Share

Bab 5

“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.

“Iya, Bik.”

Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.

“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.

“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.

Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.

“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.

“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan makan dan semua kebutuhan Bima. “

“Ma!” protes Bima seketika. “Aku itu pindah karena ingin sendiri, kenapa Mama malah nyuruh orang buat ...”

“Diam kamu!” potong Kartika. “Pokoknya kalau kamu mau pindah ke apartemen Dinda harus ikut. Dia yang akan menyiapkan kebutuhan kamu. Mama nggak mau kamu tinggal sendiri dan bebas masukin cewek-cewek sembarangan. Mama juga nggak mau kamu cuma makan seadanya. Pokoknya itu syarat dari Mama. Kalau kamu nggak terima, kamu nggak usah pindah. Mama akan acak-acak perusahaan kamu.”

Bima terdiam menerima ancaman mamanya. Dia tahu meskipun Iskandar yang menjalankan semua bisnis keluarganya, Kartika masih memegang peran penting di belakang layar. Perusahaannya yang baru dia rintis bisa bangkrut dan hancur jika Kartika menginginkannya. Terpaksa dia mengiyakan tawaran itu.

Dan di sinilah mereka berada. Setelah perjalanan yang hening, Dinda dan Bima sampai di apartemen mewah di pusat kota. Unit Bima ada di lantai dua puluh, dengan desain minimalis yang maskulin yang sesuai dengan kepribadiannya.

“Di dekat dapur ada kamar, biasanya gue pakai buat naruh barang-barang jadi belum ada kasurnya. Besok baru gue beliin. Malam ini lo tidur di sofa dulu.”

Sebelum Dinda mengiyakan Bima sudah berlalu masuk ke kamarnya. Koper dan tas yang mereka bawa dari rumah tergeletak begitu saja di dekat pintu. Bingung dengan pekerjaannya, Dinda memberanikan diri mengetuk pintu kamar Bima.

“Ada apa?” tanya Bima begitu membuka pintu. Dia sudah melepas bajunya karena berniat untuk mandi.

“Ini saya beresin barang-barangnya Mas Bima dulu boleh?” tanya Dinda takut.

“Lo ini tolol atau gimana, sih? Gitu aja harus nanya ke gue.” Bima masih kesal karena tidak berhasil menolak perintah ibunya.

Air mata Dinda mulai menggenang, tapi dia menahannya sekuat tenaga. “Maaf, tapi katanya Mas Bima nggak suka kalau barang-barang Mas Bima disentuh-sentuh sembarangan, jadi saya tanya dulu.”

Untuk sesaat Bima hanya menatap Dinda, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Terlebih setelah melihat air mata Dinda yang siap jatuh dia hanya bisa menghela napas. “Lo bisa mulai beres-beres. Taruh baju-baju gue di ruang itu,” katanya sambil menunjuk walk-in closet yang ada di kamarnya. “Tugas lo yang lain cuma bersih-bersih dan masak.”

“Baik, Mas.”

***

“Mas Bima, maaf. Di kulkas nggak ada apa-apa yang bisa dimasak. Saya mau ijin keluar buat beli bahan-bahan,” kata Dinda saat selesai membersihkan rumah. Hari sudah menjelang malam dan mereka belum makan apa-apa sejak sampai di sana siang tadi.

“Lo mau beli di mana? Lo tau daerah sini?”

“Nanti biar saya nanya sama satpam di lobi, Mas.”

Entah sudah ke berapa kalinya Bima menghela napas saat menghadapi Dinda. Sikap Dinda yang pasrah dan tak berdaya membuat Bima iba. Dia meraih kunci mobilnya di meja.

“Biar gue anterin. Gawat kalo lo sampe nyasar trus ilang.”

Diam-diam Dinda tersenyum sambil berjalan mengikuti Bima di depannya. Mulut dan sikap Bima memang kasar, tapi jauh di dalam hatinya, dia adalah pria yang baik. Sejak dulu Kartika sering menceritakan bagaimana Bima kecil membawa kucing-kucing liar ke rumah untuk diberi makan. Hanya saja Dinda tak pernah berpikir Bima mau mengantarnya belanja. Dia bahkan setengah tak percaya saat Bima ikut berkeliling ke supermarket bersamanya untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya.

“Mas Bima lebih suka daging ayam atau sapi?”

“Suka dua-duanya.”

Dinda manggut-manggut lalu mengambil beberapa buah fillet dada ayam dan daging sapi.

