Share

Bab 6

“Iya, Bu?”

Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.

“Kamu sudah masak?”

“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”

“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”

Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.

“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.

“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”

“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”

Kartika menghela napas sambil melihat jam di pergelangan tangannya. “Ini baru jam tujuh,” gumamnya.

“Sambil nunggu Mas Bima, Ibu mau dibikinin lemon hangat?” tawar Dinda.

“Boleh.” Kartika tersenyum menatap punggung Dinda. Gadis itu selalu bisa mengambil hatinya dengan hal-hal kecil seperti ini. Tetapi mengapa Tuhan justru memberikan cobaan pada anak yang begitu baik seperti Dinda? Hatinya ikut sakit menyaksikan kehidupan Dinda yang begitu menyedihkan. Ibunya pergi saat dia masih kecil, meninggalkan Dinda dan ayahnya karena pria lain. Sedangkan ayahnya, karena desakan ekonomi, terpaksa menitipkannya ke orang lain. Tidak ada sanak saudara yang Dinda kenal selain ayah dan ibunya. Untunglah ayahnya menitipkannya pada keluarga Kartika yang dengan senang hati menampungnya. Selain wajah yang cantik, otak Dinda terbilang cerdas. Sikapnya pun selalu penuh sopan santun. Jika bukan karena baju-baju bekas yang selalu dipakainya, orang-orang tentu akan berpikir kalau Dinda dari keluarga berada. Berkali-kali Kartika berniat mengadopsi Dinda secara resmi, tetapi selalu ditolak. Dinda yakin suatu hari ayahnya akan datang menjemputnya seperti apa yang telah dijanjikan padanya.

“Duduk sini, Din. Temani Ibu nunggu Bima.”

Dinda menurut. Setelah menyajikan lemon hangat dan buah potong untuk Kartika, Dinda duduk di samping wanita itu.

“Dari kemarin kamu masak apa aja?” Kartika memulai interogasinya.

“Bistik daging, udang asam manis, ayam panggang, nasi uduk, tumis sayuran, salad, pasta, omelet, sama apa lagi ya... saya lupa Bu. Saya ambil catatannya dulu ya, Bu.”

“Nggak usah,” cegah Kartika. “Ibu cuma penasaran aja. Itu semua dimakan, kan?”

“Dimakan dong, Bu.”

“Bima juga makan?”

“Iya, Bu. Mas Bima selalu sarapan. Kalau makan siang saya kurang tahu, soalnya Mas Bima belum pernah ada di rumah siang-siang. Makan malam juga kadang-kadang saja,” Dinda menjawab apa adanya.

Kartika mengangguk-angguk paham. “Kalau teman? Bima pernah bawa teman-teman ke rumah?”

“Belum pernah, Bu.”

“Teman perempuan?”

“Belum pernah juga, Bu.”

Kartika mengangguk puas. Kekhawatirannya selama beberapa hari terakhir ini mulai memudar. “Untunglah.”

“Kenapa, Bu?” Dinda jadi penasaran mengapa Kartika begitu senang mengetahui Bima tidak pernah menerima tamu.

“Bima itu sudah dewasa, sudah saatnya menikah. Tapi susah banget disuruh ketemuan dulu sama calonnya,” gerutu Kartika. “Padahal dulu mereka satu sekolah, tapi Bima bilang nggak kenal sama Chelsea.”

Jadi calonnya Mas Bima namanya Chelsea? batin Dinda. Entah mengapa hati Dinda menyimpan rasa kecewa ketika mendengarnya.

“Mau lihat fotonya?” Kartika yang merasa senang mendapat teman bicara merogoh tas mewahnya, mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah foto.

Mata Dinda membulat. Di layar ponsel Kartika ada foto seorang model yang juga bintang iklan yang sedang naik daun. Dinda tak percaya jika calon yang diinginkan Kartika sebagai menantu adalah seorang artis cantik yang sering muncul di televisi.

“Chelsea yang ini calonnya Mas Bima?” tanya Dinda memastikan.

Kartika mengangguk bangga. “Papanya Chelsea teman sekolah saya. Kami sepakat untuk menjodohkan mereka berdua. Mereka cocok, kan, Din?”

Tiba-tiba saja Dinda berharap ayahnya pulang dengan membawa sekarung berlian. Agar dia bisa pindah ke rumah mewah seperti milik keluarga Kartika. Agar dia bisa membeli baju-baju bermerk di luar negeri seperti Sarah. Agar dia bisa bersekolah di tempat yang bergengsi dan bertemu dengan orang-orang terkenal. Agar dia tidak perlu menghemat dengan memakai pakaian bekas...

“Cocok, kan, Din?” ulang Kartika. Dia masih menatap foto Chelsea dengan senyuman.

“Cocok, Bu.”

Selama beberapa waktu berikutnya, Kartika sibuk bercerita tentang kegiatan Chelsea dan iklan make up yang dibintanginya. Tak henti-hentinya wanita itu memuji calon istri Bima. Tetapi Bima belum juga pulang hingga Kartika kehabisan pujian untuk Chelsea.

