevin. “Ajak Dinda juga biar lebih seru.”Akhirnya setelah menyingkirkan meja, mereka berenam duduk melingkar di lantai. Dinda diapit oleh Dan
Dinda menjadi lebih diam setelah pernyataan Bima semalam. Meskipun Dinda setuju untuk merahasiakan hubungan mereka, dia menyimpan rasa kecewa di hatinya. Mungkin memang Bima malu untuk mengaukinya sebagai pacar di depan orang-orang. Mereka sangat berbeda. Jika jari-jari di tangannya masih kurang jika dipakai untuk menghitung kelebihan Bima, Dinda tidak bisa memikirkan satu hal pun yang bisa dia banggakan.“Huhh,” Dinda mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Niatnya untuk menyelesaikan tugas belum juga terlaksana karena yang ia lakukan sejak tadi hanya melamun.“Kenapa, Din?” Bima muncul dari kamarnya. Dia mengenakan kaos hitam dan celana olahraga dengan warna senada. Rambutnya masih basah karena dia baru saja mandi.“Tugasnya susah, Mas,” jawab Dinda. Hidungnya dimanjakan oleh aroma segar yang menguar dari tubuh Bima saat pria itu duduk di lantai di sampingnya. Dinda memang lebih suka duduk di lantai ruang tengah dan mengerjakan tugasnya di sana.Kening Bima sedikit mengerut saat memb
Tangis Dinda pecah. Tubuhnya bergetar hebat saat menyadari begitu dekat dia dengan angan-angan ayahnya. Seharusnya sang ayah sudah berada di sini. Seharusnya dia sudah dijemput dan tinggal bersama ayahnya lagi. Seharusnya mereka sudah punya rumah baru. Seharusnya sang ayah bisa menghadiri wisudanya beberapa bulan lagi. Begitu banyak mimpi Dinda yang direbut begitu saja. Meski tidak saling berhubungan, keyakinan sang ayah masih hidup telah membuatnya bertahan selama ini. Tetapi kini Dinda tidak lagi punya pegangan dalam hidupnya. Ayahnya telah pergi. Bahkan dia tidak bisa melihat dan menguburkan jasad ayahnya. Pintu kamarnya terbuka dan Bima berdiri di sana. Setelah menutup pintu, Bima duduk di samping Dinda. Dirangkulnya gadis itu dan direngkuhnya ke dalam pelukan. Tangannya membelai punggung Dinda menenangkannya. Bima tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu Dinda perlu mengeluarkan semua duka citanya.Bima membiarkan air mata Dinda membasahi pakaiannya. Entah berapa lama Bima memeluk Di
Chelsea terlihat jauh lebih cantik daripada yang ada di televisi atau majalah. Hanya dengan make up tipis dan gaun sederhana saja sudah bisa membuatnya terlihat begitu menonjol. Sebuah senyum ramah melekat di bibirnya saat menyapa Dinda.“Hai, Bim! Masih inget gue, kan? Kita pernah satu sekolah,” kata Chelsea.Berbalik dengan Kartika dan Chelsea, wajah Bima justru menjadi tegang. Dia hanya mengangguk kecil menanggapi Chelsea.“Bima! Yang sopan, dong!” tegur Kartika. Dengan senyumnya dia lalu menatap Chelsea. “Maafin Bima, ya, Sayang. Dia memang nggak ramah.”“Nggak apa-apa, Tante. Mungkin Bima lagi cape,” jawab Chelsea. “Ini anaknya Kak Sarah, kan? Lucu banget, sih kalian.”Rasya dan Tasya merengut saat Chelsea mencubit pipi mereka. Bagi keduanya, Chelsea adalah orang asing. Mereka tidak suka jika ada orang asing yang mendekati atau menyentuh mereka.“Kenapa dia bisa ada di sini, Ma?” tanya Bima tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya.Kartika menyabarkan diri menanggapi sikap putr
Dinda harus menahan tatapan sinis Chelsea sepanjang makan malam. Berkali-kali dia sengaja menyuruh Dinda melakukan hal-hal kecil yang membuat kesal seperti menuangkan air putih, mengambilkan garam karena sopnya terasa hambar, hingga mengambilkan alat makan baru setelah sebelumnya ia dengan sengaja menjatuhkan sendoknya ke lantai.Dengan mengabaikan rasa kesalnya, Dinda menuruti permintaan-permintaan itu. Mungkin ini adalah balasan Chelsea padanya karena telah menolak tawarannya dan mengguruinya sore tadi. Tetapi meski begitu, Dinda merasa puas karena dirinya kini lebih berani dan menentang sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya.“Pakai madu dua sendok teh. Ingat, dua sendok aja jangan kebanyakan!” Lagi-lagi Chelsea menyuruh Dinda saat dia dan Kartika duduk minum teh setelah makan malam.“Baik, Mbak.”“Kamu suka teh madu juga?” tanya Kartika. “Biasanya anak muda sekarang lebih suka kopi-kopi kekinian, lho.”Chelsea menggeleng. “Aku suka teh Tan. Terutama chamomile sama lemon hangat.