“Mas Bima suka ikan nggak?” tanya Dinda lagi.

“Suka.”

Lagi, setelah mendengar jawaban Bima, Dinda mengambil fillet salmon dan tuna yang ada di rak.

“Kalau udang? Cumi-cumi?”

“Suka.”

“Mas Bima lebih suka masakan barat atau masakan Indonesia?”

“Semuanya suka, yang penting hangat.”

“Kalau roti?”

“Biasa aja.”

“Pasta?”

“Lumayan.”

“Kalau dessert sukanya apa, Mas? Kalau di rumah Bu Tika suka minta dibikinin puding atau cake. Mas Bima mau juga?”

“Kok gue berasa lagi diinterview sih?” ucap Bima kesal.

“Maaf, Mas. Kalau selera orang rumah kan saya udah paham. Takutnya nanti saya salah waktu masakin buat Mas Bima,” jawab Dinda. Setelah terus bersama-sama dengan Bima rasa takutnya sedikit demi sedikit menguap. Sikap Bima yang cukup tenang selama beberapa jam terakhir membuat keberanian Dinda bertambah.

“Pokoknya gue suka makan yang hangat, yang baru aja dimasak. Lo boleh masak apa aja yang penting enak.”

Untuk pertama kalinya Dinda tersenyum di depan Bima. Dinda merasa begitu gembira diberi kebebasan untuk memilih menu masakan sesuai keinginannya. Dia bisa bebas menentukan menu untuk Bima, tidak seperti saat di rumah Kartika. Dulu dia hanya membantu memasak menu-menu yang sudah ditentukan dan diminta oleh Kartika.

“Siap, Mas!” Dinda memberi hormat ala prajurit dengan senyum di bibirnya.

Bima ikut tersenyum, namun tipis dan hanya sesaat karena dia langsung menyadari apa yang dia lakukan. Tidak seharusnya dia tersenyum bersama Dinda. Bima baru saja menyadari betapa aneh sikapnya seharian ini. Sejak kapan dia mau mengantar dan menemani pembantunya untuk berbelanja?

***

“Lo sekalian makan juga, Din.”

Lagi-lagi Dinda dibuat terkejut dengan ajakan Bima. Setelah mengatur meja makan, Dinda beralih untuk membersihkan dapur. Ajakan Bima membuatnya bimbang karena sebelum ini dia tak pernah ikut makan di meja. Dinda selalu makan di dapur bersama Bik Sinah dan Bik Yati, atau dengan ART keluarga Kartika yang lain.

“Saya nyuci piring dulu, Mas. Mas Bima makan dulu aja,” tolak Dinda.

“Makan sekarang.”

Kali ini Dinda tak berani membantah. Dia mengambilkan makanan ke piring Bima dan menuang air putih sebelum duduk di depan pria itu.

“Nggak apa-apa Mas, kalo saya makan juga?”

“Kalo lo sibuk mondar-mandir di dapur malah bikin gue nggak konsen sarapan.”

“Iya, Mas.”

Dengan canggung Dinda mengambil makanan untuk dirinya. Selama beberapa menit berikutnya hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

“Nanti siang ada yang nganterin kasur ke sini, jadi lo nggak perlu tidur di sofa lagi.”

“Iya, Mas. Makasih banyak.”

Benar saja, beberapa jam setelah Bima berangkat kerja, ada beberapa orang yang datang ke apartemen. Mereka membawa tempat tidur dan lemari untuk Dinda. Setelah menata kamar dan membersihkan rumah, pekerjaan Dinda telah selesai padahal hari masih siang. Dinda bingung. Di rumah Kartika, dia selalu disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Atau menemani si kembar belajar dan bermain. Berbeda dengan apartemen Bima yang meskipun tak kalah mewah, namun ukurannya lebih kecil. Dinda tak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya. Selain itu, Bima hanya tinggal seorang diri. Tak banyak kebutuhan. Jadilah Dinda hanya diam di kamar, sesekali membaca buku kuliahnya kalau tak malas.

Saat hari menjelang malam, Dinda beranjak ke dapur. Ia menyiapkan makan malam untuk Bima kemudian menunggu pria itu pulang. Dia lupa menanyakan pukul berapa biasanya Bima pulang dan makan malam. Akhirnya Dinda hanya memasak dan menunggu Bima seperti asisten rumah tangga yang baik.