“Ya sudah. Kalau ada apa-apa, kamu lapor ke saya, ya.”

Kartika meraih tas tangannya dan beranjak.

“Loh, Ibu mau ke mana? Katanya mau nungguin Mas Bima.” Dinda mengikuti Kartika yang kini berjalan cepat ke pintu.

“Mau pulang. Kamu jagain Bima, ya. Jangan sampai dia bawa perempuan ke sini.”

Dinda hanya mengangguk mengiyakan perintah Kartika sebelum wanita itu keluar. Kenapa orang-orang kaya ini seperti punya hobi saling menjodohkan anak mereka? Setahu Dinda, Sarah dan Raka juga dijodohkan. Tetapi untungnya mereka cocok dan sekarang hidup bahagia bersama anak-anak.

Tetapi bukankah Bima dan Chelsea juga cocok? Fisik mereka sempurna. Karir pun terus menanjak. Kenapa Bima masih belum mau bertemu dengan Chelsea? Ah, tapi kenapa Dinda harus ikut pusing? Dia bukan siapa-siapa dan tidak punya urusan dalam hubungan mereka.

Dinda baru akan beranjak dari tempatnya berdiri saat pintu kembali terbuka.

“Ibu ada yang ketinggalan.... Loh, kok Mas Bima? Tadi Bu Tika ke sini, baru aja keluar. Mas Bima nggak ketemu?” cerocos Dinda.

Anehnya, Bima hanya menjawab dengan cengiran lebar penuh kepuasan.

“Mas Bima kenapa malah senyum-senyum begitu?”

“Gue tau Mama ke sini. Tadi liat mobinya di basement. Sengaja gue lama-lamain di basement biar nggak ketemu Mama,” jelas Bima yang merasa senang bisa menghindar dari mamanya.

“Kenapa...”

“Asal lo tau, Din. Mama itu terlalu ikut campur urusan gue. Gue bukan anak kecil lagi yang semuanya harus laporan ke Mama. Gue punya kehidupan sendiri. Gue juga ingin punya privasi. Gue nggak mau diatur-atur lagi. Jadi kalau Mama nyuruh lo ikut ke sini buat ngawasin gue dan lo setuju, gue bakal bikin elo dipecat.”

Deg.

Dinda begitu syok mendengar kata-kata dipecat. Bagaimana bisa Bima tahu apa yang mereka bicarakan tadi? Dia tidak boleh dipecat. Ke mana ayahnya akan mencarinya jika Dinda tidak berada di rumah keluarga Kartika? Bagaimana mereka akan bisa bertemu lagi?

“Jangan pecat saya, Mas,” pinta Dinda dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Saya nggak mau dipecat.”

“Jadi bener tadi Mama ke sini buat ngecek kehidupan pribadi gue? Sekarang lo juga jadi mata-mata Mama?” cecar Bima. Dia maju mendekati Dinda, membuat gadis itu secara otomatis mundur hingga punggungnya menabrak dinding.

“T..tapi saya nggak bilang apa-apa ke Bu Tika, Mas.”

Bima maju selangkah, hingga jarak mereka hanya beberapa senti. “Bener?”

“Iya, Mas,” isak Dinda.

Sebenarnya Bima hanya menakut-nakuti Dinda agar dia tak melaporkan gerak-geriknya pada Kartika. Tetapi reaksi Dinda baginya terlalu berlebihan. Bima bahkan tidak mengatakan itu semua dengan kasar dan dingin. Mengapa Dinda sampai menangis hanya karena ancaman pemecatan?

“Cengeng amat, gitu aja nangis,” cibirnya.

“Mas Bima, tolong jangan pecat saya,” ulang Dinda mengacuhkan ejekan Bima. Dia menyeka air mata dengan punggung tangannya. “Saya mohon, Mas.”

“Kalau nggak mau dipecat, jangan turutin perintah Mama.”

“Terus kalau Bu Tika nanya-nanya tentang Mas Bima saya jawab apa?”

Bima mengendikkan bahu. “Terserah. Yang jelas lo harus bisa tutup mulut kalau masih mau kerja di sini.”

Dinda mengangguk-angguk menyetujui syarat Bima. Lagipula selama ini Bima tidak membawa siapapun ke apartemen. Jadi untuk sementara ini dia tidak perlu berbohong pada Kartika.

“Udah, jangan nangis. Kan gue nggak mecat elo.” Bima menjadi tidak tega. Dinda terlihat begitu rapuh sekaligus menggoda. Ingin rasanya Bima memeluk tubuh itu dan menjelajahinya dengan tangannya. Tidak bisa. Sekuat tenaga Bima mendorong keinginan itu. Alih-alih memeluk, Bima meraih pipi Dinda dan menghapus sisa air mata yang ada di sana. Lalu, yang membuat Dinda mematung tak percaya, Bima mengecup singkat pipi kanannya sebelum berlalu ke kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status