“Iya, Bu?”
Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.
“Kamu sudah masak?”
“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”
“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”
Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.
“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.
“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”
“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”
Kartika menghela napas sambil melihat jam di pergelangan tangannya. “Ini baru jam tujuh,” gumamnya.
“Sambil nunggu Mas Bima, Ibu mau dibikinin lemon hangat?” tawar Dinda.
“Boleh.” Kartika tersenyum menatap punggung Dinda. Gadis itu selalu bisa mengambil hatinya dengan hal-hal kecil seperti ini. Tetapi mengapa Tuhan justru memberikan cobaan pada anak yang begitu baik seperti Dinda? Hatinya ikut sakit menyaksikan kehidupan Dinda yang begitu menyedihkan. Ibunya pergi saat dia masih kecil, meninggalkan Dinda dan ayahnya karena pria lain. Sedangkan ayahnya, karena desakan ekonomi, terpaksa menitipkannya ke orang lain. Tidak ada sanak saudara yang Dinda kenal selain ayah dan ibunya. Untunglah ayahnya menitipkannya pada keluarga Kartika yang dengan senang hati menampungnya. Selain wajah yang cantik, otak Dinda terbilang cerdas. Sikapnya pun selalu penuh sopan santun. Jika bukan karena baju-baju bekas yang selalu dipakainya, orang-orang tentu akan berpikir kalau Dinda dari keluarga berada. Berkali-kali Kartika berniat mengadopsi Dinda secara resmi, tetapi selalu ditolak. Dinda yakin suatu hari ayahnya akan datang menjemputnya seperti apa yang telah dijanjikan padanya.
“Duduk sini, Din. Temani Ibu nunggu Bima.”
Dinda menurut. Setelah menyajikan lemon hangat dan buah potong untuk Kartika, Dinda duduk di samping wanita itu.
“Dari kemarin kamu masak apa aja?” Kartika memulai interogasinya.
“Bistik daging, udang asam manis, ayam panggang, nasi uduk, tumis sayuran, salad, pasta, omelet, sama apa lagi ya... saya lupa Bu. Saya ambil catatannya dulu ya, Bu.”
“Nggak usah,” cegah Kartika. “Ibu cuma penasaran aja. Itu semua dimakan, kan?”
“Dimakan dong, Bu.”
“Bima juga makan?”
“Iya, Bu. Mas Bima selalu sarapan. Kalau makan siang saya kurang tahu, soalnya Mas Bima belum pernah ada di rumah siang-siang. Makan malam juga kadang-kadang saja,” Dinda menjawab apa adanya.
Kartika mengangguk-angguk paham. “Kalau teman? Bima pernah bawa teman-teman ke rumah?”
“Belum pernah, Bu.”
“Teman perempuan?”
“Belum pernah juga, Bu.”
Kartika mengangguk puas. Kekhawatirannya selama beberapa hari terakhir ini mulai memudar. “Untunglah.”
“Kenapa, Bu?” Dinda jadi penasaran mengapa Kartika begitu senang mengetahui Bima tidak pernah menerima tamu.
“Bima itu sudah dewasa, sudah saatnya menikah. Tapi susah banget disuruh ketemuan dulu sama calonnya,” gerutu Kartika. “Padahal dulu mereka satu sekolah, tapi Bima bilang nggak kenal sama Chelsea.”
Jadi calonnya Mas Bima namanya Chelsea? batin Dinda. Entah mengapa hati Dinda menyimpan rasa kecewa ketika mendengarnya.
“Mau lihat fotonya?” Kartika yang merasa senang mendapat teman bicara merogoh tas mewahnya, mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah foto.
Mata Dinda membulat. Di layar ponsel Kartika ada foto seorang model yang juga bintang iklan yang sedang naik daun. Dinda tak percaya jika calon yang diinginkan Kartika sebagai menantu adalah seorang artis cantik yang sering muncul di televisi.
“Chelsea yang ini calonnya Mas Bima?” tanya Dinda memastikan.
Kartika mengangguk bangga. “Papanya Chelsea teman sekolah saya. Kami sepakat untuk menjodohkan mereka berdua. Mereka cocok, kan, Din?”