Hampir pukul sembilan malam tetapi Bima masih belum pulang juga. Perut Dinda sudah keroncongan sejak tadi, namun dia tak berani makan apapun sebelum Bima pulang. Sambil menunggu Dinda mencoba mengerjakan tugas kuliahnya lagi. Kali ini dia memberanikan diri menggunakan ruang tengah untuk belajar. Di kamarnya tidak ada meja dan kursi, sehingga Dinda kesulitan untuk menulis tugas-tugasnya. Di ruang tengah ada satu set sofa empuk lengkap dengan mejanya. Dinda memilih duduk di lantai agar bisa dengan mudah untuk menggunakan meja untuk menulis.

“Hei! Bangun!”

Dinda mengerjap. Matanya yang masih mengantuk perlahan terbuka. Butuh beberapa detik sebelum Dinda menyadari di mana dia berada.

“Ngapain lo tidur di sini? Kasur sama lemarinya belum datang?”

Bima yang tampaknya baru saja pulang menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia lalu membuka jas dan melonggarkan dasi yang mengikat lehernya.

“Maaf, Mas. Barang-barang itu sudah datang tadi siang. Ini tadi saya ketiduran waktu bikin tugas.” Dinda membereskan buku-bukunya. Sekilas dia melihat waktu di jam tangan Bima. Ternyata sudah pukul sebelas malam lewat beberapa menit.

“Tugas apa?” Niatnya memejamkan mata Bima urungkan karena penasaran. Dia lalu mengambil salah satu buku yang masih ada di meja. “Lo kuliah?”

“Iya, Mas. Tapi di universitas terbuka, jadi kalau berangkat biasanya hari Sabtu atau Minggu.”

“Ambil Ekonomi? Semester berapa?”

“Iya, Mas. Udah mau skripsi, Mas.”

“Buku gue ada banyak tuh, di ruang kerja. Kalo butuh referensi, lo bisa pakai.”

Mulut Bima bekerja lebih cepat dari pikirannya. Ruang kerjanya adalah tempat pribadi yang hampir tidak boleh dimasuki orang lain. Kemarin Bima sudah berpesan pada Dinda untuk tidak masuk ke ruangan itu. Dia suka menyendiri dan membaca di sana, menenangkan pikiran sambil mengatur strategi-strategi agar perusahaannya semakin besar. Entah apa yang mendorong Bima untuk begitu bermurah hati pada Dinda. Mungkin melihat Dinda yang tidak seperti gadis seusianya yang lain membuat hati Bima tergerak dan merasa kasihan.

Dinda memakai kaos dan celana olahraga bekas milik Bima, bukan minidress dan sepatu berhak tinggi. Wajahnya merona merah ketika dia malu tanpa perlu memakai riasan warna-warni di pipinya. Yang paling membuat Bima heran, Dinda tidak pernah sekali pun menggodanya bahkan ketika mereka hanya berdua di apartemen seperti sekarang. Tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah ditemuinya sebelum ini. Mereka bahkan menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal demi bisa berkencan dengannya.

“Saya boleh pinjam buku-bukunya Mas Bima?” tanya Dinda tak percaya. Di otaknya sudah terbayang buku-buka mahal yang bisa dia baca, yang sebelumnya hanya bisa ia lihat di rak perpustakaan di kampus. Yang bahkan untuk meminjamnya dia harus mengisi daftar tunggu terlebih dahulu.

“Boleh. Yang penting jangan sampai rusak.”

“Siap, Mas!” Lagi-lagi Dinda meluapkan kebahagiaannya dengan memberi hormat ala prajurit. Dia lalu melanjutkan membereskan buku-bukunya dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya. “Oh iya, Mas Bima mau makan malam sekarang? Biar saya angetin dulu.”

“Makan?”

Dinda menunjuk ke meja makan. “Tadi saya sudah siapin makan, tapi kayaknya sekarang sudah dingin.”

“Angetin aja. Gue mandi dulu, baru makan.”

Lagi-lagi Bima bertindak seperti bukan dirinya. Dia sudah makan malam dengan klien tadi. Tapi bayangan Dinda menunggu dan menyiapkan makan malam untuknya membuat Bima tidak tega menghapus senyum dari wajahnya. Dia tahu Dinda belum makan karena beberapa kali terdengar suara keroncongan dari perut gadis itu.

“Din,” Bima tiba-tiba berbalik saat hampir sampai di depan kamarnya. “Besok-besok kalau sampai jam delapan gue belum pulang, lo makan duluan aja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status