Tiba-tiba saja Dinda berharap ayahnya pulang dengan membawa sekarung berlian. Agar dia bisa pindah ke rumah mewah seperti milik keluarga Kartika. Agar dia bisa membeli baju-baju bermerk di luar negeri seperti Sarah. Agar dia bisa bersekolah di tempat yang bergengsi dan bertemu dengan orang-orang terkenal. Agar dia tidak perlu menghemat dengan memakai pakaian bekas...
“Cocok, kan, Din?” ulang Kartika. Dia masih menatap foto Chelsea dengan senyuman.
“Cocok, Bu.”
Selama beberapa waktu berikutnya, Kartika sibuk bercerita tentang kegiatan Chelsea dan iklan make up yang dibintanginya. Tak henti-hentinya wanita itu memuji calon istri Bima. Tetapi Bima belum juga pulang hingga Kartika kehabisan pujian untuk Chelsea.
“Ya sudah. Kalau ada apa-apa, kamu lapor ke saya, ya.”
Kartika meraih tas tangannya dan beranjak.
“Loh, Ibu mau ke mana? Katanya mau nungguin Mas Bima.” Dinda mengikuti Kartika yang kini berjalan cepat ke pintu.
“Mau pulang. Kamu jagain Bima, ya. Jangan sampai dia bawa perempuan ke sini.”
Dinda hanya mengangguk mengiyakan perintah Kartika sebelum wanita itu keluar. Kenapa orang-orang kaya ini seperti punya hobi saling menjodohkan anak mereka? Setahu Dinda, Sarah dan Raka juga dijodohkan. Tetapi untungnya mereka cocok dan sekarang hidup bahagia bersama anak-anak.
Tetapi bukankah Bima dan Chelsea juga cocok? Fisik mereka sempurna. Karir pun terus menanjak. Kenapa Bima masih belum mau bertemu dengan Chelsea? Ah, tapi kenapa Dinda harus ikut pusing? Dia bukan siapa-siapa dan tidak punya urusan dalam hubungan mereka.
Dinda baru akan beranjak dari tempatnya berdiri saat pintu kembali terbuka.
“Ibu ada yang ketinggalan.... Loh, kok Mas Bima? Tadi Bu Tika ke sini, baru aja keluar. Mas Bima nggak ketemu?” cerocos Dinda.
Anehnya, Bima hanya menjawab dengan cengiran lebar penuh kepuasan.
“Mas Bima kenapa malah senyum-senyum begitu?”
“Gue tau Mama ke sini. Tadi liat mobinya di basement. Sengaja gue lama-lamain di basement biar nggak ketemu Mama,” jelas Bima yang merasa senang bisa menghindar dari mamanya.
“Kenapa...”
“Asal lo tau, Din. Mama itu terlalu ikut campur urusan gue. Gue bukan anak kecil lagi yang semuanya harus laporan ke Mama. Gue punya kehidupan sendiri. Gue juga ingin punya privasi. Gue nggak mau diatur-atur lagi. Jadi kalau Mama nyuruh lo ikut ke sini buat ngawasin gue dan lo setuju, gue bakal bikin elo dipecat.”
Deg.
Dinda begitu syok mendengar kata-kata dipecat. Bagaimana bisa Bima tahu apa yang mereka bicarakan tadi? Dia tidak boleh dipecat. Ke mana ayahnya akan mencarinya jika Dinda tidak berada di rumah keluarga Kartika? Bagaimana mereka akan bisa bertemu lagi?
“Jangan pecat saya, Mas,” pinta Dinda dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Saya nggak mau dipecat.”
“Jadi bener tadi Mama ke sini buat ngecek kehidupan pribadi gue? Sekarang lo juga jadi mata-mata Mama?” cecar Bima. Dia maju mendekati Dinda, membuat gadis itu secara otomatis mundur hingga punggungnya menabrak dinding.
“T..tapi saya nggak bilang apa-apa ke Bu Tika, Mas.”
Bima maju selangkah, hingga jarak mereka hanya beberapa senti. “Bener?”
“Iya, Mas,” isak Dinda.
Sebenarnya Bima hanya menakut-nakuti Dinda agar dia tak melaporkan gerak-geriknya pada Kartika. Tetapi reaksi Dinda baginya terlalu berlebihan. Bima bahkan tidak mengatakan itu semua dengan kasar dan dingin. Mengapa Dinda sampai menangis hanya karena ancaman pemecatan?
“Cengeng amat, gitu aja nangis,” cibirnya.
“Mas Bima, tolong jangan pecat saya,” ulang Dinda mengacuhkan ejekan Bima. Dia menyeka air mata dengan punggung tangannya. “Saya mohon, Mas.”
“Kalau nggak mau dipecat, jangan turutin perintah Mama.”
“Terus kalau Bu Tika nanya-nanya tentang Mas Bima saya jawab apa?”
Bima mengendikkan bahu. “Terserah. Yang jelas lo harus bisa tutup mulut kalau masih mau kerja di sini.”
Dinda mengangguk-angguk menyetujui syarat Bima. Lagipula selama ini Bima tidak membawa siapapun ke apartemen. Jadi untuk sementara ini dia tidak perlu berbohong pada Kartika.
“Udah, jangan nangis. Kan gue nggak mecat elo.” Bima menjadi tidak tega. Dinda terlihat begitu rapuh sekaligus menggoda. Ingin rasanya Bima memeluk tubuh itu dan menjelajahinya dengan tangannya. Tidak bisa. Sekuat tenaga Bima mendorong keinginan itu. Alih-alih memeluk, Bima meraih pipi Dinda dan menghapus sisa air mata yang ada di sana. Lalu, yang membuat Dinda mematung tak percaya, Bima mengecup singkat pipi kanannya sebelum berlalu ke kamar.
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
Bima tersnyum saat ponselnya bergetar. Dia meraihnya dan membuka pesan yang masuk. Senyumnya bertambah lebar saat membaca pesan itu. Dengan segera dia mengetikkan balasan dan mengirimnya.“Oke, tadi sampai mana, Van?”Laki-laki di depannya, , menghela napas kesal. Mereka berdua sedang berada di ruangan Bima di kantor, mendiskusikan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tetapi rapat eksklusif itu beberapa kali terhenti karena Bima tidak fokus dan bolak-balik memeriksa ponselnya.“Lo lagi chatting sama siapa sih?” tanya Ivan akhirnya. Jarang sekali Bima membagi fokusnya dengan hal lain saat bekerja. “Penting banget, ya?”“Bukan urusan lo,” balas Bima. Meski tidak sedekat dengan Daniel dan yang lain, Ivan bisa dikategorikan teman sekaligus rekan kerja Bima. Mereka sama-sama membangun perusahaan dari nol. Bima sedikit lebih unggul karena dia menyandang status sebagai direktur dan pemilik perusahaan. Selain itu, keberadaan mereka berdua di kantor sama-sama penting.“Cewek baru?” tanya
Dinda tersenyum saat merasakan tangan Bima yang melingkar di pinggangnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Bahkan jika bukan karena suara alarm dari ponsel Bima yang berdering sejak tadi, Dinda masih akan terus memejamkan mata. Pelan-pelan dia memindahkan lengan berotot Bima dari pinggangnya dan beranjak bangkit. Tetapi saat dia baru duduk Bima menariknya hingga Dinda kembali berbaring di pelukan pria itu.“Morning, Din,” kata Bima, yang kemudian mengecup bibir Dinda.“Pagi, Mas Bim,” balas Dinda dengan dihiasi senyum malu-malunya. “Mau sarapan apa pagi ini?”“Sarapan kamu.”Dengan cepat Dinda meriah selimut dan bersembunyi di baliknya. Dia masih belum bisa mencegah agar pipinya tidak lagi memerah saat berhadapan dengan Bima. Rasanya Dinda ingin terus bersembunyi ketika dia menyadari kalau semalam dia tidak memakai bajunya kembali.Melihat tingkah Dinda yang malu-malu membuat Bima terbahak. Ditariknya selimut dengan paksa agak dia bisa melihat wajah merah Dinda.“Nggak usah malu, Di